GINI RATIO DAN IPM
Dalam membandingkan kinerja ekonomi suatu negara, aspek kesejahteraan sosial juga harus diperhitungkan. Salah satu metode untuk menganalisis ini adalah dengan mengukur tingkat ketidaksetaraan dalam masyarakat menggunakan Indeks Gini Ratio, atau yang biasa disebut koefisien Gini. Ini adalah indikator penting untuk mengukur sejauh mana tingkat ketidaksetaraan sosial di dalam suatu negara.
Pertama-tama, mari kita bahas mengenai pertumbuhan ekonomi. Meskipun pertumbuhan ekonomi pada masa pemerintahan SBY mungkin lebih berhasil, Jokowi unggul dalam mengatasi masalah ketidaksetaraan antara golongan kaya dan miskin. Meskipun pertumbuhan ekonomi yang kuat, rasio Gini pada era SBY justru mengalami kenaikan dari 0,35 menjadi 0,41 dalam delapan tahun pertama pemerintahannya. Di sisi lain, Jokowi berhasil menurunkan rasio Gini dari 0,41 menjadi 0,38. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketidaksetaraan sosial di era pemerintahan Jokowi berhasil berkurang sekitar 0,03. Penghitungan Gini Ratio dilakukan dalam skala 0 hingga 1. Semakin tinggi angkanya, semakin tinggi tingkat ketidaksetaraan dalam masyarakat. Sebaliknya, semakin rendah angkanya menunjukkan tingkat kesetaraan yang lebih baik di antara berbagai lapisan masyarakat.
Selanjutnya, perhatikan juga Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai indikator penting lainnya dalam mengevaluasi kinerja ekonomi negara. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan tren peningkatan IPM selama masa pemerintahan Jokowi. IPM nasional terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun pertama Jokowi memegang jabatan pada tahun 2014, IPM nasional mencapai 68,9%. Angka ini berhasil ditingkatkan menjadi 69,55% pada 2015 dan 70,18% pada 2016. Meskipun tidak terjadi peningkatan signifikan, Jokowi terus meningkatkan IPM nasional menjadi 70,81% pada 2017, 71,39% pada 2018, dan mencapai 71,94% pada akhir masa jabatan periode pertamanya pada 2019.
Sementara itu, pada masa pemerintahan SBY, IPM Indonesia juga mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun 2004 hingga 2014. Data menunjukkan bahwa IPM naik dari 68,70% pada tahun pertama pemerintahan SBY menjadi 73,81% pada tahun 2013. Ini mengindikasikan bahwa tren peningkatan IPM selama pemerintahan SBY adalah sebesar 5,11%.
Namun, mungkin beberapa pembaca merasa bingung dengan data tren IPM yang telah disajikan sebelumnya. Mengapa pada tahun 2014, yang merupakan tahun pertama kepemimpinan Presiden Jokowi, IPM mencapai 68,9%, padahal data terakhir pada 2013 adalah sebesar 73,81%. Penting untuk dicatat bahwa sejak tahun 2010, Badan Pusat Statistik Nasional telah mengubah metode perhitungan IPM dengan metode baru. Perubahan mendasar dalam perhitungan IPM menggunakan metode baru mencakup penggunaan indikator Harapan Lama Sekolah (HLS) sebagai pengganti Angka Melek Huruf (AMH) dalam perhitungan indeks pendidikan, serta menggunakan indikator Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita sebagai pengganti Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita dalam perhitungan indeks standar hidup. Selain itu, perhitungan agregasi indeks juga mengalami perubahan, di mana IPM dengan metode baru menggunakan rata-rata geometrik.
Perubahan tersebut membawa beberapa keunggulan bagi IPM dengan metode baru, termasuk dalam menggambarkan gambaran yang lebih akurat tentang pendidikan dan perubahan yang terjadi, serta menjaga keseimbangan antarindikator. Dengan menggunakan metode ini, capaian yang rendah pada salah satu komponen tidak dapat terlalu dominan karena perhitungan rata-rata geometrik yang diaplikasikan. Secara keseluruhan, data tersebut mengindikasikan bahwa meskipun terdapat beberapa perubahan metodologi dalam perhitungan, Jokowi mampu mempertahankan tren peningkatan IPM nasional selama masa jabatannya, sementara SBY juga berhasil meningkatkan IPM namun dengan perubahan metode yang berbeda.
Kesimpulannya, kedua periode pemerintahan menunjukkan pencapaian yang patut diapresiasi, disertai dengan tantangan yang berbeda pada masing-masing masa. Era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhasil melanjutkan tren positif dalam penurunan rasio utang serta mencapai pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan. Di sisi lain, masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih difokuskan pada upaya konkret dalam mengurangi tingkat kemiskinan dan mengatasi disparitas sosial, sembari merangsang peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) nasional.
Penting untuk memahami bahwa hasil analisis ini harus dilihat dalam kerangka lebih luas, dengan mempertimbangkan dinamika ekonomi global dan faktor internal yang turut memengaruhi trajektori ekonomi Indonesia. Melalui pemahaman mendalam terhadap catatan kinerja keduanya, kita dapat meraih wawasan yang lebih baik dalam merancang kebijakan masa depan yang berkelanjutan dan inklusif bagi kemajuan negara. Oleh karena itu, dalam menyambut pesta demokrasi pemilu serentak 2024, diharapkan kita dapat lebih bijak untuk menentukan pilihan serta sikap kita agar kedepannya para pemimpin bangsa ini dapat melanjutkan dan memperbaiki tugas kenegaraan dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Dengan adanya tulisan ini juga diharapkan bahwa para pembaca dapat menilai dengan lebih objektif dalam membanndingkan kinerja pemerintahan untuk menghindari adanya konflik akibat maraknya pemberitaan yang tidak sesuai dengan data dan fakta.
Referensi :