Data dari Bank Dunia mengungkapkan bahwa pada tahun 2015, PDB per kapita Indonesia mencapai US$ 3.322,58 per tahun. Namun, menurut data BPS, angka ini meningkat menjadi US$ 4.783,9 pada tahun 2022. Artinya, selama delapan tahun masa kepemimpinan Jokowi, PDB per kapita Indonesia naik sekitar US$ 1.307,28 atau 37,6%.Â
Harap dicatat bahwa tahun 2015 menjadi awal masa pemerintahan penuh Presiden Jokowi, sebelumnya hanya menjabat selama tiga bulan pada tahun 2014 setelah dilantik pada bulan Oktober. Sementara itu, pada tahun pertama masa pemerintahan penuh Presiden SBY, yaitu tahun 2005, PDB per kapita Indonesia mencapai US$ 1.249,39 per tahun. Angka ini kemudian meningkat menjadi US$ 3.668,22 per tahun pada tahun 2012. Dengan demikian, selama delapan tahun pertama masa pemerintahan SBY, PDB per kapita Indonesia mengalami peningkatan sekitar US$ 2.418,81 atau 193,6%.
INFLASI
Salah satu perbedaan utama antara masa pemerintahan SBY dan Jokowi terletak pada tingkat inflasi. Pada era SBY, laju inflasi mengalami angka yang relatif tinggi, mencapai 7,11%. Di masa yang sama, era Jokowi ditandai dengan inflasi yang lebih terkendali, hanya sebesar 3,61%.Penting untuk mencatat bahwa pada Desember 2008, inflasi bahkan mencapai puncak tertingginya yaitu 11,06%, setelah Presiden SBY menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi. Selama masa pemerintahan SBY, fluktuasi inflasi menjadi salah satu isu yang signifikan.
Inflasi memiliki peran krusial dalam menjaga daya beli masyarakat. Saat inflasi merosot, harga-harga barang cenderung menurun, sehingga daya beli masyarakat dapat lebih terjaga. Penurunan inflasi ini juga mendorong peningkatan konsumsi rumah tangga. Apabila dibandingkan, data menunjukkan bahwa inflasi pada era Jokowi lebih terkendali jika dibandingkan dengan era SBY. Namun, penting untuk diingat bahwa inflasi yang terlalu rendah juga dapat mencerminkan penurunan permintaan. Situasi ini terjadi pada tahun 2020, di mana tingkat inflasi mencapai hanya 1,68%, menjadi yang terendah dalam sejarah. Faktor yang mempengaruhi ini adalah pelemahan daya beli akibat dampak pandemi Covid-19 yang melanda ekonomi global.
Umumnya, inflasi disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu kenaikan permintaan (demand pull inflation) dan kenaikan biaya produksi (cost push inflation). Demand pull inflation umumnya terjadi ketika permintaan melebihi pasokan yang tersedia, seringkali dipicu oleh pemulihan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, cost push inflation lebih cenderung disebabkan oleh peningkatan biaya produksi atau intervensi pemerintah, seperti kenaikan harga BBM subsidi.
Ringkasnya, inflasi yang terkendali di era Jokowi menunjukkan stabilitas ekonomi yang relatif baik dibandingkan dengan era SBY yang ditandai dengan fluktuasi inflasi yang lebih tinggi. Namun, perlu diingat bahwa inflasi yang sangat rendah juga memiliki implikasi terhadap kondisi ekonomi, khususnya dalam situasi seperti pandemi.
Perbincangan mengenai meningkatnya utang pemerintah dari tahun ke tahun dalam masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menjadi topik yang hangat. Diskusi tentang lonjakan utang semakin meningkat menjelang tahun pemilu 2024.
Dalam laporan terbaru dari APBN KiTa edisi Juni 2023, jumlah utang pemerintah hingga bulan Mei 2023 mencapai Rp 7.787 triliun. Angka utang negara ini telah mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Dari awal periode pertama hingga menjelang akhir periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, utang pemerintah telah bertambah sekitar Rp 5.179 triliun.
Jika dilihat dari masa sebelumnya, pada akhir tahun 2014, yang merupakan transisi dari pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke pemerintahan Presiden Jokowi, jumlah utang pemerintah mencapai Rp 2.608,78 triliun dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 24,7 persen.Â
Utang pemerintah pada era Presiden Jokowi terus mengalami peningkatan, baik pada periode pertama maupun periode kedua pemerintahannya. Ini menunjukkan bahwa peningkatan utang telah terjadi sebelum pandemi Covid-19. Sebagai contoh, pada tahun 2015, hanya setahun setelah Jokowi menjabat sebagai Presiden, utang pemerintah sudah mencapai Rp 3.089 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 27 persen. Pada Januari 2017, jumlah utang pemerintah meningkat menjadi Rp 3.549 triliun, dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 28 persen.
Utang pemerintah selama tahun 2017 terus meningkat dengan cepat. Pada akhir tahun tersebut, utang pemerintah mencapai Rp 3.938 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 29,2 persen. Berikut adalah catatan total utang pemerintah selama tahun 2014-2022, seperti yang dirangkum dari data APBN KiTa Kementerian Keuangan dan Litbang Harian Kompas: