«و إن عملك لیس لك بطعمة ولکنه في عنقک أمانة»
“Posisimu ini bukanlah sebuah sarana untuk menumpuk harta, tetapi sebuah amanat di atas pundakmu.” (Syarh Nahj al-Balâghoh, jld. 14, hlm. 33)
Konsekuensi logis dari prinsip amanat ini adalah beberapa poin berikut:
Poin pertama, kekuasaan dan kepemimpinan bukan tujuan. Dalam pandangan ini, kekuasaan sangat berbeda dengan penilaian para hamba dunia yang meyakini bahwa kekuasaan adalah nilai yang sangat primordial. Dalam kaca mata Imam Ali as yang menganggap bahwa dunia dan seluruh kegermelapan yang ada di dalamnya ini tidak lebih bernilai dari “sehelai daun yang sedang digigit seekor belalang” (Nahj al-Balâghoh, khutbah no. 224), kekuasaan dan kepemimpinan tidak lebih berharga dari “sandal yang sudah penuh dengan tambalan”.
Abdullah bin Abbas berkata, “Saya pernah menjumpai Amirul Mukminin Ali as ketika beliau berada di daerah Dzi Qar, sedangkan beliau kala itu sedang menjahit sandalnya. ‘Berapakah harga sandal ini?’ tanya beliau tiba-tiba. ‘Sandal ini sama sekali tidak berharga,’ jawabku seketika. Lalu, beliau menimpali,
«و الله لهي أحب إلي من إمرتكم إلا أن أقيم حقا أو أدفع باطلا»
“Demi Allah! Sandal ini lebih saya sukai dibandingkan kepemimpinan atas kalian, kecuali apabila saya bisa menegakkan kebenaran atau mengusir kebatilan.” (Ibid, khutbah no. 33)
Poin kedua, kekuasaan hanyalah fasilitas untuk berkhidmat kepada rakyat.
Dalam surat kepada Qatsm bin Abbas, Gubernur Makkah, Imam Ali as menulis,
«و لا یکن لك إلی الناس سفیر إلا لسانك و لا حاجب إلا وجهك و لا تحجبن ذا حاجة عن لقائك بها فإنها إن ذیدت عن أبوابک في أول وردها لم تحمد فیما بعد علی قضائها»
“Jangan sampai kamu memiliki duta untuk rakyat selain lisanmu dan jangan pula tirai selain wajahmu. Janganlah kamu tolak orang yang memiliki keperluan untuk bertemu denganmu, karena apabila keperluan ini telah diusir dari sejak pertama kali datang, maka keberhasilanmu menanganinya setelah itu tidak akan mampu menambalnya.” (Ibid, surat no. 67)