Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kebiasaan Kita Menghakimi yang Kaya dan Menilai yang Miskin

12 Mei 2023   08:33 Diperbarui: 18 Mei 2023   23:38 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbeda dengan suku pedalama seperti Badui, ada sebuah desa kecil berama Waerebo yang terletak di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Desa ini teletak sangat jauh dari peradaban kota. Di desa ini kita bisa menyaksikan hamparan hijau tanaman kopi, dan aneka sayur mayur. 

Desa yang berada di ketinggian seribu seratus meter dari air laut ini memiliki sebutan lain, yaitu negeri di atas awan. Desa tertinggi di negeri ini dengan keindahan kabut dan pegunungan yang melindungi kearifannya.

Melihat Waerebo kita akan menyaksikan kebalikan dari kota Jakarta, Surabaya, atau kota besar lainnya di negeri ini. Di desa ini segalanya ada, semua yang menunjang kehidupan. Bahkan mereka semakin terlihat kaya dengan artistektur rumah adat Mbaru Niang yang kokoh, penuh filosofi, dan tanpa menggunakan paku dan semen. Sebuah pemukiman yang berbeda dengan pemukiman kita di kota.

Keunikan akan desa ini tidak hanya berada pada kondisi wilayahnya yang terpencil dan berada di pegunungan, sumber alam yang melimpah, rumah tradisionalnya yang bernama Mbaru Niang, dan juga tradisi adatnya, tetapi juga dengan kesediaan penduduknya untuk mengikuti kearifan leluhur mereka. Jauh dari pusat peradaban, jauh dari pusat pendidikan, dan kesehatan tidak membuat desa Waerebo tenggelam melainkan semakin dikenal hingga manca negara.

Sementara kita yang berada di kota, yang setiap hari mengonsumsi pengetahuan dari barat, yang hampir setiap hari tidak melepaskan smartphone dari gengaman tangan, yang setiap malam tidur didalam rumah hasil kerja seorang insinyur, yang setiap hari menggunakan rupiah untuk mengobati rasa lapar, bisa jadi tidak lebih kaya dari desa Waerebo. Boleh jadi kita yang hidup di kota lebih miskin dari mereka yang hidup langsung dengan alam.

Selain kekayaan alam yang sudah disebutkan di atas, dari struktur tingkatan rumah Mbaru Niang saja, sudah menunjukan bahwa desa ini sangat kaya dengan nilai filosofisnya di mana tingkatan paling atas pada rumah adat tersebut merupakan simbol hubungan anatara manusia dengan Tuhan.

Kita harus tahu, bahwa Tuhan kita maha baik. Tertara pada sila pertama di idiologi bangsa kita, yaitu Pancasila. Ketuhanan adalah pondasi pertama kita dalam menentukan antara miskin dan kaya, selain sebagai pijakan berbangsa dan bernegara.

Akan tetapi masyarakat kita masih tidak bisa mencerna sila pertama ini secara mendalam dalam kehidupan sehari-hari sebagai orang Indonesia. Padahal ideologi ini sudah kita pelajari sejak sekolah dasar dengan nama mata pelajaran PKN.

Melanjutkan soal sila pertama, umumnya waraga negara kita belajar agamanya masing-masing, tertera pada kurikulum sebagai salah satu mata pelajaran yang harus ada di sekolah. Kenapa memahami sila pertama dan keagamaan begitu penting dalam menentukan miskin dan kaya. Bagi mereka yang dekat dengan Tuhan di manapun meraka berada, tentunya pemahaman ajaran agama sangatlah penting. Dengan mempelajari ajaran agama kita masing-masing, kita tidak akan pernah merasa miskin karena ada Tuhan bersama kita. Tuhan menciptakan rizkinya dan mengeluarkannya dari berbagai sumber.

Bahkan dalam ajaran Islam pun, Allah telah menjanjikan dan memastikan rizki bagi setiap bayi yang telah dilahirkan ke dunia. Rizki tersebut dapat keluar dari bumi dan langit. Ajaran yang lain selain Islam pun membahas tetang rezki, yang artinya Tuhan mereka tidak mengizinkan kita untuk merasa miskin karena ada berbagai cara untuk mendapatkan rizki meskpun pengantarnya dalam bentuk mantra atau doa sebelum benar-benar melakukan atau setelah berusaha.

Akan tetapi, sayangnya manusia tidak lebih percaya kepada Tuhan. Mereka yakin bahwa harta benda akan mengentarkan mereka kepada kebahagiaan. Mereka pula yakin, kota adalah sebuah tempat yang dapat memenuhi kebutuhan itu. Mereka para perantau atau kaum urban yang tidak ingin miskin, mereka pula dari golongan para pekerja keras, dan mereka juga tidak mau disebut bodoh walaupun mereka mengaku kaum awam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun