Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kesenjangan Sosial Masih Tinggi, Pendidikan Berbasis AI Apakah Solusi?

7 Mei 2023   18:29 Diperbarui: 18 Mei 2023   23:39 1055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimana orang miskin belajar?
Kenapa pendidikan selalu menjadi patokan kesuksesan materi?
Kenapa menjadi orang yang miskin ekonomi terasa biasa saja?
Bagaimana seharusnya hasil dari pendidikan dimanfaatkan?
Kenapa semakin hari belajar semakin susah, melihat handphone malah lebih mudah?

Beberapa hari lalu baru saja kita merayakan Hari Pendidikan Nasional, tanpa nuasa yang berbeda. Melalukan upacara di tanah lapang bersama siswa dan guru-guru, menghadap bendera merah putih, dan memberikan hormat yang kidmat. 

Sementara sampai saat ini kita belum juga bisa melihat bagaimana pendidikan benar-benar telah berubah. Bukan sekedar perbedaan nama kurikulum, atau adanya program Profil Pelajar Pancasila (P5), istilah Guru Penggerak, dan Sekolah Penggerak. Karena pada kenyataannya sampai saat ini semuanya masih sama, hanya administrasinya saja yang baru, dan berbeda nama. Pada tahun ini muncul sebuah gagasan di sosial media yang berbunyi "kerja, dan sukses tidak membutuhkan ijazah." 

Pandangan ini disebabkan karena sektor industri di bidang informatika sangat menjanjikan, dan dapat dipelajari dengan cara-cara autodidak tanpa sekolah terlebih dahulu. Seperti menjadi youtuber, jasa pengiklanan, desainer digital, dan masih banyak lagi ketrampilan yang menjanjikan dibidang telekomunikasi informatika. 

Namun dengan perataan fasilitas internet, dan digital yang diusung oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan apakah menjadi solusi yang paling jitu? Ditambah dengan munculnya mata pelajaran informatika sebagai mapel wajib, apakah dapat dikuasi oleh siswa? Atau mungkin siswa sudah lebih dahulu mengetahuinya ketimbang gurunya sendiri? Nyatanya banyak orang yang bisa menempuh kecerdasan meskipun dianggap hidup dalam keterbatasan, dan tanpa internet.

Baru-baru ini kita mendapatkan kabar dari timur negara kita, yaitu seorang anak yang mendapatkan gelar juara 1 dunia di ajang olimpiade matematika. Dia adalah Caesar Archangels Hendrik Meo Tnunay anak sekolah dasar yang duduk di bangku kelas 2 asal Nusa Tengga Timur ini, berhasil menjadi nomor satu di Internasional Abacus World Campetition tahun 2022. 

Sebenarnya ini bukanlah kabar membanggakan pertama yang muncul dari negeri bagian timur kita, sebelumnya telah banyak anak-anak timur yang mendapat predikat di kejuaraan internasional di bidang ilmu pengetahuan. 

Pertanyaannya bukan seberapa banyak yang telah juara, atau siapa aja yang mendapatkan gelar tersebut akan tetapi kenapa salah satu juara berasal dari wilayah yang miskin di Indonesia, dan dianggap memiliki keterbatasan fasilitas invasruktur seperti Lala anak dari keluarga kurang mampu secara ekonomi yang berjuang untuk lolos ke jenjang Sekolah Menengah Pertama.

Di dunia pendidikan mungkin tidak asing dengan seorang profesor bernama Yohanes Surya. Ia adalah salah seorang yang dapat mengubah pandangan orang di barat tentang anak-anak Papua. 

Banyaknya penduduk yang dianggap kurang mampu, akses fasilitas yang katanya kurang memadai seperti listrik, dan internet, belum lagi prekonomian warganya yang dianggap oleh orang barat sangat rendah. Akan tetapi di tangan Sang Profesor setidaknya anak Papua punya motivasi lebih untuk menjadi yang paling depan di negeri ini, bahkan yang paling depan di dunia. 

Pertanyaan yang sering muncul di benak kebanyakan orang adalah, ada banyak anak pintar di Jakarta, Bandung, Surabaya, atau Jogjakarta, tapi kenapa Sang Profesor lebih memilih Papua? 

Jawabanya bukan hanya Yohanes Surya ingin membuktikan kepada dunia bahwa di negeri ini atau bahkan di dunia ini tidak ada anak bodoh, muridlah yang belum bertemu dengan gurunya yang cocok. Akan tetapi jawaban lain kiranya lebih cocok, yaitu karena anak-anak Papua tidak tergiur dengan hal-hal lain yang dapat mengganggu hasratnya untuk belajar. 

Mereka tidak terganggu media sosial, gadget, internet, nongkrong di cafe, rebahan sambil main game, atau sibuk menanti hari libur untuk bertamansya. Bagi mereka yang tidak memiliki kehidupan seperti di kota, setidaknya saat mereka menemukan guru yang tepat maka rasa penasaran akan sesuatu yang belum mereka ketahui menjadi daya tarik mereka untuk belajar dan memperdalam pengetahuannya. 

Semakin didalami maka akan semakin menyenangkan. Setidaknya ini mirip dengan usaha pendidikan kita saat ini, kegiatan belajar mengajar yang bersifat holistik, yaitu bertumpu pada pengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demokratis, dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Kita bisa menghitung berapa banyak orang pintar yang berasal dari keluarga biasa. Mungkin memang tidak terlalu banyak, akan tetapi kita bisa melihat sejenius apa mereka dalam bidang yang mereka tekuni itu, sesukses apakah orang itu dengan ilmu pengetahuannya. Dan sangat terlihat wajar ketika kita melihat banyak orang pintar yang dilahirkan dari keluarga kaya raya. 

Anggapan akan hal tersebut bersal dari konsumsi publik yang masih merasa bahwa pendidikan di negeri ini membutuhkan kekuatan ekonomi, karena umumnya mereka yang pintar memiliki kekuasaan ekonomi yang lebih untuk mendapatkan akses pendidikan. 

Semantara mereka yang tidak cukup biaya akan mencari jalan lain di luar dunia pendidikan untuk mendapatkan kesuksesan, seperti Mob Sadino misalnya atau Khairul Tanjung. 

Mereka adalah orang yang belajar dari kerasnya kehidupan, memalui bisnis dan bekerja secara pragmatis. Namun terkadang kita sering melihat, orang jenius tapi dia miskin secara ekonomi. Mungkin saja orang-orang itu adalah guru-guru kita sendiri yang telah membentuk murid-muridnya menjadi pribadi bermental tangguh, atau jelasnya seperti seorang tokoh terkenal di India. 

Dia adalah Anand Kumar, guru miskin yang mengantar siswanya menuju Institut Teknologi India dengan program Super 30-nya. Seorang guru yang berjiwa besar, tidak takut miskin demi membela orang-orang yang kuramg mampu walaupun Ia punya peluang besar untuk mengajar anak-anak dari golongan konglomerat. 

Setidaknya Sang Pahlawan pendidikan dari India ini menunjukan bahwa kecerdasan dan kekayaan ekonomi adalah hal yang berbeda. Mendapat uang dari kejinusan ialah hal yang biasa, akan tetapi mendapatkan pencapaian dengan hati yang besar adalah kekayaan intelektial yang sangat luar biasa. Inilah setidaknya yang coba dibuat oleh pendidikan kita, dengan filsafat Ki Hajar Dewantara, pendidikan akan mengantarkan kita pada kemerdekaan, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Terkadang kita melihat orang kaya secara finansial akan tetapi dia miskin akal, menjadi selebriti yang viral berkat kebodohannya, publik figur yang mendapatkan banyak penghasilan dari iklan berkat tingkahnya yang bodoh di dunia maya, dan menjadi bahan tontonan orang banyak. Entah kenapa garis kekayaan tidak terputus olehnya. 

Jawabannya bukan hanya soal warisan yang didapatkan dari orang tua mereka, bisa jadi karena adanya lingkaran kuat yang mendukung seseorang dengan pengaruh kehormatan keluarga. Contohnya seperti yang ada di lingkungan kehidupan kita ini, mungkin kita pernah mendengar tetangga kita yang lulus dengan nilai pas-pasan dan tidak punya catatan prestasi apapun tahun-tahun sudah berseragam seperti seragam yang dikenakan orang tuanya.

Maksud dari uraian ini adalah bahwa tidak selamanya pendidikan mengantarkan kita menjadi orang yang kaya raya, tidak selamanya orang cerdas memilih untuk terus mencari uang, hasil dari pendidikan memang bisa dijadikan cara untuk mencari uang, tetapi akan lebih bijak jika kita menyebutkan bahwa pendidikan akan mengantarkan kita menuju keselamatan. 

Keselamatan yang dimaksud bukan hanya sekedar keselamatan dari jurang kemiskinan, tetapi juga keselamatan yang lain. Seperti kehormatan sebagai manusa, dan martabatnya di mata sosial. Dan itu semua bukan uang yang menentukan, akan tetapi hasil dari pendidikan kita. Lalu bagaimana dengan pendidikan kita saat ini? Apakah sudah sesuai? Apakah memang sudah waktunya pendidikan berjalan melalui siber berbicara?

Sayangnya mungkin hasil pendidikan kita dengan kurikulum merdeka ini belum bisa dirasakan secara dekat. Barangkali kita masih menunggu waktu antara, dua puluh sampai tiga puluh tahun lagi. 

Di mana kesadaran akan membentuk kita, bahwa menjadi pribadi pelajar sepanjang hayat akan terus melekat. Anak-anak muda kita saat ini yang telah berumur tiga puluh atau orang tua kita yang telah menginjak usia empat puluh sampai tujuh puluh tahun adalah hasil pendidikan dari kurikulum yang sebelumnya. Sehinggaa perubahan paradigma baru pendidikan yang yang Nadim sampaikan mungkin saja belumlah sampai kepada mereka sepenuhnya. 

Kalau anak muda usia tiga puluh tahun sudah mulai memahaminya sedikit demi-sedikit, mungkin akan dilanjutkan kepada anak-anaknya. Akan tetapi pada orang tua kita yang berusia empat puluh sampai tujuh puluh tahun, hanya beberapa persentasi saja dan kemungkinan kurang dari sepuluh persen. 

Apalagi usia tersebut umumnya adalah orang tua yang kurang mengerti tentang fomo. Sehingga mereka memang tidak mau kesusahan, atau bahkan menolok teknologi informatika sebagai media literasi yang baru.

Siber, dan semua yang ada di dalamnya saat ini memang alternatif literasi yang baru. Sebuah trobosan cepat untuk mengakses banyak informasi dari berbagai sumber, dan mengolohnya sehingga memberikan hasil, bisa berupa pengetahuan, produk, atau sekedar pengetahuan untuk menyelesaikan solusi. 

Akan tetapi, kenyataannya kecanggihan teknologi hanya memberikan kecerdasan yang instan, dan tidak sedikit yang memanfaatkannya sebagai media hiburan saja. Atau terkadang kita menggunakannya hanya saat sedang dibutuhkan saja, dengan sekali klik maka apa-apa saja yang kita butuhkan terpampang di dalamnya. Seperti Homi Deus yang ditulis oleh Yuval Noah Harari. 

Teknologi yang kita buat, dan yang terus kita perbaharui ini, malahan justru mengantarkan kita pada kecerdasan buatan, dan semua kemudahan yang dibuatnya. Upaya untuk menyatukan antara pengontrolan penggunaan smart phone yang disesuaikan dengan waktu-waktu tertentu agar tidak mengganggu, justru membuat kita sebagai orang tua merasa semakin sulit dalam melakukan pengawasan. 

Tapi inilah zaman kita saat ini yang perlu dihadapi, miskin ataupun kaya, pendidikan harus mengantarkan kita pada kemerdekaan, dan kemanusiaan. Dan jika smartphone yang selama ini kita gunakan untuk mancari informasi, masih saja terus kita gunakan untuk mencari informasi yang lain, lalu kapankah kita benar-benar memecahkan masalah dengan isi kepala kita sendiri? 

Apakah hasil dari belajar adalah dengan terus menggunakan gadget untuk mencari jawaban? Dan bukankah kita menjadi semakin bergantung kepadanya? Lalu kapan kita merdeka? Mungkin saja saya salah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun