Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kesenjangan Sosial Masih Tinggi, Pendidikan Berbasis AI Apakah Solusi?

7 Mei 2023   18:29 Diperbarui: 18 Mei 2023   23:39 1055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maksud dari uraian ini adalah bahwa tidak selamanya pendidikan mengantarkan kita menjadi orang yang kaya raya, tidak selamanya orang cerdas memilih untuk terus mencari uang, hasil dari pendidikan memang bisa dijadikan cara untuk mencari uang, tetapi akan lebih bijak jika kita menyebutkan bahwa pendidikan akan mengantarkan kita menuju keselamatan. 

Keselamatan yang dimaksud bukan hanya sekedar keselamatan dari jurang kemiskinan, tetapi juga keselamatan yang lain. Seperti kehormatan sebagai manusa, dan martabatnya di mata sosial. Dan itu semua bukan uang yang menentukan, akan tetapi hasil dari pendidikan kita. Lalu bagaimana dengan pendidikan kita saat ini? Apakah sudah sesuai? Apakah memang sudah waktunya pendidikan berjalan melalui siber berbicara?

Sayangnya mungkin hasil pendidikan kita dengan kurikulum merdeka ini belum bisa dirasakan secara dekat. Barangkali kita masih menunggu waktu antara, dua puluh sampai tiga puluh tahun lagi. 

Di mana kesadaran akan membentuk kita, bahwa menjadi pribadi pelajar sepanjang hayat akan terus melekat. Anak-anak muda kita saat ini yang telah berumur tiga puluh atau orang tua kita yang telah menginjak usia empat puluh sampai tujuh puluh tahun adalah hasil pendidikan dari kurikulum yang sebelumnya. Sehinggaa perubahan paradigma baru pendidikan yang yang Nadim sampaikan mungkin saja belumlah sampai kepada mereka sepenuhnya. 

Kalau anak muda usia tiga puluh tahun sudah mulai memahaminya sedikit demi-sedikit, mungkin akan dilanjutkan kepada anak-anaknya. Akan tetapi pada orang tua kita yang berusia empat puluh sampai tujuh puluh tahun, hanya beberapa persentasi saja dan kemungkinan kurang dari sepuluh persen. 

Apalagi usia tersebut umumnya adalah orang tua yang kurang mengerti tentang fomo. Sehingga mereka memang tidak mau kesusahan, atau bahkan menolok teknologi informatika sebagai media literasi yang baru.

Siber, dan semua yang ada di dalamnya saat ini memang alternatif literasi yang baru. Sebuah trobosan cepat untuk mengakses banyak informasi dari berbagai sumber, dan mengolohnya sehingga memberikan hasil, bisa berupa pengetahuan, produk, atau sekedar pengetahuan untuk menyelesaikan solusi. 

Akan tetapi, kenyataannya kecanggihan teknologi hanya memberikan kecerdasan yang instan, dan tidak sedikit yang memanfaatkannya sebagai media hiburan saja. Atau terkadang kita menggunakannya hanya saat sedang dibutuhkan saja, dengan sekali klik maka apa-apa saja yang kita butuhkan terpampang di dalamnya. Seperti Homi Deus yang ditulis oleh Yuval Noah Harari. 

Teknologi yang kita buat, dan yang terus kita perbaharui ini, malahan justru mengantarkan kita pada kecerdasan buatan, dan semua kemudahan yang dibuatnya. Upaya untuk menyatukan antara pengontrolan penggunaan smart phone yang disesuaikan dengan waktu-waktu tertentu agar tidak mengganggu, justru membuat kita sebagai orang tua merasa semakin sulit dalam melakukan pengawasan. 

Tapi inilah zaman kita saat ini yang perlu dihadapi, miskin ataupun kaya, pendidikan harus mengantarkan kita pada kemerdekaan, dan kemanusiaan. Dan jika smartphone yang selama ini kita gunakan untuk mancari informasi, masih saja terus kita gunakan untuk mencari informasi yang lain, lalu kapankah kita benar-benar memecahkan masalah dengan isi kepala kita sendiri? 

Apakah hasil dari belajar adalah dengan terus menggunakan gadget untuk mencari jawaban? Dan bukankah kita menjadi semakin bergantung kepadanya? Lalu kapan kita merdeka? Mungkin saja saya salah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun