Jawabanya bukan hanya Yohanes Surya ingin membuktikan kepada dunia bahwa di negeri ini atau bahkan di dunia ini tidak ada anak bodoh, muridlah yang belum bertemu dengan gurunya yang cocok. Akan tetapi jawaban lain kiranya lebih cocok, yaitu karena anak-anak Papua tidak tergiur dengan hal-hal lain yang dapat mengganggu hasratnya untuk belajar.Â
Mereka tidak terganggu media sosial, gadget, internet, nongkrong di cafe, rebahan sambil main game, atau sibuk menanti hari libur untuk bertamansya. Bagi mereka yang tidak memiliki kehidupan seperti di kota, setidaknya saat mereka menemukan guru yang tepat maka rasa penasaran akan sesuatu yang belum mereka ketahui menjadi daya tarik mereka untuk belajar dan memperdalam pengetahuannya.Â
Semakin didalami maka akan semakin menyenangkan. Setidaknya ini mirip dengan usaha pendidikan kita saat ini, kegiatan belajar mengajar yang bersifat holistik, yaitu bertumpu pada pengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demokratis, dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Kita bisa menghitung berapa banyak orang pintar yang berasal dari keluarga biasa. Mungkin memang tidak terlalu banyak, akan tetapi kita bisa melihat sejenius apa mereka dalam bidang yang mereka tekuni itu, sesukses apakah orang itu dengan ilmu pengetahuannya. Dan sangat terlihat wajar ketika kita melihat banyak orang pintar yang dilahirkan dari keluarga kaya raya.Â
Anggapan akan hal tersebut bersal dari konsumsi publik yang masih merasa bahwa pendidikan di negeri ini membutuhkan kekuatan ekonomi, karena umumnya mereka yang pintar memiliki kekuasaan ekonomi yang lebih untuk mendapatkan akses pendidikan.Â
Semantara mereka yang tidak cukup biaya akan mencari jalan lain di luar dunia pendidikan untuk mendapatkan kesuksesan, seperti Mob Sadino misalnya atau Khairul Tanjung.Â
Mereka adalah orang yang belajar dari kerasnya kehidupan, memalui bisnis dan bekerja secara pragmatis. Namun terkadang kita sering melihat, orang jenius tapi dia miskin secara ekonomi. Mungkin saja orang-orang itu adalah guru-guru kita sendiri yang telah membentuk murid-muridnya menjadi pribadi bermental tangguh, atau jelasnya seperti seorang tokoh terkenal di India.Â
Dia adalah Anand Kumar, guru miskin yang mengantar siswanya menuju Institut Teknologi India dengan program Super 30-nya. Seorang guru yang berjiwa besar, tidak takut miskin demi membela orang-orang yang kuramg mampu walaupun Ia punya peluang besar untuk mengajar anak-anak dari golongan konglomerat.Â
Setidaknya Sang Pahlawan pendidikan dari India ini menunjukan bahwa kecerdasan dan kekayaan ekonomi adalah hal yang berbeda. Mendapat uang dari kejinusan ialah hal yang biasa, akan tetapi mendapatkan pencapaian dengan hati yang besar adalah kekayaan intelektial yang sangat luar biasa. Inilah setidaknya yang coba dibuat oleh pendidikan kita, dengan filsafat Ki Hajar Dewantara, pendidikan akan mengantarkan kita pada kemerdekaan, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Terkadang kita melihat orang kaya secara finansial akan tetapi dia miskin akal, menjadi selebriti yang viral berkat kebodohannya, publik figur yang mendapatkan banyak penghasilan dari iklan berkat tingkahnya yang bodoh di dunia maya, dan menjadi bahan tontonan orang banyak. Entah kenapa garis kekayaan tidak terputus olehnya.Â
Jawabannya bukan hanya soal warisan yang didapatkan dari orang tua mereka, bisa jadi karena adanya lingkaran kuat yang mendukung seseorang dengan pengaruh kehormatan keluarga. Contohnya seperti yang ada di lingkungan kehidupan kita ini, mungkin kita pernah mendengar tetangga kita yang lulus dengan nilai pas-pasan dan tidak punya catatan prestasi apapun tahun-tahun sudah berseragam seperti seragam yang dikenakan orang tuanya.