Bagaimana kita memaknai mudik selama ini?
Apa arti mudik untuk menjemput fitri?
Apakah mudik hanya sekadar bermaaf-maafan?
Apa arti mudik jika akhirnya kita akan kembali lagi ke rimba perkotaan?
Setelah melakukan ibadah puasa kurang dari sebulan, di sepuluh terakhir bulan suci itu biasanya kita mulai gelisah menunggu tunjangan hari raya, atau kita mulai sibuk menghitung angka pada kalender Hijrian untuk menentukan waktu kepulangan ke kampung halaman yang tepat. Tapi mungkin waktu kita tidak banyak untuk melaksanakan rencana yang telah berhari-hari dibuat.Â
Di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, aktivitas lain menjadi jadwal yang padat. Datang ke supermarket jauh atau terdekat, membeli ini dan itu untuk kebutuhan hajat, baju baru selama di kampung halaman, atau hanya sekadar melengkapi hari raya dengan barang-barang yang konon katanya wajib ada.
Apa yang disebut dengan hari baru pakaian baru yang entah dari mana hari baru ditandai dengan pakaian baru bukan iklim alam, apa yang disebut dengan busana muslim yang entah sejak kapan selembar kain punya agama, dan apa yang disebut silaturahmi yang entah bagaimana mereka mengucapkan kalimat yang sama di setiap rumah dan kepada siapa saja yang datang atau mereka datangi.
Inilah mudik tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya. Jalanan tol dipadati pengendara, kendaraan pribadi atau kendaraan massal lainnya.
Sementara kendaraan umum roda empat besar banyak disewa mereka yang tengah melakukan kampanye terselubung dengan mudik gratis. Yang konon katanya ingin membantu pemerintah dalam menyukseskan misi mudik tahun ini, atau apalah itu.Â
Mereka ingin pemudik senang dan sampai ke kampung halaman dengan selamat, ya meskipun akhirnya harus bermacet-macetan di jalan juga. Lambat tahun jalanan tol seperti hilang kelebihannya, karena sama padatnya dan macet seperti jalanan umum lainnya.Â
Pedagang kaki lima menerobos masuk di tengah-tengah kerumunan mobil yang bergerak persekian meter dalam beberapa detik, di waktu yang sama para musafir membatalkan puasa dan meninggalkan banyak sampah di jalanan yang telah dilaluinya.Â
Di waktu yang sama pula, pemulung mendapatkan rezeki yang turun dari tangan-tangan pemudik yang membuang botol di tepi jalan. Mudik yang sama seperti di tahun-tahun sebelumnya. Yang berbeda hanyalah tahun Masehi dan Hijriah-nya saja, atau model busana yang mereka kenakan.
Saat sampai di pelataran rumah tempat dahulu kecil bermain, suasana haru muncul dari balik wajah kita. Rumah yang sama dengan masa yang berbeda, memecahkan kerinduan yang telah lama terkumpul saat jauh darinya.Â