Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bergotong-royong Menjawab Tujuan Pendidikan

19 Desember 2022   13:06 Diperbarui: 22 Desember 2022   08:33 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memamngnya tujuan pendidikan kita apa sih?

Apakah mendapatkan pekerjaan yang kita inginkan?

Hidup mapan dan terhormat?

Atau apa?

Sejatinya semua manusia saat ini adalah murid, dan meskipun tidak semua orang bisa menjadi guru tapi setiap tingkah laku manusia dapat ditiru. Maka pendidikan tidak hanya tanggung jawab guru, tapi tanggung jawab kita bersama. Pertanyaan yang sangat mendasar untuk kita hari ini adalah “apa tujuan pendidikan kita?” barang kali kita masih tidak mengerti karena tidak disampaikan langsung oleh guru kita di sekolah dahulu atau memang pertanyaan itu terlalu implisit untuk kita pahami.

Tujuan pendidikan bukanlah untuk sekedar pintar, tujuan pendidikan bukan untuk sekedar berilmu saja, tetapi juga untuk mengasah pikiran. Tujuan pendidikan bukan hanya untuk mendapatkan ijazah lalu memperoleh pekerjaan, tujuan pendidikan bukanlah hal yang kita anggap sebagai materi, tujuan pendidikan tidak lain dan tidak bukan menurut KI Hajar Dewantara adalah untuk memerdekaan manusia, memberikan keselamatan, dan kebahagiaan.

Kata “memerdekakan manusia” memang digunakan oleh KI Hajar karena kebutuhan pendidikan saat itu. Penjajahan yang panjang, dan pengaruhnya yang tidak berkesudahan memunculkan ide untuk merdeka. Maka dalam kata lain pendidikan berarti memiliki sifat yang dinamis mengikuti keadaan zaman. Lalu bagaimana dengan tujuan pendidikan pada era ini?

Anda mungkin bahagia ketika mendapatkan ijazah untuk melamar pekerjaan, tetapi mungkin Anda tidak bahagia ketika ternyata pekerjaan yang Anda dapatkan tidaklah sesuai dengan kemampuan. Anda mungkin sangat bahagia karena gelar Anda mengantarkan pekerjaan dengan gaji yang pas-pasan, tapi Anda bangga dan bahagia karena bisa membantu sesama dengan kemampuan yang Anda miliki. Tujuan pendidikan bukanlah milik personal masing-masing individu atau sekelompok orang saja, tujuan pendidikan memiliki nilai yang luas karena menyangkut lintas generasi. Tujuan pendidikan ialah milik bersama yang perlu kerjasama untuk mewujudkannya. Karena mendidik bukan hanya dari guru kepada murid, pendidikan pula berarti membangun masyarakat. Maka kita perlu bergotong-royong dalam mengejar kepentingan bersama ini.

Gotong-royong yang pertama dapat dimulai sejak murid berada di lingkungan rumah.

Kolaburasi antara orang tua dan anggota rumah dibutuhkan untuk membentuk kebiasaan yang baik sejak berada di lingkungannya sendiri. Biasanya seorang murid membawa kebiasaan-kebiasaan di rumah ke dalam aktivitas belajar. Jika kebiasan tersebut bernilai positif maka dapat menularkannya ke lingkungan belajarnya, dan tentunya pekerjaan guru akan sedikit terbantu.

Kemampuan atau bakat, minat, serta ketertarikan siswa dalam belajar tentunya beraneka ragam. Namun antara bakat dan minat tentu saja berbeda. Bakat bisa berasal dari kemampuan fisiknya secara lahir, bisa berupa kenerja otak, atau hal-hal yang berkaitan dengan ketangkasan.

Sementara minta tidak didapatkan sejak lahir, melainkan adanya pengaruh dari apa yang ia lihat, dan apa yang ia dalami. Menumbuhkan mintat, dan mengembangkan bakat adalah bagian dari mendidik, dan mengajar. Melalui sinergi antara guru dan orang tua, gotong-royong ini dapat ditumbuhkan.

Bergotong-royong dalam menumbuhkan minat serta mengembangkat bakat.

Bergotong-royong dalam menumbuhkan minat serta mengembangkat bakat, tidaklah cukup hanya dengan tenaga Guru saja. Siapa saja bisa menjadi pendidik, dan siapa saja bisa mendidik, tapi pertanyaannya adalah “mendidik yang seperti apa yang mengantarkan keselamatan dan kebahagiaan bagi murid?” 

Kurikulum memang memberikan rangkaian belajar dengan masing-masing materi yang telah ditentukan, namun dalam hal ini bukan untuk memaksa murid dengan memintanya menuntaskan semua materi pembelajaran sesuai angkat yang diharapkan, melaikan sebagai sebuah pengetahuan dasar untuk memilih, menentukan, memahami, dan mendalami minat serta bakatnya. Maka lagi-lagi peran orangtua dan guru sangat dibutuhkan untuk memahami bakat serta minat murid.

Kita analogikan sepertihalnya mata pisau, setiap pisau memiliki ketajaman dengan fungsinya yang berbeda-beda. Tidak mungkin seorang tukang jagal menggunakan pisau pemotong wortel untuk mengiris daging, juga sebaliknya.

Pedagang tempe keliling tidak mungkin menggunakan pisau cukur untuk memotong barang dagangannya. Maka pengetahuan yang dimaksudkan di atas memiliki fungsi yang berbeda, dan selanjutnya pengetahuan yang telah didapatkan itu akan menjadi sebuah pilihan untuk didalami hingga menjadi pribadi yang ahli dalam suatu pengetahuan tersebut.

Kita bukan lagi generasi yang kolot, di era digital ini seorang murid bisa menemukan pertanyaan dan menjawab sendiri pertanyaan itu melalui berbagai sumber. Pendidikan yang menggunakan sistem gotong-royong amat sangat perlu melihat ke sektor ini, yaitu wilayah digital atau ciber. Pekerjaan guru mungkin bisa digantikan oleh sebuah postingan pada media sosial, bahkan sudah sangat jelas bentuknya.

Dan barangkali sudah banyak yang menggunakan sebuah perangkat sebagai pengganti guru di kelas. Tetapi akan kan peran guru benar-benar akan tergantikan, dan profesi guru pelan-pelan akan dilupakan?

Kita sering mendengar cerita atau bahkan nasihat dari orang tua terdahulu tentang belajar. Menghormati guru, dan melaksanakan petuahnya merupakan bentuk kesepakatan bahwa guru adalah sumber belajar yang utama.

Namun hal tersebut sangat jauh dengan keadaan kita hari ini. Sumber belajar murid bisa didapatkan di mana saja dan dengan cara apa saja. Tidak selalu pada kemampuan guru dalam memahami materi atau melalui buku saja. Bahkan mungkin penjelasan oleh guru tidak terlalu dapat dipahami, sedangkan penjelasan melalui vidio di media sosial lebih mudah untuk diikuti. 

Sementara fasilitas penunjang belajar tersebut dapat diberikan oleh orang tua hanya dengan satu benda canggih bernama smartphone saja. Maka apa yang dilakukan guru? Dan apakah yang dilakukan oleh orang tua dalam memberikan fasilitas smartphone untuk menunjang belajar itu salah? Tentu saja tidak bukan. Maka kita membentuhkan berbagai pihak selain orang tua dan guru untuk menuju tujuan pendidikan kita, yaitu media.

 Seluruh khayak dapat berkolaburasi menciptakan gotong-royong yang terdiferensi sesuai dengan kodrat keadaan; yaitu kodrat alam, dan kodrat zaman.

Kodrat alam menuntun setiap individu untuk memahami lingkungan dan budaya tempat di mana ia tinggal. Sementara kodrat zaman berarti kebutuhan yang terus-menerus bergulir dari waktu ke waktu, yang tidak tetap. Maka kita sebagai orang tua yang juga akan mendidik putra-putri kita harus dapat membedakan antara kodrat orang tua dengan kodrat anak-anak kita.

Seperti yang telah dibahas di atas tentang minat seorang murid, dengan berkolaburasi menciptakan iklim media sosial yang sehat dan dengan konten bermaka kita bisa menumbuhkan semangat belajar bagi setiap murid-murid kita. sejauh ini koten pada akun media sosial lebih banyak mencari sigmentasi ketimbang mengedukasi.

Sudah saatnya kita menggemgam internet sebagai cara untuk mewujudkan tujuan pendidikan kita, yang selamat dan berbahagia. Yaitu dengan cara membagikan hal-hal yang baik, yang bernilai, yang membuka wawasan dunia.

Ketika kita membuka media sosial lalu kita pergi ke kolom beranda, biasanya ada banyak konten yang ditawarkan kepada pengguna berdasarkan histori penelusuran kita. Secara nilai mungkin tidak hanya menghibur juga memberikan pengetahuan, tetapi apakah pengetahuan yang didapatkan sudah sesuai dengan kotrat kita?

Mungkin informasi yang kita cari pada media sosial sudah menjawab kebutuhkan kita, tapi belum sepenuhnya sesuai dengan kodrat keadaan kita. Karena pengetahuan yang baik tidak menjauhkan diri kita dari asalnya. Pengetahuan yang benar tidak melupakan sejarah dari mana kita terlahir. 

Maka menciptakan iklim belajar yang baik juga bisa dengan menciptakan kontrol pada media sosial, menyesuaikan logaritma dengan keberadaan individu yang mengakses mesin pencarian.

Contohnya, misal, seseorang yang tinggal di daerah pegunungan akan mendapatkan konten yang memuat pengetahuan tentang pegunungan, seseorang yang tinggal di lingkungan perkotaan akan mendapatkan saran dari konten-konten yang berbau perkotaan.

Hari ini kita masih mendapatkan jalan raya yang macet akibat banyaknya pengguna kendaraan pribadi, rumah terendam luapan air sungai karena dibangun persis di tepi sungai, gorong-gorong yang dikerjaan saat musim penghujan dan tidak tahu ke mana airnya bermuara, dan belum lagi penggunaan air tanah yang berlebih menyebabkan tanah-tanah kita sudah mulai terendam air laut, ada beberapa yang letaknya cukup jauh dari pantai akan tetapi lebih rendah dari permukaan air laut.

Ini semua terjadi karena kita belum sepenuhnya memahami tujuan dari pendidikan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun