Pandemi berlanjut hingga bulan puasa tahun 2022, satgas bolehkan bukber asal jangan ngobrol. Ini bukan guyonan, tapi ramai jadi konten masal di media sosial. Sungguh alangkah humornya negeri ini.
Masalah berbahasa sepertinya masih menjadi kendala kaum intelek.Â
Bukan hanya bagi penduduk urban yang konon katanya banyak didiami orang-orang bertitel dan berpangkat tinggi, para netizen yang awam akan bahasa, yang menggunakan bahasa sebatas pengetahuan, dan pembendaharaan seadaanya saja pun akhirnya menggunakan ketidak tahuannya akan bahasa sebagai guyonan.Â
Padahal apa yang kita orang awan guyonkan dengan bahasa tidak lebih dan tidak kurang adalah sebuah penggambarkan akan kebodohan dan kurangnya pengetahuan akan berbahasa.Â
Beberapa waktu lalu kita semua menyaksikan di media sosial pemerintah menyampaikan responnya terhadapat hajatan rakyat saat bulan puasa. Acara seperti reuni atau buka bersama kini menjadi sebuah kegiataan yang dianggap oleh satgas covid sebagai hal yang harus dihindari.
Ya, memang pada dasarnya seluruh rakyat Indonesia setuju bahwa protokal kesehatans selama masa pendemi ini masih harus dan tetap dilakukan.Â
Dengan kalimat "Boleh Bukber Tapi Dilarang Ngobrol" seolah-olah telah menjadi sebuah solusi untuk mencegah penularan virus corona di bulan puasa. Yang padahal kaliman ini oleh masyarakat awam dianggap menggelitik, dan penuh dengan paradoks jenaka.Â
Kita sebagai masyarakat yang waras tidak perlu merasa aneh atau heran dengan kalimat yang dikeluarkan satgas. Barang kali yang dimaksud adalah untuk mengutamakan buka puasa ketimbang bergosip di meja makan, kan jadi sayang-sayang puasanya.Â
Atau kalau kita ingin jauh berbaik sangka, dengan tidak mengobrol selama acara bukber berlangsung itu berarti kita tidak hanya sedang menikmati makanan, dan menghargai petani yang menanam beras, tetapi juga kita sedang menjaga diri untuk tidak membahas hal-hal yang dapat merusak acara kebersamaan. Toh tujuan buker itu kan sekedar makan-makan.Â
Tetapi bagai mana kalau kita sama seperti kaum awam yang lain, menganggap kalimat "Boleh Bukber Tapi Dilarang Ngobrol" dari satgas sebagai hal yang aneh, lucu, menggemaskan, dan bahkan menggelitik perut serta mulut untuk melepaskan tawa sampai terpingkal-pingkal. Ya, bukber! Ya, pasti ngobrol dong!Â
Memangnya kaum urban mana yang tidak mengobrol saat acara bukber datang dalam agenda perjumpaan melepas rindu mereka? Memangnya bisa buker tanpa ngobrol, nanti janjian bukbernya bagai mana? Nanti acara makan-makannya bagai mana, masa mesen menu makanan pakai gimik? Kalau melarang kenapa ada kata boleh? Kalau mau mencegah kenapa masih pakai himbauan atau perintah? Bagai mana sih ... dan seterusnya. Entah seberapa banyak kalimat tanya yang akan keluar untuk menanggapi kalimat yang katanya lucu dari satgas yang satu ini.
Lalu bagai mana kita melihat kalimat satgas yang berpunyi "Boleh Bukber Tapi Dilarang Ngobrol" ini dengan pengetahuan bahasa? Nah, kurang lebih seperti ini.Â
Kata "Boleh Bukber Tapi Dilarang Ngobrol" sendiri sebenarnya memiliki dua makna sekaligus yang secara ilmu bahasa disebut dengan makna semantik dan makna pragmatik.Â
Jika kita hanya memahami makna secara leksikal atau semantik, maka dalam kalimat "Boleh Bukber Tapi Dilarang Ngobrol" kita hanya akan menemukan makna yang sangat ambigu. Yaitu boleh bukber tapi syaratnya gak boleh ngobrol.Â
Ketika kita sebagai kaum awam membaca "Boleh Bukber Tapi Dilarang Ngobrol" maka dengan kemampuan berbahasa yang tidak cukup luas, kita mengartikan kalimat ini sebagai sebuah "pembolehan bersyarat."Â
Jadi tidak heran jika akhirnya kita sendiri bingung dengan kalimat "Boleh Bukber Tapi Dilarang Ngobrol" ini, karena yang kita gunakan dalam memahami suatu bahasa hanyalah menggunakan makna leksikal saja.
Bagai mana dengan makna pragmatik dalam kalimat satgas "Boleh Bukber Tapi Dilarang Ngobrol" ini, apakah berbeda?Â
Nah, jika kita memahami kalimat di atas dengan teori pragmatik maka pemahaman yang muncul adalah kebalikan dari makna semantik tadi. Ini bukan berarti semantik lawannya dari pragmatik, melainkan ada tujuan kenapa satgas mengucapkan kalimat tersebut.
Berbeda dengan makna semantik yang hanya melihat makna dari leksikalnya saja. Jadi kita memahami sebuah bahasa tidak hanya menggunakan pemahaman semanti atau leksikal saja, melain pula dengan pemahaman pragmatik.Â
Kata "Boleh Bukber Tapi Dilarang Ngobrol" dalam teori pragmatik memiliki tafsiran yang aritnya tidak boleh bukber.Â
Sebenarnya kalimat "Boleh Bukber Tapi Dilarang Ngobrol" itu sudah sangat jelas berisi larangan untuk tidak bukber, tetapi disampaikan dengan cara pragmatik yang bertujuan untuk memberikan kesan santun, halus, atau apalah.Â
Tapi sayang sekali, nyatanya warga urban kita tidak terlalu fasih dalam memahami bahasa kesantunan. Mungkin karena kita sudah tidak dikenal sebagai masyarakat yang santun lagi. Atau memang kesantunan kita hanyalah untuk orang asing, bukan untuk sesama penduduk bangsa?
Iya jawabannya ada pada diri kita sendiri. Toh nyatanya kita malah ramah dan santun kepada orang asing yang jelas-jelas tidak sebahasa dengan kita.
Bahsa pragmatik biasa digunakan oleh masyarakat kita untuk berbasa-basi, yang banyak pula memiliki fungsi kesantunan dalam berbahasa. Anda pasti tidak asing dengan sebuah dialog berikut:
Badrun: Besok nobar champion di rumah lau yak?
Jamal: Waduh, TV di rumah kurang bening.
Percakapan di atas berisi ajakan Badrun yang ngebet nonton bareng tayangan champion di rumah Jamal.
Sementara Jamal menolak ajakkan tersebut dengan mengatakan kalimat yang sama sekali tidak berisi kata "tidak" atau "enggak mau" melainkan dengan memberikan pernyataan bahwa TV di rumahnya kurang bening atau channel untuk menonton acara champion di rumahnya tidak mendapatkan sinyal yang bagus untuk mendapatkan hasil gambar yang maksimal. Bukankah masalah berbahasa pada contoh di atas amat sangat mirip dengan kebiasaan kita untuk menolak sesuatu?
Atau Anda juga mungkin snagat familiar dengan kalimat seperti:Â
Tamu: waduh, adem-adem begini paling enak ngopi kali, ya!
Tuan Rumah: Ora ada, gulanya habis.
Untuk memulai permintaan kepada Tuan Rumah, Si Tamu menggunakan kalimat yang dalam tanda kutip sedang berbasa-basi.
Ia ingin meminta sesuatu kepada Si Tuan Rumah, tapi Ia berusaha menggunakan cara yang ramah, cara yang menyimbolkan kedekatan anatara Si Tamu dengan Tuan Rumah. Dan Si Tuan Rumah menjawab dengan maksim yang salah, kan yang diminta sebuah kopi hangat tapi yang dijawab gula.
Kopi dan gula memang memiliki hubungan, namun dalam dialog di atas gula bukanlah objek yang sedang diminta oleh Si Tamu.Â
Maka dapat disimpulkan bahwa Si Tuan Rumah berusaha menolak dengan cara keakraban anatara pemilik rumah dengan Si Tamunya. Bisa jadi dialog di atas merupakan sebuah guyonan yang pada akhirnya Si Tamu tetap dibuatkan satu hidangan kopi hangat plus dengan gula.
Kalau kita melihat contoh di atas bukankah pragmatik itu hal yang biasa? Bukankah Saya, Anda, atau kaum urban sekalian pernah pula mengalaminya?Â
Tapi kenapa mendengar atau membaca kalimat "Boleh Bukber Tapi Dilarang Ngobrol" ini dari sagtas hidung Anda kembang kempis, mata merah gatel, jari gemeter, dan bibir ngedumel? Apakah kita lupa dengan cara memahami sebuah bahasa? Apakah kita lupa untuk tidak hanya berbahasa santun, tetapi juga berpikir dengan santun.
Padahal ada banyak sarjana ahli bahasa menggunakan teori ini untuk judul skripsi mereka. Tetapi nyatanya skripsi mereka tidak terbaca juga oleh masyarakat yang padahal praktik berbahasa secara pragmatik merupakan kebiasaan masyarakat kita, yang pelan-pelan tidak lagi menjadi budaya berbahasa santun, melainkan sesuatu yang aneh, lucu, menggelitik, dan bahkan menggemaskan, membuat gatel netizen untuk nge-tweet macem-macem.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI