Ia ingin meminta sesuatu kepada Si Tuan Rumah, tapi Ia berusaha menggunakan cara yang ramah, cara yang menyimbolkan kedekatan anatara Si Tamu dengan Tuan Rumah. Dan Si Tuan Rumah menjawab dengan maksim yang salah, kan yang diminta sebuah kopi hangat tapi yang dijawab gula.
Kopi dan gula memang memiliki hubungan, namun dalam dialog di atas gula bukanlah objek yang sedang diminta oleh Si Tamu.Â
Maka dapat disimpulkan bahwa Si Tuan Rumah berusaha menolak dengan cara keakraban anatara pemilik rumah dengan Si Tamunya. Bisa jadi dialog di atas merupakan sebuah guyonan yang pada akhirnya Si Tamu tetap dibuatkan satu hidangan kopi hangat plus dengan gula.
Kalau kita melihat contoh di atas bukankah pragmatik itu hal yang biasa? Bukankah Saya, Anda, atau kaum urban sekalian pernah pula mengalaminya?Â
Tapi kenapa mendengar atau membaca kalimat "Boleh Bukber Tapi Dilarang Ngobrol" ini dari sagtas hidung Anda kembang kempis, mata merah gatel, jari gemeter, dan bibir ngedumel? Apakah kita lupa dengan cara memahami sebuah bahasa? Apakah kita lupa untuk tidak hanya berbahasa santun, tetapi juga berpikir dengan santun.
Padahal ada banyak sarjana ahli bahasa menggunakan teori ini untuk judul skripsi mereka. Tetapi nyatanya skripsi mereka tidak terbaca juga oleh masyarakat yang padahal praktik berbahasa secara pragmatik merupakan kebiasaan masyarakat kita, yang pelan-pelan tidak lagi menjadi budaya berbahasa santun, melainkan sesuatu yang aneh, lucu, menggelitik, dan bahkan menggemaskan, membuat gatel netizen untuk nge-tweet macem-macem.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H