Tapi sayang sekali, nyatanya warga urban kita tidak terlalu fasih dalam memahami bahasa kesantunan. Mungkin karena kita sudah tidak dikenal sebagai masyarakat yang santun lagi. Atau memang kesantunan kita hanyalah untuk orang asing, bukan untuk sesama penduduk bangsa?
Iya jawabannya ada pada diri kita sendiri. Toh nyatanya kita malah ramah dan santun kepada orang asing yang jelas-jelas tidak sebahasa dengan kita.
Bahsa pragmatik biasa digunakan oleh masyarakat kita untuk berbasa-basi, yang banyak pula memiliki fungsi kesantunan dalam berbahasa. Anda pasti tidak asing dengan sebuah dialog berikut:
Badrun: Besok nobar champion di rumah lau yak?
Jamal: Waduh, TV di rumah kurang bening.
Percakapan di atas berisi ajakan Badrun yang ngebet nonton bareng tayangan champion di rumah Jamal.
Sementara Jamal menolak ajakkan tersebut dengan mengatakan kalimat yang sama sekali tidak berisi kata "tidak" atau "enggak mau" melainkan dengan memberikan pernyataan bahwa TV di rumahnya kurang bening atau channel untuk menonton acara champion di rumahnya tidak mendapatkan sinyal yang bagus untuk mendapatkan hasil gambar yang maksimal. Bukankah masalah berbahasa pada contoh di atas amat sangat mirip dengan kebiasaan kita untuk menolak sesuatu?
Atau Anda juga mungkin snagat familiar dengan kalimat seperti:Â
Tamu: waduh, adem-adem begini paling enak ngopi kali, ya!
Tuan Rumah: Ora ada, gulanya habis.
Untuk memulai permintaan kepada Tuan Rumah, Si Tamu menggunakan kalimat yang dalam tanda kutip sedang berbasa-basi.