Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Krismon: Bagian 1 Keluarga Dukri

21 Maret 2022   14:21 Diperbarui: 9 Maret 2023   00:40 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada rasa lega di dada bocah perantauan itu. Ia mengelus dada sambil melepaskan nafas merdekanya. Baru sebentar kemerdekaan itu didapatkan muncul kembali sebuah tugas dari kampung halaman. Tidak hanya ia lupa kepada Dukri, ia juga lupa kepada kakak-kakaknya. Kesibukan menjadi kurir telah banyak menyita waktu dan ingatannya akan keluarga. Bukan hanya itu, Krismon bahkan tidak punya inisiatif untuk menghubungi bapaknya di rumah atau berkunjung ke perantauan kakak-kakaknya yang memang dia sendiri tidak tahu kemana mereka berada itu.

Sebagai cara memperbaiki hubungan dirinya dengan kakak serta bapaknya, Krismon menelpon balik ke kampung halaman. Dengan segala kerinduan serta baktinya kepada sang Bapak, Krismon melepaskan seluruh gundah hatinya dan akan secepatnya mencari keberadaan kakaknya yang hendak kawin itu.

Sebagai anak yang paling Sulung, Eka sendiri sangat jarang memperhatikan adik-adiknya. Dahulu saat ia duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, Eka kerap tidak menghadiri jam pelajaran lantaran ia sibuk menjaga adik-adiknya yang sering diledek oleh teman sebaya mereka. Bukan hanya secara fisik, bahkan Eka harus mencopot langkah pendidikannya untuk memberikan kesempatan kepada adik-adiknya agar juga dapat merasakan bangku pendidikan. Itulah yang menjadi kali terakhir Eka bersama dengan adik-adiknya.

Meskipun pernah mengenyam pendidikan nyatanya Eka tidak sanggup membaca dan menulis dengan baik. Huruf kapital menjadi ciri khasnya di atas kertas. Ia bahkan tidak dapat bertutur bahasa dengan lancar. Seringnya bahasa daerah terlontarkan dari mulut Eka sendiri sebab tidak tahu persamaannya. Tidak juga diberkati keterampilan khusus untuk mencari pekerjaan. Ia hanyalah seorang laki-laki yang ulet dan tahan banting. Kelebihan yang lain tidak ada dalam dirinya kecuali otot dan semangat.

Semasa hidupnya menjadi jongos Eka hanya punya satu bos saja. Ia ditugasi untuk menjaga rumah, mengurus kebun dan mengurus kebersihannya. Rumah itu seperti miliknya sendiri, sebab si pemilik rumah sering tidak ada di rumahnya itu selama berbulan-bulan. Pekerjaan seperti ini didapatkan olehnya melalui salah seorang rekan yang pernah berjumpa dengannya saat Eka sempat hidup menggelandang di ibu kota. Ia tidak sempat menyisihkan sebagian dari penghasilannya selama bertahun-tahun untuk mengirim bapak dirumah. Salah satu penyebabnya karena ia belum menemukan pekerjaan dan upah yang layak. Tapi Eka berupaya menyimpan beberapa lembar uang dari gajinya ke dalam celengan, dan bertekad suatu hari nanti akan ia bawa ke hadapan Dukri, ayahnya. Namun kebaikannya itu tidak bertahan lama. Hiruk pikuk kota telah melahirkan banyak kebutuhan yang tiada habis-habisnya diselesaikan. Alhasil tidak banyak uang yang bisa ia tabung.

Eka punya alasan sendiri terhadap bapaknya. Ia merasa tidak mendapatkan haknya sebagai seorang anak dengan benar. Pria itu menuduh bapaknya yang telah mempekerjakan dirinya sebagai bentuk atas ketidak tanggung jawaban sebagai seorang bapak. Ditambah semasa kecil ia kurang mendapat belaian hangat seorang ibu, sebab istri Dukri meninggal sesaat setelah melahirkan Krismon dan meninggalkan kedua anaknya yang lain. Meskipun kurang kasih sayang seorang ibu nyatanya Eka memiliki perasaan kasih yang peka, seperti perasaan seorang ibu. Sayangnya sifat seperti seorang ibu itu hanya muncul ketika usianya masih belia. Kini ia tidak lagi menjadi sesosok kakak penyayang. Untuk apa lagi memberikan perhatian lebih kepada adik-adiknya. Mereka sudah besar dan dapat mencari penghidupan sendiri. Begitulah pikirnya. Namun tetap saja, perasaan rindu terkadang kerap muncul dan mengganggu ketenangan hatinya.

Semenjak pernikahan itu Eka tidak terlihat lagi keberadaannya. Tidak oleh adik-adiknya, tidak pula oleh rekan-rekannya. Bahkan Dukri sendiri enggan untuk mengusik. Belakangan yang dipikirkan kakek tua itu hanyalah seorang Krismon saja. Anak itu menjadi harapan Dukri yang terakhir. Setelah Eka menikah dan tak mau lagi peduli dengan nasibnya, kelakuan yang sama muncul pula dari Saepul. Sebagai seorang anak laki-laki yang merantau pada usia masih dini, Saepul awalnya tidak banyak perencanaan jauh tentang kehidupannya di perantauan. 

Tiba-tiba saja tersurat kabar bahwa Saepul telah lama kawin dengan seseorang perempuan. Kabar tersebut beredar di kalangan perantauan. Dukri sendiri mengetahui kabar bahwa anaknya itu telah kawin melalui mulut para tetangganya. Lagi-lagi Krismon yang diminta untuk mencari tahu kebenaran kabar tersebut harus tertunduk malu. Atas segala rasa baktinya Krismon berupaya untuk mencari kabar kakaknya. Ia pergi mencari kebenaran kabar itu dari rekan perantauan satu menuju rekan perantauan yang lain. Informasi yang terkumpul tidak dapat disimpulkan dengan jelas. Kapan dan di mana sebenarnya Saepul berada, lalu kawin begitu saja. Krismon merasa dirinya bukan lagi seorang anak-anak atau seorang adik dari kakak-kakaknya. Justru tanggung jawabnya serupa dengan kakak kepada para kakak-kakaknya. Ia sendiri menjadi salah seorang anak di keluarga Dukri yang berupaya mengikat kembali tali persaudaraan meski usahanya sering tidak berhasil. Krismon membawa kabar setengah jalan itu kepada Dukri sebagai bentuk kegagalannya mencari kabar Saepul.

Dukri mengulang kembali keputusan buruknya. Ia tidak mau mengetahui apa-apa lagi tentang kedua anaknya itu. Menerima keadaan semua keadaan sebagai bentuk rasa ikhlas terhadap nasibnya yang tidak kunjung dibalas dengan sikap baik oleh anak-anaknya.

Lima tahun setelah Saepul menikah, Krismon memutuskan diri untuk pulang ke kampung halaman. Tapi kali ini ia tidak tahu apa suasana hati yang harus disampaikan kepada bapaknya, gembirakah tau bebankah. Kedua anak laki-laki duduk di sebelahnya dalam bus itu. Di deretan tiga kursi bus tersebut, bersama dua orang anak ingusan yang masih berusia cukup belia membuatnya merasa seperti seorang ayah untuk sementara waktu. Kedua keponakannya itu dititipkan kepada Krismon untuk diurus. Sementara Krismon masih hidup membujang dengan usianya yang sudah berumur dua puluh enam tahun menjelang dua puluh tujuh. Masing-masing dari kedua anak itu mempunyai jalan cerita yang cukup rumit. Alasan-alasan mengapa mereka berdua dititipkan kepada pamannya tidak dapat dengan gamblang disampaikan kepada Dukri, kakek kedua bocah itu. Belum tentu Dukri akan menyambut baik kedua cucunya. Bisa jadi Krismon hanya akan mendapat umpatan dari mulut bapaknya, menjadi wakil atas ketidak tanggung jawaban kedua kakaknya mengurus anak. Krismon sendiri memahami keadaan kakak-kakaknya yang sedang darurat itu, tapi di sela-sela lelahnya Krismon sendiri setengah membenci keadaan untuk waktunya mengurus kedua bocah itu. Yang ia benci adalah terutama sekali kepada kedua kakaknya sendiri. Tapi ia tidak sanggup menampakan air muka kekesalannya kepada kedua ponakannya itu. Melihat ingusnya yang masih bergelantungan di hidung dan bila matanya yang begitu jernih berbinar-binar, Krismon tidak tega membiarkan kedua ponakannya terlantar. Apa pun yang akan terjadi nanti, diterima atau tidak, ia telah bertekad untuk menjaga kedua anak itu. Soal dari mana Krismon harus menghidupi keduanya juga perutnya sendiri, itu urusan belakangan. Pada kampung halamannya nanti ia berpikir dapat bekerja di sawah, dan ladang atau bahkan menjadi kuli di lahan ternak milik penduduk setempat. Atau mungkin ia akan bekerja pada sebuah pabrik, apa pun itu yang penting cukup untuk menghidupi keluarga barunya.

Sebenarnya Dukri sendiri mempunyai lahan yang cukup luas di sekeliling rumahnya. Lahan itu cukup untuk dijadikan sumber pencaharian. Namun kondisi fisik Dukri sudah tidak perkasa lagi. Sisa tenaganya berasal dari otot lembek, mata yang mulai kabur, ingatan yang sudah melemah, serta focus yang berkurang itu hanya cukup untuk menanam singkong saja dan beberapa sayuran. Dukri sendiri menanam beberapa sayur-sayuran yang mudah dirawat. Seperti bayam, oyong, dan pare. Untuk menghilangkan penak terkadang Dukri pergi ke sawah untuk mencari belut. Sementara di waktu-waktu lain ia juga kerap memancing ikan sungai Kali Waluh untuk mengisi kesepiannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun