Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Krismon: Bagian 1 Keluarga Dukri

21 Maret 2022   14:21 Diperbarui: 9 Maret 2023   00:40 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1. KELUARGA DUKRI

Tahun ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Keadaan rumah keluarga Dukri terlihat seperti tidak berpenghuni. Kakek tua itu memang sudah lama ditinggal anak-anaknya merantau ke ibu kota. Mereka merantau sejak umurnya masih belia, adalah Eka anak laki-lakinya yang merantau sejak umur sembilan tahun dan bekerja sebagai babu rumahan. Anaknya yang kedua bernama Saepul, ia merantau dari mulai umur tiga belas tahun. Dan anaknya yang terakhir bernama Krismon, ia merantau ke ibu kota pada umur sembilan belas tahun.

Anak pertamanya yang bernama Eka merantau sejak umur yang belia. Ia ke kota bersama anak-anak lain di desanya. Eka dan anak-anak rantauan lain kebanyakan bekerja pada sebuah rumah makan atau hanya sekedar menjadi jongos rumahan. Entahlah, apa pun yang bisa menghasilkan uang dari ototnya, maka itu akan menjadi pekerjaannya. Ia pernah bekerja sebagai seorang perawat kebun milik salah seorang pedangdut bernama Julia.  Namun majikannya itu terpaksa memecatnya karena persoalan ekonomi. Hingga akhirnya Eka bekerja pada salah seorang pemilik jasa transportasi. Pada Kosim pemilik usaha jasa itu, Eka menjadi sopir angkutan umum dan berhasil memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Baca juga: Krismon: Bagian 2

Lain halnya dengan Eka, Saepul bekerja pada salah seorang tetangga sekampung halaman yang juga merantau dan berjualan martabak di ibu kota. Bocah itu tiap hari membantu pemilik martabak mengerjakan apa yang menjadi pekerjaannya. Ia tidak dilibatkan dalam urusan belanja, mungkin pemilik usaha martabak yang belakangan dipanggil bos oleh si Saepul merasa perlu merahasiakan resep. Sementara Saepul hanya ditugaskan untuk urusan menjual, memasak dan melayani saja. Di samping itu semua bahan-bahan sudah disiapkan setengah langkah. Ada beberapa bagian bumbu yang tidak dibuat oleh tangan-tangan lincah Saepul melainkan oleh bosnya sendiri. Namun pada akhirnya Saepul terpaksa keluar dari statusnya menjadi karyawan martabak. Kemudian ia pun membuka usaha martabaknya sendiri dengan modal yang didapatkan dari mantan bosnya. Dari sanalah Saepul berhasil memenuhi kebutuhan keluarga.

Nasib Krismon jauh lebih beruntung dari kedua saudara dan namanya sendiri. Krismon menjadi anak laki-laki satu-satunya yang pandai membaca dan menulis. Beberapa kali ia diminta oleh kepala desa untuk membuat proposal kegiatan organisasi pemuda desa. Banyak juga di antara kawan-kawannya yang menginginkan Krismon bertahan hidup di desa dalam waktu yang lama. Namun kebutuhan ekonomi dan tekanan keluarga membuatnya harus melalang buana di ibu kota. Hingga pada suatu hari ia mempunyai keinginan yang cukup bulat untuk menetap di desa Kali Waluh. Semuanya berawal Ketika Dukri memberikan perintah kepadanya untuk menjemput kakak-kakaknya untuk pulang ke kampung halaman. Salah satu alasan lainnya karena ia ingin lebih dekat dengan keluarga. Namun ia mendapatkan beberapa masalah yang cukup rumit.  

Kakak pertama mereka memberikan kabar yang mengejutkan, Eka telah lama menyukai seorang perempuan dan berkeniatan ingin meminang gadis pujaan hatinya. Sementara Dukri sendiri tidak merasa senang dengan kabar itu. Pasalnya dari sekian banyak anak-anaknya hanya Eka saja yang tidak pernah memberi kabar kepada orang tuanya. Krismon menjadi orang pertama yang diminta oleh bapaknya untuk mencari keberadaan Eka. Tiga bersaudara ini memang tidak pernah berjumpa di ibu kota, mereka pun tidak sering bertukar kabar. Hanya sesekali saja dalam satu tahun mereka berjumpa, itu pun kalau musim lebaran tiba. Sementara kabar ingin menikahnya si Eka disampaikan oleh salah seorang kawannya yang lebih dahulu pulang kampung untuk berlibur. Kawannya itu memberikan selembar alamat yang ditulis menggunakan spidol hitam. Tulisannya pun sangat jelas dan tebal, semuanya menggunakan huruf kapital.

Soal baca membaca, tulis menulis, Krismon akan menjadi andalan keluarga itu. Dukri meminta tolong kepada tetangganya yang mempunyai fasilitas telepon. Pada zaman itu orang-orang menyebutnya telegram. Sementara nomor yang dituju bukanlah nomor telepon milik Krismon sendiri. Tidak lain nomor telepon yang dituju itu milik pemilik rumah kontrakan yang disewa oleh Krismon. Tentunya pesan telegram itu tidak langsung sampai ke telinga Krismon, sebab bocah itu sedang melaksanakan tugasnya mengantar barang.

Pukul malam saat Krismon pulang dari pekerjaannya, ia pun langsung disambut pemilik rumah kontrakan. Agak sedikit terkejut Krismon melihat Caeng di depan matanya.

"Sekarang baru pertengahan bulan kan Bang?" Celetuk Krismon ketakutan ditagih uang sewa.

"Anak ini kenapa? Saya datang mau kasih amanat".

Ada rasa lega di dada bocah perantauan itu. Ia mengelus dada sambil melepaskan nafas merdekanya. Baru sebentar kemerdekaan itu didapatkan muncul kembali sebuah tugas dari kampung halaman. Tidak hanya ia lupa kepada Dukri, ia juga lupa kepada kakak-kakaknya. Kesibukan menjadi kurir telah banyak menyita waktu dan ingatannya akan keluarga. Bukan hanya itu, Krismon bahkan tidak punya inisiatif untuk menghubungi bapaknya di rumah atau berkunjung ke perantauan kakak-kakaknya yang memang dia sendiri tidak tahu kemana mereka berada itu.

Sebagai cara memperbaiki hubungan dirinya dengan kakak serta bapaknya, Krismon menelpon balik ke kampung halaman. Dengan segala kerinduan serta baktinya kepada sang Bapak, Krismon melepaskan seluruh gundah hatinya dan akan secepatnya mencari keberadaan kakaknya yang hendak kawin itu.

Sebagai anak yang paling Sulung, Eka sendiri sangat jarang memperhatikan adik-adiknya. Dahulu saat ia duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, Eka kerap tidak menghadiri jam pelajaran lantaran ia sibuk menjaga adik-adiknya yang sering diledek oleh teman sebaya mereka. Bukan hanya secara fisik, bahkan Eka harus mencopot langkah pendidikannya untuk memberikan kesempatan kepada adik-adiknya agar juga dapat merasakan bangku pendidikan. Itulah yang menjadi kali terakhir Eka bersama dengan adik-adiknya.

Meskipun pernah mengenyam pendidikan nyatanya Eka tidak sanggup membaca dan menulis dengan baik. Huruf kapital menjadi ciri khasnya di atas kertas. Ia bahkan tidak dapat bertutur bahasa dengan lancar. Seringnya bahasa daerah terlontarkan dari mulut Eka sendiri sebab tidak tahu persamaannya. Tidak juga diberkati keterampilan khusus untuk mencari pekerjaan. Ia hanyalah seorang laki-laki yang ulet dan tahan banting. Kelebihan yang lain tidak ada dalam dirinya kecuali otot dan semangat.

Semasa hidupnya menjadi jongos Eka hanya punya satu bos saja. Ia ditugasi untuk menjaga rumah, mengurus kebun dan mengurus kebersihannya. Rumah itu seperti miliknya sendiri, sebab si pemilik rumah sering tidak ada di rumahnya itu selama berbulan-bulan. Pekerjaan seperti ini didapatkan olehnya melalui salah seorang rekan yang pernah berjumpa dengannya saat Eka sempat hidup menggelandang di ibu kota. Ia tidak sempat menyisihkan sebagian dari penghasilannya selama bertahun-tahun untuk mengirim bapak dirumah. Salah satu penyebabnya karena ia belum menemukan pekerjaan dan upah yang layak. Tapi Eka berupaya menyimpan beberapa lembar uang dari gajinya ke dalam celengan, dan bertekad suatu hari nanti akan ia bawa ke hadapan Dukri, ayahnya. Namun kebaikannya itu tidak bertahan lama. Hiruk pikuk kota telah melahirkan banyak kebutuhan yang tiada habis-habisnya diselesaikan. Alhasil tidak banyak uang yang bisa ia tabung.

Eka punya alasan sendiri terhadap bapaknya. Ia merasa tidak mendapatkan haknya sebagai seorang anak dengan benar. Pria itu menuduh bapaknya yang telah mempekerjakan dirinya sebagai bentuk atas ketidak tanggung jawaban sebagai seorang bapak. Ditambah semasa kecil ia kurang mendapat belaian hangat seorang ibu, sebab istri Dukri meninggal sesaat setelah melahirkan Krismon dan meninggalkan kedua anaknya yang lain. Meskipun kurang kasih sayang seorang ibu nyatanya Eka memiliki perasaan kasih yang peka, seperti perasaan seorang ibu. Sayangnya sifat seperti seorang ibu itu hanya muncul ketika usianya masih belia. Kini ia tidak lagi menjadi sesosok kakak penyayang. Untuk apa lagi memberikan perhatian lebih kepada adik-adiknya. Mereka sudah besar dan dapat mencari penghidupan sendiri. Begitulah pikirnya. Namun tetap saja, perasaan rindu terkadang kerap muncul dan mengganggu ketenangan hatinya.

Semenjak pernikahan itu Eka tidak terlihat lagi keberadaannya. Tidak oleh adik-adiknya, tidak pula oleh rekan-rekannya. Bahkan Dukri sendiri enggan untuk mengusik. Belakangan yang dipikirkan kakek tua itu hanyalah seorang Krismon saja. Anak itu menjadi harapan Dukri yang terakhir. Setelah Eka menikah dan tak mau lagi peduli dengan nasibnya, kelakuan yang sama muncul pula dari Saepul. Sebagai seorang anak laki-laki yang merantau pada usia masih dini, Saepul awalnya tidak banyak perencanaan jauh tentang kehidupannya di perantauan. 

Tiba-tiba saja tersurat kabar bahwa Saepul telah lama kawin dengan seseorang perempuan. Kabar tersebut beredar di kalangan perantauan. Dukri sendiri mengetahui kabar bahwa anaknya itu telah kawin melalui mulut para tetangganya. Lagi-lagi Krismon yang diminta untuk mencari tahu kebenaran kabar tersebut harus tertunduk malu. Atas segala rasa baktinya Krismon berupaya untuk mencari kabar kakaknya. Ia pergi mencari kebenaran kabar itu dari rekan perantauan satu menuju rekan perantauan yang lain. Informasi yang terkumpul tidak dapat disimpulkan dengan jelas. Kapan dan di mana sebenarnya Saepul berada, lalu kawin begitu saja. Krismon merasa dirinya bukan lagi seorang anak-anak atau seorang adik dari kakak-kakaknya. Justru tanggung jawabnya serupa dengan kakak kepada para kakak-kakaknya. Ia sendiri menjadi salah seorang anak di keluarga Dukri yang berupaya mengikat kembali tali persaudaraan meski usahanya sering tidak berhasil. Krismon membawa kabar setengah jalan itu kepada Dukri sebagai bentuk kegagalannya mencari kabar Saepul.

Dukri mengulang kembali keputusan buruknya. Ia tidak mau mengetahui apa-apa lagi tentang kedua anaknya itu. Menerima keadaan semua keadaan sebagai bentuk rasa ikhlas terhadap nasibnya yang tidak kunjung dibalas dengan sikap baik oleh anak-anaknya.

Lima tahun setelah Saepul menikah, Krismon memutuskan diri untuk pulang ke kampung halaman. Tapi kali ini ia tidak tahu apa suasana hati yang harus disampaikan kepada bapaknya, gembirakah tau bebankah. Kedua anak laki-laki duduk di sebelahnya dalam bus itu. Di deretan tiga kursi bus tersebut, bersama dua orang anak ingusan yang masih berusia cukup belia membuatnya merasa seperti seorang ayah untuk sementara waktu. Kedua keponakannya itu dititipkan kepada Krismon untuk diurus. Sementara Krismon masih hidup membujang dengan usianya yang sudah berumur dua puluh enam tahun menjelang dua puluh tujuh. Masing-masing dari kedua anak itu mempunyai jalan cerita yang cukup rumit. Alasan-alasan mengapa mereka berdua dititipkan kepada pamannya tidak dapat dengan gamblang disampaikan kepada Dukri, kakek kedua bocah itu. Belum tentu Dukri akan menyambut baik kedua cucunya. Bisa jadi Krismon hanya akan mendapat umpatan dari mulut bapaknya, menjadi wakil atas ketidak tanggung jawaban kedua kakaknya mengurus anak. Krismon sendiri memahami keadaan kakak-kakaknya yang sedang darurat itu, tapi di sela-sela lelahnya Krismon sendiri setengah membenci keadaan untuk waktunya mengurus kedua bocah itu. Yang ia benci adalah terutama sekali kepada kedua kakaknya sendiri. Tapi ia tidak sanggup menampakan air muka kekesalannya kepada kedua ponakannya itu. Melihat ingusnya yang masih bergelantungan di hidung dan bila matanya yang begitu jernih berbinar-binar, Krismon tidak tega membiarkan kedua ponakannya terlantar. Apa pun yang akan terjadi nanti, diterima atau tidak, ia telah bertekad untuk menjaga kedua anak itu. Soal dari mana Krismon harus menghidupi keduanya juga perutnya sendiri, itu urusan belakangan. Pada kampung halamannya nanti ia berpikir dapat bekerja di sawah, dan ladang atau bahkan menjadi kuli di lahan ternak milik penduduk setempat. Atau mungkin ia akan bekerja pada sebuah pabrik, apa pun itu yang penting cukup untuk menghidupi keluarga barunya.

Sebenarnya Dukri sendiri mempunyai lahan yang cukup luas di sekeliling rumahnya. Lahan itu cukup untuk dijadikan sumber pencaharian. Namun kondisi fisik Dukri sudah tidak perkasa lagi. Sisa tenaganya berasal dari otot lembek, mata yang mulai kabur, ingatan yang sudah melemah, serta focus yang berkurang itu hanya cukup untuk menanam singkong saja dan beberapa sayuran. Dukri sendiri menanam beberapa sayur-sayuran yang mudah dirawat. Seperti bayam, oyong, dan pare. Untuk menghilangkan penak terkadang Dukri pergi ke sawah untuk mencari belut. Sementara di waktu-waktu lain ia juga kerap memancing ikan sungai Kali Waluh untuk mengisi kesepiannya.

Kakak itu telah mempunyai dua cucuk dari kedua putranya. Eka mempunyai seorang anak dari pernikahannya dengan Damimi bernama Satrio. Sementara pernikahan Saepul dengan Windi melahirkan seorang anak bernama Ridwan. Kini kedua bocah itu telah berada dalam genggaman pamannya. Eka dan Saepul sendiri yang menyerahkan anak-anak itu. Ini terjadi karena kedua keluarga kecil tersebut tengah mengalami krisis ekonomi. Kejadian besar yang dialami negeri ini kala itu telah membuat seluruh sektor perekonomian melemah. Tidak hanya perusahan-perusahan yang memiliki investor saja. Orang-orang kecil seperti Eka dan Saepul pun kena imbasnya. Baik Eka atau pun Saepul tidak dapat memenuhi panggilan Dukri untuk pulang ke kampung halaman. Salah satu alasannya karena uang. Sehingga mereka hanya dapat menitipkan Ridwan dan Satrio saja.

Dukri belum tahun dan belum diberi tahu atas kabar yang dibawa Krismon. Bukan karena tidak ingin tahu dan tidak mau memberitahu, Krismon kepalang cemas kalau-kalau kedua bocah itu tidak diterima oleh kakeknya sendiri. Sepanjang perjalanan kedua anak itu tidak bersuara bahkan mereka pun tidak menanyakan akan dibawa kemana tubuh mungilnya. Ia hanya tahu satu hal saja, paman yang baik pasti akan membawa mereka ke tempat yang baik pula. Sepanjang perjalanan, di dalam benak kedua bocah ingusan yang tak mau melepaskan pandangannya ke jendela kaca bus itu, sibuk membayangkan potret-potret terakhir bersama orang tua kandungnya. Mereka menyimpan duka yang entah sampai kapan batasnya. Hanya saja mereka tidak mengerti, apa arti duka, apa arti diasingkan, dan apa arti seorang anak. Mereka dididik dengan keras oleh kedua orang tuanya sendiri, persis seperti Dukri mendidik Eka dan Saepul. Terkadang suara keras dan telapak tangan terpaksa mereka layangkan kepada kedua bocah itu untuk membuatnya berhenti mengeluh, kalau-kalau keinginannya tidak dapat terpenuhi. Seperti halnya masa lalu, kedua bocah itu pun persis seperti orang tuanya saat kecil dahulu. Tidak banyak mengeluh kepada Dukri, hanya diam saja menelan dalam-dalam setiap bentakan dan rasa sakit yang mendarat di bokongnya.

Dengan bersama pamannya yang baik, kedua bocah itu selalu tenang dan nyaman. Mereka pun tidak berani mengeluh, sebab mengeluh berarti akan merubah kebaikan dan sifat pamannya, berupa pukulan atau bentakan persis seperti yang kedua orang tuanya lakuan. Mereka diam dalam ketidak tahuan. Mereka hanya belum mengerti dan belum mengenal dunia lebih dalam. Namun kepergian itu telah memisahkan dirinya dengan orang tua. Jika disuruh memilih pastilah Satrio dan Ridwan akan tetap memilih orang tuanya, meskipun kedua bocah itu kerap mendapatkan pukulan dari bapak-bapak mereka.

Untuk menghilangkan kepenatan, Krismon sesekali mengajak kedua ponakannya bercanda. Melalui beberapa teka-teki dan cerita lucu. Semuanya diupayakan agar keponakannya itu percaya kepadanya, bahwa seorang Krismon hanyalah sebatas nama. Ia ingin menampilkan diri bahwa ialah sesosok lelaki yang kaya akan kasih sayang sebagai seorang paman. Lalu apa yang akan terjadi di ruang waktu selanjutnya. Mereka bertiga saling menyimpan pertanyaan itu dalam-dalam. Orang dewasa dapat mengerti akan kegelisahanya yang muncul itu disebabkan oleh apa, dan cukup dengan berpikir masalah untuk sementara dapat diatasi meski hanya buah pikiran yang berupa rencana. Tidak peduli bahwa sejatinya sebuah rencana itu adalah masalah baru, sesuatu yang dihasilkan dari pikiran dan akan menjadi induk dari masalah-masalah baru lainya. Lain dengan kedua bocah itu, mereka tidak mengerti dan tidak dapat menemukannya sendiri. Apa dan kenapa sebuah masalah dapat terjadi, dan untuk apa berpikir. Kenapa kita tidak bisa bermain dengan lepas sekarang ini. Hanya itulah yang terbesit dalam otak lunaknya.

Perjalanan yang penuh teka-teki membuat kepala Krismon terasa pusing, sementara badan bus tidak berhenti bergoyang-goyang. Pertanda jarum gas terus tegang. Dan waktu akan semakin habis melumat kulit menjadi tua. Tidak ada waktu untuk mengistirahatkan pikiran. Krismon terus berupaya mencari rencana kedepan. Sampai beban berat jatuh ke paha kanannya. Beban berat dari kedua bocah yang tertidur pulas kelelahan di pangkuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun