Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Keramah-tamahan Itu seperti Bungkusan Indomie: Telurnya Cuma di Gambar Aja

4 Januari 2022   13:46 Diperbarui: 5 Januari 2022   17:55 2975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konon negeri kita dijuluki sebagai negeri yang sopan, ramah-tamah dan elok, tapi siapa yang menduga kalau itu semuanya hanyalah doktrin yang dibuat untuk membuat bangsa ini selalu menerima dan terbuka dengan sesuatu yang berbau asing dan berbeda. Tidak hanya barang dan jasa saja yang bisa dijual, kaum pemodal dan kapitalis juga bisa menjual keramah-tamahan.

Oleh negara lain bangsa kita disukai karena keramah-tamahannya, tidak tahu kenapa ucapan itu seolah-olah menjadi kebanggan tersendiri di tengah peningkatan kasus kriminalitas yang terus melejit. 

Pencopetan di pasar, tukang palak di setiap gang kampung, penguasa parkiran dengan baju warna jingganya, pinjaman online yang kurang kerjaan, juga termasuk kelakukan pejabat yang suka emosian dengan tingkah para komedian. Salah ngomong sedikit dapat somasi, tidak ada keramah-tamahan untuk demokrasi. Dan bagaimana jika ternyata keramah-tamahan yang selama ini kita anut adalah sebuah upaya atau doktrin dari pihak lain untuk menjadikan kita sebagai sigmentasi pasar mereka?

Saat ini banyak sekali keramah-tamahan yang dijual di berbagai tempat. Entah bagaimana keramah-tamahan diajarkan di sekolah-sekolah, di kantor-kantor, oleh seorang guru di sekolah kejuruan dengan segala ujian praktik, atau seorang trainer pada sebuah perusahan yang memberikan pelatihan kepada tenaga kerja baru. 

Yang semuanya itu dilakukan untuk satu tujuan, yaitu uang dan keuntungan bukan untuk menjadi seseorang dengan pribadi ketimuran. 

Kita bisa menjumpainya pada Sekolah Menengah Kejuruan tataboga, perhotelan, penjualan, atau pada perusahaan-perusahaan mini market, di kantor-kantor bank, di meja-meja kasir, dan lain sebagainya.

Keramah-tamahan itu dapat kita jumpai seperti di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum, di mana kita selalu mendengar kata "dimulai dari nol ya Pak."

Seorang pengendara sepeda motor yang mengantre untuk mendapatkan giliran ia harus menunggu beberapa saat setelah pengemudi lain selesai melakukan transaksi. Hingga tiba pada gilirannya untuk mendapatkan pelayanan yang ditandai dengan kalimat pertama "Pertalite atau Pertamax Pak?" 

Setelah Pelanggan menjawab si petugas kembali membalas "dimulai dari nol ya Pak." Kemudian secara cepat baik pelayan SPBU maupun pelanggan, keduanya secara kompak melihat angka digital yang berubah cepat pada mesin. Hampir tidak terlihat senyum, bahkan mungkin tidak sempat berpapasan wajah.

Keramah-tamahan yang dijual oleh petugas SPBU sebenarnya tidak memperlihatkan nilai keramah-tamahan itu sendiri. Malahan lebih mirip sebagai tindakan yang penuh dengan kebasa-basian. Selain para pengguna toilet umum, memangnya siapa yang ingin berlama-lama di area SPBU?

Keramah-tamahan ini menjadi sesuatu yang aneh, mengingat setiap pelanggan SPBU yang datang untuk mengisi bahan bakar pasti umumnya mereka dikejar waktu dan sangat membutuhkan pelayanan yang cepat dari petugas.

Sebagai pengguna alat transportasi, pasti Anda sering melirik Royal Dutch Shell plc saat melewatinya. Entah, hanya sekedar kepo atau memang punya keniatan menjadi pelanggan di SPBU asing berwarna kuning merah itu. 

Yang jelas dengan melihat dan menjadi pelanggan Anda pasti akan mengetahui sedikit perbedaan yang dimiliki Shell dengan SPBU Pertamina. Ya, perbedaan itu ada pada segi pelayanan. 

Tapi, perusahaan ini seolah-olah memiliki pamor yang mentereng dan penuh gengsi. SPBU yang tidak dilayani dengan keramah-tamahan seperti pada Pertamina mendadak menjadi alat ukur untuk melihat status sosial seseorang. 

Pelanggan Shell harus mengisi sendiri tangki bensin mereka. Seolah-olah tugas seorang petugas SPBU merupakan pengetahuan umum yang dapat dilakukan oleh siapa saja. 

Mungkin itu benar, dan apa susahnya menekan tombol kemudian memasukkan ujung selang ke tangki motor. Tapi di sini tidak ada petugas yang memberikan keramah-tamahan dengan bahasa tubuh dan lisannya. 

Apakah Royal Dutch Shell plc tidak melihat keramah-tamahan sebagai cara untuk melayani pelanggan? Ataukah Ia melayani pelanggan dengan cara yang berbeda, seperti dengan memberikan sebuah gengsi? Ada apa dengan keramah-tamahan? Kenapa Ia tidak terlalu berarti bagi Shell?

Ketika kita masuk ke mini market seperti Indomaret, pasti kita sering sekali mendapatkan ucapan "selamat datang di Indomaret dan selamat belanja." 

Semua orang tahu, dan semua pelanggan iseng yang tak beli apa-apapun tahu, kalimat itu sebagai ciri keramah-tamahan mereka dalam menyambut para pelanggannya. 

Sama sekali tidak sedang mengoreksi kinerja karyawan perusahaan ritail. Pernah suatu ketika terjadi pada pengalaman penulis atau mungkin juga kepada Anda, ucapan selamat datang yang diberikan oleh seorang kasir malahan tidak terasa sebagai keramah-tamahan. 

Apa lagi jika kalimat itu diucapkan di saat seorang kasir sedang melayani pengunjung yang lain. Lebih terlihat sebagai sebuah pemaksaan SOP ketimbang keramah-tamahan. 

Paksaan yang serupa dilakukan ketika seorang pelanggan telah selesai melakukan transaksi. Biasanya si kasir akan mengucapkan kalimat "terima kasih, sampai belanja kembali." 

Tidak ada yang salah dari ucapan itu, karena setiap pelanggan yang datang ke mini market pastilah bertujuan untuk berbelanja, meskipun ada pula yang tidak. Namun yang salah adalah bagaimana kalimat tersebut bisa diterima sebagai sebuah bentuk keramahan. 

Malahan terlihat sekali lagi seperti SOP perusahan yang mewajibkan karyawannya untuk melakukan apa-apa yang tertuang. Tidak ada keramah-tamahan yang sebenar-benarnya, tapi kenapa itu dianggap memiliki nilai jual dan sebegitu menentukan nasib hidup mereka.

Keramah-tamahan yang serupa terjadi di mana-mana. Kita bisa melihat seorang pelayan restoran yang terus menunduk dan mencatat pesanan, atau kita bisa melihat seorang pramugari memakai busana cantik dengan riasan di wajahnya yang selalu berusaha ramah dan cerita meskipun kaki mereka lebam. 

Loket-loket pembayaran, kantor pos, hingga seorang keamanan bank yang kesemuanya menjalankan SOP keramah-tamahan, tidak nampak sebagai ciri manusia yang hidup di belahan bumi bagian timur. 

Akan tetapi mereka terlihat sebagai seorang pekerja yang tengah menggantungkan hidup mereka dengan ketrampilan ini. Feedback berupa penghasilan yang diberikan oleh perusahaan serupa logaritmis.

Apakah ada yang salah dengan keramah-tamahan? Ternyata tidak semua hal memberikan nilai lebih pada keramah-tamahan. Atau jangan-jangan praktek keramah-tamahan kita lah yang selama ini salah. 

Karena keramah-tamahan bukanlah sekedar ucapan, keramah-tamahan bukanlah sebuah gestur atau gimik dari tubuh seorang pelayan, tetapi sesuatu yang bernilai dan penuh penghargaan. 

Tidak hanya menghargai kesan perjumpaan, tetapi memahami nilai. Apa yang diberikan dari keramah-tamahan itu untuk lingkungan, untuk diri sendiri juga untuk orang lain. 

Apa yang mereka butuhkan, dan apa yang kita berikan kepada orang lain itu selagi tidak memberikan keburukan dan meskipun tidak terlihat makan dapat dikatakan sebagai keramah-tamahan.

Apa yang sedang dijual dengan keramah-tamahan? Kenapa kita hanya melihat keramah-tamahan dalam bentuk visualnya saja, melalui ucapan, gestur, dan serangkaian SOP kesopanan yang lain?

Semuanya memberikan sebuah nilai yang semu, kepalsuan belaka. Keramah-tamahan bisa muncul di berbagai aspek, tidak hanya sekedar bahasa lisan dan tubuh. Keramah-tamahan sebagai seseorang yang memiliki ilmu misalnya. 

Ada banyak karyawan di Dinas Lingkungan hidup, yang entah relevan atau tidak dengan gelar mereka. Sementara kita masih melihat beberapa saudara yang berjuang hidup dilingkungan yang tidak ramah lagi.

Keramahan-tamahan saat ini dijadikan sebagai sebuah alat untuk mencari keuntungan. Ia dianggap sebagai suatu nilai yang dapat menghasilkan nominal rupiah. 

Sementara keramah-tamahan sebagai manusia timur saat ini tidak dipahami sebagai sebuah kearifan lokal yang bernilai filsafat.

Dalih memahami keramah-tamahan sebagai ciri bangsa yang berdiam diri di belahan dunia bagian timur, justru malahan terdengar seperti omong kosong belaka. 

Kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan, berdampak besar bagi kelangsungan hidup primata mereka, atau hadirnya doktrini modernisasi di negeri bagian timur menunjukan ketidak ramah-tamahan kepada kehidupan tradisional yang alami. 

Mungkin beberapa tahun ke depan, kita tidak lagi melihat saudara di timur mengenakan koteka, atau menombak ikan di sungai mereka menjadi hal yang tidak biasa, dan mungkin Honai tidak lagi menjadi tempat berteduh untuk bercengkerama dengan sanak keluarga. 

Kita harus kembali menjadi orang timur yang penuh dengan keramah-tamahan, bukan untuk mencari banyak jumlah wisatawan. Bukan pula untuk dijadikan kebanggan. 

Keramah-tamahan tidak sekedar bahasan tubuh dan lisan. Maka perlulah kita melihat masalah lain yang sedang terjadi dengan pandangan yang berbeda, bukan hanya dengan pandangan rupiah dan keuntungan. Tapi juga menggunakan pandangan keilmuan, rasa tanggung jawab sebagai insan yang memiliki pengetahuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun