Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nasib Manusia Silver dan Warga +08

18 November 2021   08:25 Diperbarui: 9 Maret 2023   07:42 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat apa yang penulis sampaikan di atas, keberadaan manusia silver yang mengais rezeki di bahwa traffic light itu, tidak benar jika dibilang mengganggu. Justru keberadaannya sangat membantu sekalipun susah untuk melihat motivasi atas perbuatannya. 

Karena sebenarnya mereka melakukan itu atas dasar kebutuhan ekonomi dan lingkaran kemiskinan yang terus menjerat perut laparnya. Sekalipun tidak ada motivasi untuk menertibkan pengguna jalan, seharunya keberadaan manusia silver dibayar dengan sebuah apresiasi bukan hujatan bahkan pengusiran.

Belakangan penulis melihat manusia silver ini sudah mulai turun gunung. Biasanya mereka kita jumpai di Kota Tua atau pada sebuah taman, namun selain kemunculannya yang tiba-tiba di bawah traffic light, ia juga kerap berjalan kaki dari rumah ke rumah. 

Bahkan penulis juga pernah mendapati manusia silver tengah mengais rezeki di SPBU. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan semakin meluas, sementara bidang pekerjaan semakin menyempit. 

Jangan-jangan mereka benar-benar kepalang terpojok untuk mendapatkan uang di saat high table di dalam gedung sana sangat mudah mendapatkan keuntungan. Cuak!!!

Pelaku seniman yang berpangkat tinggi tidak perlu mengkritik mereka dengan dalil teori. Mereka jelas tidak menggunakan teori seni rupa, atau persiapan keaktoran. Karena yang mereka hadapi bukanlah panggung kesenian, bukan pula berdiri dibalik eksistensi kepribadian seorang seniman. 

Mereka hannyalah pemuda yang dengan usaha seadanya melawan kemelaratan. Setidaknya para balita masih mengindahkannya, tidak seperti manusia dewasa yang justru malahan naif menghadap dunia.

Sebuah obrolan terjadi pada ruangan milik warung kopi. Salah seorang yang baru saja datang mengendarai sepeda motor bercerita soal apa yang dilihatnya sepanjang jalan. Ia menyampaikan kepada rekan tongkrongannya, bahwa ia baru saja melihat manusia silver berjalan kaki. 

Lalu sekoyong-kongongnya hal tersebut menjadi bahan tertawaan. Di pesannya segelas kopi hitam seharga tiga ribu rupiah kepada seorang Teteh manis legit yang berjaga di warkop itu.

Pembahasan soal manusia silver di atas meja yang kini di duduki segelas kopi hitam belum beralih. Namun kali ini lawan bicara seseorang yang baru melihat manusia silver berjalan kaki itu tampak gatal ingin memberikan pendapat. 

Menurutnya sekalipun bekerjaan mengamen menjadi manusia silver adalah hal yang mudah dan tidak membutuhkan ketrampilan seperti seorang aktor, setidaknya manusia silver punya usaha untuk mengecat seluruh warna tubuhnya dengan bahan kimia berwarna putih abu-abu yang mengkilap itu. Kemudian suasana di dalam ruangan warkop itu kembali meriah dengan gelak tawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun