Waktu terus berjalan tapi tidak ada perubahan dalam hubungan ini. Kami masih seperti orang asing tapi aku tetap tidak berputus asa untuk mendapatkan hatinya.
"jangan terlalu capek biar aku saja yang membereskan semuanya, istirahatlah..." aku tidak tega melihat keringat yang ada di keningnya.
"bukankah mengerjakan pekerjaan rumah adalah tugas istri?"
"tapi bukan berarti suami tidak boleh membantu kan?" ku jawab dengan senyuman hangat.
"..." dia tidak menjawab tapi dia tersenyum, ah... sungguh sejuk melihat senyumnya.
"mas makan dulu saja lagi pula mas baru pulang kerja." Hatiku melambung tinggi mendengarnya.
"bagaimana aku bisa makan sedang istriku tidak makan? Kafa... makanlah dulu bersamaku." Dia tak menjawab tapi dia langsung menyiapkan makanan untuk kami. Wajahnya datar, antara ikhlas dan terpaksa. Entahlah...
"Apa makanannya enak?"
"belum pernah aku makan makanan seenak ini." Aku tersenyum ikhlas setidaknya pujianku ini akan membuatnya bahagia.
"Astaghfirullah kenapa mas bohong? Makanannya sungguh asin!" ucapnya setelah mencicipinya.
"mas gak bohong fa makanan ini sungguh enak karena istriku yang memasaknya, apalagi makannya didampingi seperti ini. Meski agak sedikit asin tapi mas akan tetap menghabiskannya kamu kan sudah susah payah memasaknya."