"ceritakanlah tentang dirimu." aku mencoba mencairkan suasana yang beku ini.
"aku tidak pernah mengenyam pendidikan agama di pondok pesantren tidak sepertimu yang sudah matang ilmu agamanya." Suaranya mulai purau.
"kafa... itu bukan sebuah masalah bukankah tugas seorang suami membimbing dan berbagi ilmu dengan istrinya?"
"aku tidak bisa masak."
"apapun yang kau masak akan ku makan meskipun hanya nasi setengah matang, pernikahan bukanlah menuntut tapi saling mengerti dan melengkapi. Aku yaqin kamu tidak akan tega menyuguhi nasi mentah selama masih ada niatan untuk belajar pasti kamu akan bisa."
"aku pernah berpacaran selama 6 tahun. Dan kami putus karna perjodohan ini."
 Perkataannya itu membuatku tercengang. Selama ini aku selalu menjaga diriku dari kaum hawa untuk jodohku nanti, bukankah aku selalu menjaga kesucian diri ini dan mengisinya dan menyibukan diri dengan sang Illahi. Aku sangat membenci mereka yang berpacaran!!! pasangan yang tidak halal itu pastilah berdosa besar karna mendekati kemaksiatan. Lantas kenapa istriku sendiri begini? Masyaallah... aku menangis dalam hati.
"sudah ku duga orang sepertimu pastilah menyesal menikah denganku." Ucapannya membuyarkan lamunanku.
"umi tidak akan salah dalam memilihkan pendamping. tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Mulai hari ini kau adalah istriku biarlah masa lalumu hilang bersama waktu yang berjalan.
 Ayo para tamu sudah menunggu senyumanmu diluar." Ku tinggalkan dia dengan sebuah senyum keterpaksaan. Segera ku ambil air wudhu, setidaknya kesejukan airnya bisa menenangkan hatiku.
"mungkin masa lalunya bisa hilang ditelan waktu. Tapi cintanya selama 6 tahun itu apa mungkin?" ratapku dalam hati.
 Setelah acara selesai kami langsung menempati rumah baru, sebuah rumah yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Ya! Aku memang menyukai kesederhanaan "selama bisa cukup kenapa harus meminta lebih?" begitulah prinsip hidupku.