Demokrasi sejati bukanlah panggung bagi sosok "heroik" yang mengendalikan arah bangsa layaknya raja. Di tengah arus populisme dan kecenderungan mengidolakan pemimpin, kita perlu memahami kembali prinsip demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi adalah sistem yang menempatkan rakyat sebagai pengendali penuh dan pemimpin sebagai pelayan, bukan aristokrat yang dipuja.
Jika kita terjebak dalam pemujaan sosok pemimpin, tanpa sadar kita menggeser arah demokrasi menjadi aristokrasi elektif---aristokrasi yang terpilih, tetapi tetap mengandalkan kekuasaan dan kekaguman yang berlebihan. Padahal, menurut prinsip Pancasila, khususnya sila ke-4, pengambilan keputusan seharusnya dilakukan melalui musyawarah dan mufakat yang melibatkan suara rakyat, bukan melalui penundukan pada otoritas individu. Pancasila tidak memberikan ruang untuk memimpin melalui kultus individu; justru ia mendorong prinsip kebersamaan dan kesetaraan.
Demokrasi Sebagai Antihero: Menolak Pemujaan pada Pemimpin
Dalam demokrasi sejati, pemimpin bukanlah figur heroik yang diidolakan, melainkan pelayan yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Demokrasi adalah sistem antihero, yang menolak segala bentuk pemujaan dan menempatkan pemimpin sebagai primus inter pares, atau yang pertama di antara yang setara. Jika pemimpin mulai dilihat sebagai figur yang tidak boleh dikritik, atau seolah-olah memiliki jawaban atas segala hal, maka sistem tersebut bergeser menjadi aristokrasi modern.
Kritik dan pengawasan adalah ciri khas demokrasi. Demokrasi yang sehat melibatkan rakyat yang aktif mengawasi, bukan sekadar tunduk atau mendukung secara membabi buta. Rakyat tidak seharusnya menempatkan pemimpin di atas segala-galanya, melainkan memastikan bahwa pemimpin berfungsi sebagai perpanjangan suara dan kehendak mereka. Dengan begitu, kedaulatan tetap berada di tangan rakyat, sesuai dengan amanat demokrasi.
Bahaya Aristokrasi Elektif: Ketika Demokrasi Dikhianati
Mengidolakan pemimpin secara berlebihan menciptakan fenomena yang disebut sebagai aristokrasi elektif---sebuah bentuk aristokrasi di mana pemimpin memang dipilih oleh rakyat, tetapi diperlakukan layaknya sosok yang tidak tersentuh dan tidak perlu dipertanyakan. Ketika pemimpin dipuja, kritik dianggap sebagai serangan pribadi, dan sikap tunduk menjadi norma, maka demokrasi mengalami kemunduran. Rakyat bukan lagi pemegang kedaulatan, melainkan pengikut setia tanpa suara.
Dalam demokrasi, mandat rakyat bukanlah tiket untuk memerintah tanpa pengawasan, tetapi merupakan amanat yang selalu bisa dicabut jika pemimpin melenceng dari jalan yang diharapkan. Demokrasi mengharuskan adanya dinamika kritik dan evaluasi, bukan kepatuhan mutlak. Ketika rakyat mengidolakan pemimpin layaknya bangsawan yang diangkat dari darah biru, maka rakyat justru menjadi pengkhianat pada nilai-nilai demokrasi.
Menjaga Pancasila: Demokrasi sebagai Wadah Kedaulatan Rakyat
Menurut Pancasila, khususnya sila ke-4, demokrasi di Indonesia harus berlandaskan musyawarah dan mufakat, di mana suara rakyat dihargai, dan setiap orang berhak menyuarakan pendapat tanpa rasa takut. Rakyat seharusnya memiliki kekuatan untuk memantau dan mengawasi pemimpin, bukan menundukkan diri dalam rasa hormat yang berlebihan. Demokrasi Pancasila menolak struktur hierarkis yang kaku dan menekankan peran rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Pancasila tidak mengenal konsep pemimpin sebagai tokoh yang tidak dapat disentuh atau dikritik. Justru, sila-sila dalam Pancasila mengamanatkan kesetaraan, kebersamaan, dan kesejahteraan sosial. Rakyat tidak boleh tunduk tanpa kritik terhadap pemimpin yang mereka pilih, karena hal itu bertentangan dengan asas demokrasi yang sejati.
Kontrak Sosial Rousseau: Kedaulatan Rakyat Tidak Dapat Digantikan
Jean-Jacques Rousseau, filsuf yang mempengaruhi pemikiran modern tentang demokrasi, menyatakan bahwa rakyat harus tetap memiliki kedaulatan penuh, meski diwakili oleh pemimpin yang dipilih. Dalam The Social Contract, Rousseau menjelaskan bahwa kontrak sosial adalah perjanjian antara rakyat dan pemimpin, bukan penyerahan kekuasaan penuh. Pemimpin hanyalah alat untuk menyalurkan suara rakyat, bukan sosok yang memegang kekuasaan absolut. Demokrasi bukanlah tentang rakyat yang berlutut di hadapan pemimpin mereka, melainkan tentang rakyat yang memiliki hak penuh untuk mengawasi dan mengatur pemimpin.
Jika rakyat memperlakukan pemimpin sebagai pahlawan yang harus dihormati tanpa kritik, maka kontrak sosial tersebut dikhianati. Rakyat yang membiarkan pemimpin mereka mendominasi tanpa batas, pada dasarnya telah mencederai prinsip demokrasi itu sendiri.
Demokrasi Pancasila: Membangun Hubungan Setara antara Pemimpin dan Rakyat
Untuk menjaga kemurnian demokrasi, kita harus membangun hubungan yang setara antara pemimpin dan rakyat. Demokrasi Pancasila bukan tentang pemimpin heroik, melainkan tentang rakyat yang berdaulat. Pemimpin hanyalah penanggung jawab amanat rakyat, bukan tokoh yang berdiri di atas rakyat. Dengan memahami ini, kita dapat menghindari bahaya aristokrasi elektif yang dapat merusak prinsip dasar Pancasila.
Dalam demokrasi yang ideal, rakyat adalah pemilik sejati kekuasaan, sementara pemimpin adalah pelayan yang menjalankan mandat tersebut. Ketika rakyat memuja pemimpin dan lupa bahwa mereka adalah pemegang kendali, maka mereka bukan lagi warga negara yang berdaulat, melainkan sekadar pengikut dalam sistem aristokrasi modern.
Dalam sistem demokrasi, tugas rakyat adalah mengawasi, mengkritik, dan memastikan bahwa pemimpin bekerja sesuai dengan amanat yang diberikan. Demokrasi Pancasila tidak membutuhkan sosok heroik, karena rakyatlah yang sejatinya menjadi penggerak utama. Mengidolakan pemimpin tanpa batas bukan hanya mengkhianati demokrasi, tetapi juga mengingkari semangat Pancasila.
Demokrasi adalah tentang kedaulatan rakyat, bukan kepatuhan pada pemimpin. Mari kita jaga demokrasi dengan menjadi rakyat yang kritis dan penuh kesadaran. Jangan sampai kita terjebak dalam aristokrasi elektif yang mencederai nilai-nilai demokrasi. Pancasila adalah pondasi yang mendukung kedaulatan rakyat, dan demokrasi adalah alat untuk mewujudkan kedaulatan itu, tanpa pemimpin yang dipuja layaknya hero.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H