Mohon tunggu...
Admin
Admin Mohon Tunggu... Jurnalis - Read To Write

Menulislah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjaga Demokrasi dari Bahaya Aristokrasi Elektif

27 Oktober 2024   21:19 Diperbarui: 27 Oktober 2024   21:28 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Demokrasi sejati bukanlah panggung bagi sosok "heroik" yang mengendalikan arah bangsa layaknya raja. Di tengah arus populisme dan kecenderungan mengidolakan pemimpin, kita perlu memahami kembali prinsip demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi adalah sistem yang menempatkan rakyat sebagai pengendali penuh dan pemimpin sebagai pelayan, bukan aristokrat yang dipuja.

Jika kita terjebak dalam pemujaan sosok pemimpin, tanpa sadar kita menggeser arah demokrasi menjadi aristokrasi elektif---aristokrasi yang terpilih, tetapi tetap mengandalkan kekuasaan dan kekaguman yang berlebihan. Padahal, menurut prinsip Pancasila, khususnya sila ke-4, pengambilan keputusan seharusnya dilakukan melalui musyawarah dan mufakat yang melibatkan suara rakyat, bukan melalui penundukan pada otoritas individu. Pancasila tidak memberikan ruang untuk memimpin melalui kultus individu; justru ia mendorong prinsip kebersamaan dan kesetaraan.

Demokrasi Sebagai Antihero: Menolak Pemujaan pada Pemimpin

Dalam demokrasi sejati, pemimpin bukanlah figur heroik yang diidolakan, melainkan pelayan yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Demokrasi adalah sistem antihero, yang menolak segala bentuk pemujaan dan menempatkan pemimpin sebagai primus inter pares, atau yang pertama di antara yang setara. Jika pemimpin mulai dilihat sebagai figur yang tidak boleh dikritik, atau seolah-olah memiliki jawaban atas segala hal, maka sistem tersebut bergeser menjadi aristokrasi modern.

Kritik dan pengawasan adalah ciri khas demokrasi. Demokrasi yang sehat melibatkan rakyat yang aktif mengawasi, bukan sekadar tunduk atau mendukung secara membabi buta. Rakyat tidak seharusnya menempatkan pemimpin di atas segala-galanya, melainkan memastikan bahwa pemimpin berfungsi sebagai perpanjangan suara dan kehendak mereka. Dengan begitu, kedaulatan tetap berada di tangan rakyat, sesuai dengan amanat demokrasi.

Bahaya Aristokrasi Elektif: Ketika Demokrasi Dikhianati

Mengidolakan pemimpin secara berlebihan menciptakan fenomena yang disebut sebagai aristokrasi elektif---sebuah bentuk aristokrasi di mana pemimpin memang dipilih oleh rakyat, tetapi diperlakukan layaknya sosok yang tidak tersentuh dan tidak perlu dipertanyakan. Ketika pemimpin dipuja, kritik dianggap sebagai serangan pribadi, dan sikap tunduk menjadi norma, maka demokrasi mengalami kemunduran. Rakyat bukan lagi pemegang kedaulatan, melainkan pengikut setia tanpa suara.

Dalam demokrasi, mandat rakyat bukanlah tiket untuk memerintah tanpa pengawasan, tetapi merupakan amanat yang selalu bisa dicabut jika pemimpin melenceng dari jalan yang diharapkan. Demokrasi mengharuskan adanya dinamika kritik dan evaluasi, bukan kepatuhan mutlak. Ketika rakyat mengidolakan pemimpin layaknya bangsawan yang diangkat dari darah biru, maka rakyat justru menjadi pengkhianat pada nilai-nilai demokrasi.

Menjaga Pancasila: Demokrasi sebagai Wadah Kedaulatan Rakyat

Menurut Pancasila, khususnya sila ke-4, demokrasi di Indonesia harus berlandaskan musyawarah dan mufakat, di mana suara rakyat dihargai, dan setiap orang berhak menyuarakan pendapat tanpa rasa takut. Rakyat seharusnya memiliki kekuatan untuk memantau dan mengawasi pemimpin, bukan menundukkan diri dalam rasa hormat yang berlebihan. Demokrasi Pancasila menolak struktur hierarkis yang kaku dan menekankan peran rakyat sebagai pemilik kedaulatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun