Mohon tunggu...
Muhamad Sahrul gunawan
Muhamad Sahrul gunawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Artikel

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Puisi "Mata Luka Sengkon Karta" Karya Peri Sandi Huische

21 Mei 2023   11:22 Diperbarui: 21 Mei 2023   11:43 8042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

MATA LUKA SENGKON KARTA (Antologi Puisi Esai) 

Karya : Peri Sandi Huizche

Siapa sih yang tidak pernah mendengarkan puisi antologi esai yang berjudu Mata luka sengkon karta hasil buah pemikiran dari Peri Sandi Huizhe yang sempat viral di banyak media sosial yang dibacakan langsung oleh penulisnya sendiri dalam acara tadarus puisi ramadan. Puisi tersebut merupakan salah satu puisi yang banyak menuai pujian dari berbagai kalangan. Mari kita simak sedikit penggalan dari puisi tersebut. 

1974 tanah air yang kucinta

Berumur dua puluh sembilan tahun

Waktu yang muda bagi berdirinya sebuah Negara

Lambang garuda

Dasarnya Pancasila

Undang-undang empat-lima

Merajut banyak peristiwa

Peralihan kepemimpinan yang mendesak

Bung Karno diganti pak Harto

Dengan dalih keamanan Negara

Pembantaian enam jendral satu perwira

Enam jam dalam satu malam

Mati di lubang tak berguna

Tak ada dalam perang mahabharata

Bahkan di sejarah dunia

Hanya di sejarah Indonesia

Dari sedikit penggalan puisi diatas kita bisa tahu maksud dari penulis adalah tentang peristiwa G30S PKI yang terjadi di tahun 1965 yang menjadi sesuatu peristiwa sakral bagi negara Indonesia. Dimana tanggal 30 September menjadi saksi bisu atas terbantainya 6 jendral serta 1 perwira yang dibunuh secara tidak manusiawi. Tidak menjadi sejarah dunia hanya ada disejarah Indonesia padahal waktu itu indonesia sudah merdeka tetapi hukum tidak berlaku pada masa itu. Sampai sekarang negara Indonesia masih terus mengenang hari itu di tanggal 30 september sebagai hari peringatan G30S PKI. 

Katanya sih Indonesia sudah merdeka tapi dengan peristiwa tersebut kita tahu bahwa musuh terberat bagi suatu negara adalah rakyatnya sendiri, mempertahankan kemerdekaan lebih sulit dibandingkan dengan memproklamasikan kemerdekaan. 

Mungkin sedikit ulasan dari isi puisi tersebut seperti itu, selanjutnya kita lihat seberapa besar pengaruh untuk pembaca saat membaca puisi tersebut. 

Banyak sekali simile, metafora, hyperbola dan lain lainnya. Seperti contoh sedikit penggalan simile pada puisi tersebut adalah 

Serupa Maskumambang

Pupuh mengantarkan wejangan hidup

Kecapi dalam suara sunyi menyendiri

Serupa maskumambang adalah simile yang membandingkan 2 hal yang berbeda. 

Untuk metafora pada puisi tersebut mari kita simak penggalan puisi selanjutnya 

Pembantaian enam jendral satu perwira

Enam jam dalam satu malam

Mati di lubang tak berguna

Tak ada dalam perang mahabharata

Bahkan di sejarah dunia

Hanya di sejarah Indonesia

Pada penggalan tersebut terdapat metafora seperti mati dilubang tak berguna maksutnya adalah semua dibunuh dan dibuang didalam satu sumur jadi dalam sumur tersebut terdapat 7 korban dibuang jadi satu. 

Pemusnahan golongan kiri

PKI wajib mati

Pemimpin otoriter

REPELITA

Rencana pembanguna lima tahun

Bisa jadi rencana pembantaian lima tahun

Sedangkan untuk penggalan diatas dapat kita simpulkan hiperbola dalam permainan kata pemusnahan golongan kiri , makhluk hidup tidak bisa dimusnahkan semua jadi untuk lebih dramatis dalam membaca sang penulis melebih lebihkan penggalan puisi tersebut. 

Nah dari sini saya rasa semua yang membaca puisi tersebut seolah olah akan masuk kedalam peristiwa tersebut karena penggunaan bahasa kias yang sangat menarik dan sangatlah indah. 

Puisi karya Peri Sandi tersebut seketika booming dimedsos dilansir dari youtube.com yang diunggah oleh chanel Fadli Zon pada tahun 9 juli 2017 tersebut menjadi topik hangat pada tahun 2021 kemarin saat hari peringatan G30SPKI , sesuai dengan maksud dan inti dari puisi tersebut. 

Sengkon yang menjadi pelaku utama dalam puisi tersebut menjadi suatu cerimanan pengalaman pada saat tahun tersebut sangatlah tidak berperikemanusiaan, tetapi itu adalah ciri khas rakyat indonesia yang suka main hakim sendiri. Entah sampai kapan kebiasaan rakyat indonesia ini bisa dihapuskan, tetapi juga tidak menutup kemungkinan bila itu memang hukum alam di Indonesia. Tetapi kenapa juga mereka yang tikus berdasi tetap dilindungi meskipun itu lebih parah dibandingkan dengan kesalahan rakyat rakyat kecil yang ada kalanya di masa warga sampai meregang nyawa seakan nyawa pada masa sekarang hanyalah kata semata bukan menjadi suatu kesalahan jika mengambil nyawa dari orang yang lebih baik dari pada koruptor. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun