Kelompok Lebih Lemah Mendapat Simpati dari Aktor Kawasan
Akibat krisis humanitarian yang terus terjadi dan tak kunjung usai, wajar jikanya menarik simpati aktor-aktor lain di regional, terutama yang memiliki kesamaan primordialisme misalnya dalam hal etnis, budaya, maupun kepercayaan. Dalam konteks papua, aktor di kawasan pasifik yang tergabung dalam MSG selalu menyerukan isu-isu di forum internasional misalnya dalam pidato - pidato di Majelis Umum PBB, yang terkadang mendapatkan tanggapan negatif dari diplomat dan masyarakat indonesia.
Begitupun dalam konflik israel dan palestina, negara di kawasan arab (dan negara yang mayoritasnya muslim) belum ada yang mau mengakui eksistensi negara israel, kecuali baru-baru ini akibat kebijakan agresif Donald Trump yang ingin menormalisasi hubungan negara-negara arab dengan israel. Namun, saat ini hal tersebut belum sepenuhnya berhasil karena mayoritas negara arab (dan penduduk mayoritas negara muslim) masih bergeming untuk mengakui negara israel sebagai negara yang berdaulat di kawasan timur tengah.
Ketidakinginan Berkompromi Pihak - Pihak yang Bertikai
Persamaan yang terakhir yang akan diulas dalam tulisan ini ialah kekerasan terus berlarut akibat masing-masing pihak (khususnya aktor elit) tidak ingin berkompromi untuk menentukan titik tengah gunanya menyelesaikan akar masalah.
Dalam konteks konflik di Palestina, Hamas bersikukuh menolak “solusi dua negara” (solusi yang paling rasional saat ini) di wilayah Palestina yang mana wilayah yang dipersengketakan akan dibagi menjadi 2, yaitu negara israel dan negara palestina di masa mendatang. Perjanjian tersebut sebenarnya telah tertuang dalam Perjanjian Oslo Tahun 1992 dan telah disepakati bersama kedua pihak.
Begitu pun di pihak Israel, kelompok sayap kanan israel yang mana saat ini menguasai pemerintahan, menolak melaksanakan perjanjian tersebut dengan alasan bahwa wilayah yang akan diberikan kepada Palestina di kemudian hari akan dimanfaatkan oleh teroris-teroris yang ingin melenyapkan israel dari peta dunia. PM Israel Yitzhak Rabin, salah satu pendukung Perjanjian Oslo 1992 pun terbunuh oleh radikalis sayap kanan israel yang menolak perjanjian tersebut pada tahun 1995.
Dalam konteks konflik Papua tidak lebih secara garis besar pun serupa, TPNPB OPM selalu menuntut salah satunya agar dilakukannya perundingan yang melibatkan aktor internasional sebagaimana yang telah terjadi antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka puluhan tahun lalu di Finlandia guna mencari titik temu. Namun, hingga saat ini, pemerintah belum mau membuka opsi perundingan yang difasilitasi aktor internasional sebagaimana tuntutan TPNPB - OPM tersebut.
Kesamaan - kesamaan sebagaimana yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa adanya ketidaksepakatan terhadap produk sejarah, adanya penilaian sebagian pihak sedang terjadinya pembersihan etnis, dan ketidakinginan berkompromi aktor-aktor elit menjadi salah satu penyebab konflik yang tiada henti baik di Papua maupun Palestina, hingga pada akhirnya masyarakat sipil selalu menjadi korban, yang tentu hak asasi manusianya terlanggar. Mengingat rezim hukum hak asasi manusia merupakan jus cogens (norma dasar yang telah disepakati masyarakat internasional), konsekuensinya segala bentuk jenis pelanggaran hak asasi manusia seyogyanya akan menjadi perhatian masyarakat internasional, karena telah menjadi tanggung jawab masyarakat dunia untuk menjunjung dan menegakan hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam DUHAM PBB.
Hal lainnya, labelisasi teroris kepada salah satu pihak pun tampaknya tidak menyelesaikan masalah yang ada secara signifikan.
Pertanyaannya apakah kita mau, khususnya para pemangku kebijakan, untuk merefleksikan pola-pola konflik diatas guna merumuskan kebijakan konkrit yang efektif dengan pendekatan humanis untuk menyelesaikan permasalahan hak asasi manusia di Papua?, yang seolah kekerasan selalu terjadi tiada henti. Misalnya dengan melakukan dialog damai secara substantif dengan seluruh pihak, khususnya dengan kelompok yang memiliki perbedaan ideologi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).