Mohon tunggu...
Muhamad Ridwan Herdika
Muhamad Ridwan Herdika Mohon Tunggu... Ilmuwan - Analis Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Komnas HAM RI Perwakilan Papua

Seorang Sarjana Hukum, Pembela Hak Asasi Manusia, Pengamat Politik, dan Aktivis Demokrasi. Pernah menjadi Asisten Pengacara Publik di LBH Jakarta. Saat ini bekerja sebagai Analis Pelanggaran HAM di Komnas HAM RI Perwakilan Papua. Instagram : @ridwanherdika

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Merefleksikan Konflik Palestina dengan Masalah Papua di Indonesia

23 Januari 2024   10:12 Diperbarui: 23 Januari 2024   10:17 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal tersebut menyebabkan konflik kekerasan yang berkelanjutan oleh masing-masing kelompok yang merasa hak-hak nya terlanggar dan dilanggar, baik di wilayah Palestina maupun Papua.

Terbelahnya Fraksi Kelompok Lebih Lemah

Kelompok perjuangan untuk kemerdekaan palestina saat ini secara garis besar terbelah menjadi 2 kelompok, yaitu Hamas dan Fatah. Kelompok Hamas saat ini melakukan upaya perlawanan menggunakan kekerasan, misalnya menembakan roket-roket dari Gaza ke wilayah yang dikuasai israel yang mana menjadi casus belli peristiwa peperangan saat ini. Namun, kadang kala kekerasan yang dilakukan Hamas ditentang oleh kelompok Fatah yang lebih mengutamakan pendekatan dialogis untuk menyelesaikan sengketa.  Secara de facto, Hamas saat ini menguasai wilayah jalur Gaza dan Fatah menguasai Tepi Barat (West Bank).

Dalam konflik Papua, aktor TPNPB-OPM pun terbelah menjadi masing-masing fraksi yang juga memiliki prinsip serta ideologi masing-masing, misalnya TPNPB-OPM Pimpinan Egianus Kogoya tidak mengakui Benny Wenda yang mengklaim dirinya sebagai Presiden Sementara Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua/ULMWP). Beberapa fraksi TPNPB-OPM berideologi kekerasan untuk mencapai tujuannya sedangkan ULMWP lebih menekankan upaya diplomatik.  Data dari Kodam XVII/Cenderawasih menyatakan bahwa terdapat 33  “kelompok separatis” yang berada di wilayah papua, namun tidak ada koordinasi diantaranya hingga menjadi satu organisasi yang terpadu.  Keterbelahan internal menjadi penyebab utama salah satu kelompok lebih lemah dalam menghadapi pihak lawan yang notabenenya lebih kuat dan bersatu, baik di Palestina maupun di Papua.

Adanya Labelisasi Teroris kepada Kelompok yang Lebih Lemah

Hamas yang kerap melakukan penyerangan terhadap masyarakat sipil di israel telah terlebih dahulu dilabelisasi teroris oleh pemerintah AS, Inggris, Uni Eropa, dan sekutu-sekutunya.  Sedangkan di lain sisi, Presiden Turkiye, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menganggap kelompok Hamas Palestina bukan organisasi teroris, namun hanya  kelompok pembebasan yang berjuang melindungi tanah Palestina. Pun negara indonesia, tidak menyatakan bahwa Hamas sebagai organisasi terus.

Namun, dalam konteks konflik di wilayah Papua, TPNPB - OPM yang kerap melakukan penyerangan terhadap warga sipil (misalnya karena sering dianggap sebagai agen intelijen pemerintah indonesia) telah dilabelisasi oleh teroris oleh pemerintah indonesia misalnya melalui pernyataan Mahfud MD beserta pejabat lainnya pada tahun 2021 lalu, yang mana tentu menyebabkan beragam tanggapan berupa pro-kontra atas kebijakan yang telah diputuskan oleh pemerintah tersebut.  Komnas HAM RI Perwakilan Papua telah merespons tindakan pemerintah tersebut dengan terlibat dalam Tim Pemantauan dan Negosiasi, yang tujuan utamanya untuk berkoordinasi dengan sejumlah pimpinan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Salah satu kesimpulan dari tim tersebut ialah penyebab utama terus berlanjutnya peristiwa kekerasan karena tersumbatnya saluran komunikasi antara pihak yang bertikai.

 Hal yang perlu direnungi, meskipun labelisasi teroris telah diterapkan oleh sebagian pihak baik kepada kelompok Hamas maupun TPNPB-OPM, faktanya konflik kekerasan masih terus berlanjut baik di wilayah Papua maupun Palestina hingga saat ini.

Masyarakat Sipil Selalu Menjadi Korban

Selepas apakah kita sepakat atau tidak labeling teroris terhadap kelompok TPNPB-OPM atau Hamas sekalipun, namun faktanya konflik yang tidak kunjung usai pasti menyebabkan penderitaan masyarakat sipil yang tiada henti. Tidak hanya korban meninggal dunia maupun luka-luka yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Namun masih banyak hal destruktif lainnya.

Misalnya salah satu akses universal dari adanya konflik kekerasan yang meluas, yaitu adanya gelombang pengungsi dari masyarakat sipil yang tidak berdosa. Dampak dari konflik di wilayah papua adanya banyak pengungsi internal, data kasus terbaru dari LBH Papua yang diberikan kepada Komnas HAM RI Perwakilan Papua menunjukan akibat rangkaian kekerasan di Yahukimo pada Oktober 2023  lalu saja menyebabkan setidaknya 600 masyarakat mengungsi ke Distrik Dekai, Yahukimo. Hal tersebut belum termasuk konflik di daerah lain. Pun dalam konflik di Palestina, telah ada jutaan masyarakat arab Palestina yang menjadi pengungsi akibat konflik yang terus berkecamuk. Data dari PBB menyatakan hingga 2023 terdapat 2,48 juta pengungsi yang terdata secara resmi di seluruh wilayah Palestina.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun