Publik internasional lagi-lagi terhenyak melihat jatuhnya ribuan korban jiwa dalam perang israel melawan palestina (fraksi Hamas) di jalur Gaza. Konflik ini telah berulang kali terjadi, namun lagi-lagi komunitas internasional, yang salah satunya telah terlembaga melalui badan PBB tidak dapat berbuat banyak, selain hanya bisa sebatas mengecam, mengutuk, dan mendesak tanpa disertai tindakan-tindakan yang efektif untuk menghentikan kekerasan yang terus bergejolak. Pada waktu bersamaan, terdapat juga pembantaian yang diduga dilakukan oleh Kelompok Sipil Bersenjata TPNPB - OPM Pimpinan Egianus Kogoya di Kabupaten Yahukimo pada 16 Oktober 2023, yang menyebabkan sekurang-kurangnya 13 masyarakat sipil meninggal dunia.
Terkait konflik kekerasan di wilayah papua yang ada di Indonesia, data dari Gugus Tugas 2 Papua Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa sepanjang Januari 2020 - Maret 2022 terdapat 2118 korban jiwa di seluruh wilayah Papua akibat konflik kekerasan yang terus berulang. Sepanjang Januari - Oktober 2023, Komnas HAM RI Perwakilan Papua juga telah menerima 62 aduan yang mana 12 diantaranya merupakan isu konflik bersenjata.
Karena itu, menarik untuk menjabarkan sekaligus merefleksikan bersama terhadap kesamaan pola-pola konflik yang ada di Palestina dengan yang ada di wilayah Papua. Hal tersebut penting sebagai salah satu bahan komparasi untuk pemangku kewajiban guna merumusan kebijakan - kebijakan yang akan diterapkan.
Adanya Produk Sejarah yang Dipermasalahkan
Dalam konflik Papua, pihak yang menuntut diadakannya referendum selalu salah satu argumentasi yang dibangun yaitu cacat formilnya penyatuan wilayah Papua terhadap NKRI, sebagaimana yang tertera dalam New York Agreement 1962 dan diimplementasikan melalui Papera 1969. Bagi kelompok pro kemerdekaan, baik dari segi yuridis formil maupun substantif, adanya norma tersebut seharusnya dinyatakan cacat demi hukum akibat ketidaksesuaian dengan norma internasional yang seharusnya menerapkan one man one vote (bukan perwakilan), di tambah dalam pelaksanaan pengambilan pendapat terdapat dugaan intimidasi-intimidasi oleh pihak-pihak yang pro integrasi agar memilih bergabung dengan NKRI.
Dalam konflik Palestina, akar dari eksisnya negara Yahudi adalah adanya Deklarasi Balfour yang dikeluarkan oleh Inggris selaku pemenang Perang Dunia 1, yang mana salah satunya memberikan dukungan terhadap gerakan Zionis untuk mendirikan negara Yahudi di wilayah Palestina. Penduduk Arab Palestina menyatakan bahwa kebijakan tersebut sesuatu yang jahat karena menyebabkan kelak jutaan warga arab palestina terusir keluar wilayah tanah kelahirannya akibatnya adanya imigran besar-besaran orang Yahudi dan menuai konflik sosial bernuansa kekerasan yang tidak kunjung berhenti hingga saat ini.
New York Agreement 1962 dinilai oleh sebagian pihak tidak melibatkan aspirasi masyarakat Papua secara bermakna, pun Deklarasi Balfour dinilai oleh masyarakat arab Palestina tidak melibatkan serta menjamin hak-hak masyarakat arab yang telah lebih dahulu bermukim di wilayah tersebut.
Terdapat Penilaian Adanya Pembersihan Etnis di Wilayah Konflik
Bagi sebagian orang, khususnya kelompok yang menuntut kemerdekaan di Papua, mendukung argumentasi yang menyatakan bahwa telah terjadi upaya genosida secara halus (slow motion genocide) yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat asli papua di tanah kelahirannya, karena pasca bersatunya dengan NKRI mulai banyak nya pendatang non-Papua yang memenuhi kantung-kantung penduduk di wilayah Papua. Misal data dari BPS pada 2010 menunjukan bahwa di Kota Jayapura, Kab. Merauke, Kab.Mimika, dan Kab, Keerom mayoritas merupakan pendatang alias bukan orang asli papua. Salah satunya berdasarkan data tersebut, kelompok pro kemerdekaan menilai bahwa hingga saat ini terus berlangsung upaya minoritasiasi OAP di wilayah Papua.
Pun dalam konflik palestina, meskipun saat ini etnis arab di wilayah yang dikuasai negara israel minoritas tertinggi nomor 2, namun masyarakat arab palestina memandang bahwa berdirinya negara israel menyebabkan tersingkirnya hak-hak masyarakat arab di tanah kelahirannya yang saat ini dikuasai secara de facto oleh pemerintah Israel. Sebagai komparasi, sebelum Perang Dunia 1 di wilayah yang dikuasai Israel dihuni oleh mayoritas etnis arab, namun saat ini mayoritas merupakan penduduk yang beretnis Yahudi.
Hal tersebut menyebabkan konflik kekerasan yang berkelanjutan oleh masing-masing kelompok yang merasa hak-hak nya terlanggar dan dilanggar, baik di wilayah Palestina maupun Papua.
Terbelahnya Fraksi Kelompok Lebih Lemah
Kelompok perjuangan untuk kemerdekaan palestina saat ini secara garis besar terbelah menjadi 2 kelompok, yaitu Hamas dan Fatah. Kelompok Hamas saat ini melakukan upaya perlawanan menggunakan kekerasan, misalnya menembakan roket-roket dari Gaza ke wilayah yang dikuasai israel yang mana menjadi casus belli peristiwa peperangan saat ini. Namun, kadang kala kekerasan yang dilakukan Hamas ditentang oleh kelompok Fatah yang lebih mengutamakan pendekatan dialogis untuk menyelesaikan sengketa. Secara de facto, Hamas saat ini menguasai wilayah jalur Gaza dan Fatah menguasai Tepi Barat (West Bank).
Dalam konflik Papua, aktor TPNPB-OPM pun terbelah menjadi masing-masing fraksi yang juga memiliki prinsip serta ideologi masing-masing, misalnya TPNPB-OPM Pimpinan Egianus Kogoya tidak mengakui Benny Wenda yang mengklaim dirinya sebagai Presiden Sementara Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua/ULMWP). Beberapa fraksi TPNPB-OPM berideologi kekerasan untuk mencapai tujuannya sedangkan ULMWP lebih menekankan upaya diplomatik. Data dari Kodam XVII/Cenderawasih menyatakan bahwa terdapat 33 “kelompok separatis” yang berada di wilayah papua, namun tidak ada koordinasi diantaranya hingga menjadi satu organisasi yang terpadu. Keterbelahan internal menjadi penyebab utama salah satu kelompok lebih lemah dalam menghadapi pihak lawan yang notabenenya lebih kuat dan bersatu, baik di Palestina maupun di Papua.
Adanya Labelisasi Teroris kepada Kelompok yang Lebih Lemah
Hamas yang kerap melakukan penyerangan terhadap masyarakat sipil di israel telah terlebih dahulu dilabelisasi teroris oleh pemerintah AS, Inggris, Uni Eropa, dan sekutu-sekutunya. Sedangkan di lain sisi, Presiden Turkiye, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menganggap kelompok Hamas Palestina bukan organisasi teroris, namun hanya kelompok pembebasan yang berjuang melindungi tanah Palestina. Pun negara indonesia, tidak menyatakan bahwa Hamas sebagai organisasi terus.
Namun, dalam konteks konflik di wilayah Papua, TPNPB - OPM yang kerap melakukan penyerangan terhadap warga sipil (misalnya karena sering dianggap sebagai agen intelijen pemerintah indonesia) telah dilabelisasi oleh teroris oleh pemerintah indonesia misalnya melalui pernyataan Mahfud MD beserta pejabat lainnya pada tahun 2021 lalu, yang mana tentu menyebabkan beragam tanggapan berupa pro-kontra atas kebijakan yang telah diputuskan oleh pemerintah tersebut. Komnas HAM RI Perwakilan Papua telah merespons tindakan pemerintah tersebut dengan terlibat dalam Tim Pemantauan dan Negosiasi, yang tujuan utamanya untuk berkoordinasi dengan sejumlah pimpinan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Salah satu kesimpulan dari tim tersebut ialah penyebab utama terus berlanjutnya peristiwa kekerasan karena tersumbatnya saluran komunikasi antara pihak yang bertikai.
Hal yang perlu direnungi, meskipun labelisasi teroris telah diterapkan oleh sebagian pihak baik kepada kelompok Hamas maupun TPNPB-OPM, faktanya konflik kekerasan masih terus berlanjut baik di wilayah Papua maupun Palestina hingga saat ini.
Masyarakat Sipil Selalu Menjadi Korban
Selepas apakah kita sepakat atau tidak labeling teroris terhadap kelompok TPNPB-OPM atau Hamas sekalipun, namun faktanya konflik yang tidak kunjung usai pasti menyebabkan penderitaan masyarakat sipil yang tiada henti. Tidak hanya korban meninggal dunia maupun luka-luka yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Namun masih banyak hal destruktif lainnya.
Misalnya salah satu akses universal dari adanya konflik kekerasan yang meluas, yaitu adanya gelombang pengungsi dari masyarakat sipil yang tidak berdosa. Dampak dari konflik di wilayah papua adanya banyak pengungsi internal, data kasus terbaru dari LBH Papua yang diberikan kepada Komnas HAM RI Perwakilan Papua menunjukan akibat rangkaian kekerasan di Yahukimo pada Oktober 2023 lalu saja menyebabkan setidaknya 600 masyarakat mengungsi ke Distrik Dekai, Yahukimo. Hal tersebut belum termasuk konflik di daerah lain. Pun dalam konflik di Palestina, telah ada jutaan masyarakat arab Palestina yang menjadi pengungsi akibat konflik yang terus berkecamuk. Data dari PBB menyatakan hingga 2023 terdapat 2,48 juta pengungsi yang terdata secara resmi di seluruh wilayah Palestina.
Kelompok Lebih Lemah Mendapat Simpati dari Aktor Kawasan
Akibat krisis humanitarian yang terus terjadi dan tak kunjung usai, wajar jikanya menarik simpati aktor-aktor lain di regional, terutama yang memiliki kesamaan primordialisme misalnya dalam hal etnis, budaya, maupun kepercayaan. Dalam konteks papua, aktor di kawasan pasifik yang tergabung dalam MSG selalu menyerukan isu-isu di forum internasional misalnya dalam pidato - pidato di Majelis Umum PBB, yang terkadang mendapatkan tanggapan negatif dari diplomat dan masyarakat indonesia.
Begitupun dalam konflik israel dan palestina, negara di kawasan arab (dan negara yang mayoritasnya muslim) belum ada yang mau mengakui eksistensi negara israel, kecuali baru-baru ini akibat kebijakan agresif Donald Trump yang ingin menormalisasi hubungan negara-negara arab dengan israel. Namun, saat ini hal tersebut belum sepenuhnya berhasil karena mayoritas negara arab (dan penduduk mayoritas negara muslim) masih bergeming untuk mengakui negara israel sebagai negara yang berdaulat di kawasan timur tengah.
Ketidakinginan Berkompromi Pihak - Pihak yang Bertikai
Persamaan yang terakhir yang akan diulas dalam tulisan ini ialah kekerasan terus berlarut akibat masing-masing pihak (khususnya aktor elit) tidak ingin berkompromi untuk menentukan titik tengah gunanya menyelesaikan akar masalah.
Dalam konteks konflik di Palestina, Hamas bersikukuh menolak “solusi dua negara” (solusi yang paling rasional saat ini) di wilayah Palestina yang mana wilayah yang dipersengketakan akan dibagi menjadi 2, yaitu negara israel dan negara palestina di masa mendatang. Perjanjian tersebut sebenarnya telah tertuang dalam Perjanjian Oslo Tahun 1992 dan telah disepakati bersama kedua pihak.
Begitu pun di pihak Israel, kelompok sayap kanan israel yang mana saat ini menguasai pemerintahan, menolak melaksanakan perjanjian tersebut dengan alasan bahwa wilayah yang akan diberikan kepada Palestina di kemudian hari akan dimanfaatkan oleh teroris-teroris yang ingin melenyapkan israel dari peta dunia. PM Israel Yitzhak Rabin, salah satu pendukung Perjanjian Oslo 1992 pun terbunuh oleh radikalis sayap kanan israel yang menolak perjanjian tersebut pada tahun 1995.
Dalam konteks konflik Papua tidak lebih secara garis besar pun serupa, TPNPB OPM selalu menuntut salah satunya agar dilakukannya perundingan yang melibatkan aktor internasional sebagaimana yang telah terjadi antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka puluhan tahun lalu di Finlandia guna mencari titik temu. Namun, hingga saat ini, pemerintah belum mau membuka opsi perundingan yang difasilitasi aktor internasional sebagaimana tuntutan TPNPB - OPM tersebut.
Kesamaan - kesamaan sebagaimana yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa adanya ketidaksepakatan terhadap produk sejarah, adanya penilaian sebagian pihak sedang terjadinya pembersihan etnis, dan ketidakinginan berkompromi aktor-aktor elit menjadi salah satu penyebab konflik yang tiada henti baik di Papua maupun Palestina, hingga pada akhirnya masyarakat sipil selalu menjadi korban, yang tentu hak asasi manusianya terlanggar. Mengingat rezim hukum hak asasi manusia merupakan jus cogens (norma dasar yang telah disepakati masyarakat internasional), konsekuensinya segala bentuk jenis pelanggaran hak asasi manusia seyogyanya akan menjadi perhatian masyarakat internasional, karena telah menjadi tanggung jawab masyarakat dunia untuk menjunjung dan menegakan hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam DUHAM PBB.
Hal lainnya, labelisasi teroris kepada salah satu pihak pun tampaknya tidak menyelesaikan masalah yang ada secara signifikan.
Pertanyaannya apakah kita mau, khususnya para pemangku kebijakan, untuk merefleksikan pola-pola konflik diatas guna merumuskan kebijakan konkrit yang efektif dengan pendekatan humanis untuk menyelesaikan permasalahan hak asasi manusia di Papua?, yang seolah kekerasan selalu terjadi tiada henti. Misalnya dengan melakukan dialog damai secara substantif dengan seluruh pihak, khususnya dengan kelompok yang memiliki perbedaan ideologi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H