Mohon tunggu...
Muhamad RafliHartanto
Muhamad RafliHartanto Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Al-Azhar, Cairo, Jurusan Sejarah & Peradaban

Mahasiswa Al-Azhar, Cairo, Jurusan Sejarah dan Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lockdown, Keputusan Umar bin Khatab 14 Abad Silam

6 April 2020   16:01 Diperbarui: 6 April 2020   16:04 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lockdown, kata ini seolah tak asing lagi di tengah maraknya virus ganas yang menghambat perekonomian dunia, meresahkan rakyat berbagai negara, menjadi sebab ditutupnya masjid, gereja dan tempat peribadatan lainnya. Covid-19 atau yang lebih akrab disebut Coronavirus, wabah yang satu ini menyebar pesat bak terpaan angin, merenggut jiwa, tak pandang ras, kedudukan, maupun agama.

Lockdown merupakan satu dari sekian solusi yang tepat dalam menghadapi wabah Corona. Ya, dengan menutupnya akses sebuah daerah dari luar dan dalam, dapat menghambat penyebaran wabah ini.

Tahukah anda? Sejak 14 abad silam lockdown telah diterapkan oleh Amirul Mu’minin Umar bin Khatab. Prestasinya dalam menghadapi berbagai masalah negara tidak perlu diragukan lagi, salah satunya adalah bagaimana ia mampu menghadapi wabah Tha’un yang menyebabkan banyak kematian, serta ,mencegahnya meluas ke daerah yang lain.

Umar Lari dari Ketetapan Allah?

Kilas balik tahun 17 Hijriah, kisah yang diabadikan dalam kitab Bidayah Wa An-Nihayah. Kafilah (rombongan) Amirul Mu’minin Umar bin Khatab hendak mengunjungi daerah Syam (Damaskus, Syiria, Palestina), ketika Abu Ubaidah menjadi wali (Gubernur) disana. Di tengah perjalanan mereka menuju Syam, tatkala mereka sampai di Saragh (sebuah daerah di ujung Syam berbatasan dengan Hijaz) Abu Ubaidah bersama pasukannya telah menunggu kedatangan khalifah (pemimpin) mereka.

Umar terheran dibuatnya, karena mereka telah sepakat bertemu di Damaskus (agar bisa berkeliling melihat keadaan rakyat disana).  Abu Ubaidah mengabarkan Damaskus sedang sakit, wabah Tha’un menyebar dari Amwas (Palestina) yang kemudian menyebar ke seluruh negeri Syam. Maka mereka bermusyawarah; sebagaimana yang diajarkan Rasulullah kepada umat muslim, untuk memutuskan kembali ke Madinah atau meneruskan perjalanan.

Perdebatan yang alot terjadi dalam musyawarah tersebut, Abu Ubaidah berpendapat agar Amirul Mu’minin Umar tetap melanjutkan perjalanan, kepergiannya karena Allah dan Allah telah ridho. Abu Ubaidah berfikir Umar telah siap menghadapi segala resiko yang ada. Namun, Usman bin ‘Affan menyarankan kepada Umar agar ia pulang dan tidak melanjutkan perjalanan, disana ada wabah dan kematian. “Sungguh sebenarnya kami juga tidak ingin engkau menghadapi wabah ini, sampai Allah mengangkatnya”, sahut Amru bin ‘Ash.

“Kita pulang insyaAllah” sahut Umar.

Tak ingin Amirul Mu’minin kembali ke Madinah, Abu Ubaidah mencoba mencegahnya.

“Apakah engkau lari dari ketetapan Allah, Umar?”, Abu Ubaidah berkata.

Sungguh peristiwa yang tidak biasa, seorang Aminul Ummah Abu Ubaidah sahabat Rasulullah sampai memanggil khalifahnya dengan sebutan nama lantaran begitu heran mendengar keputusan Amirul Mu’minin yang tak sesuai dengan jalan fikirannya. Mungkin juga, kita yang tidak tahu apa-apa akan menganggap Umar pemimpin yang pengecut karena lari dari masalah umat.

Umar tidaklah lari!

“Jika selain engkau wahai Abu Ubaidah pasti akan berkata demikian” sahut Umar sembari beranjak dari tempat duduknya.


Umar dengan tegasnya berkata, “Ya ! lari dari ketetapan Allah menjemput ketetapan Allah yang lain.” singkat namun cukup menjadi tamparan bagi yang menganggapnya pengecut.

Tidak ingin berhenti disitu, Umar memberikan sebuah permisalan.

“Bagaimana menurutmu jika engkau turun ke sebuah lembah, sisi yang satu subur sedang sisi lainnya gersang. Apabila engkau menggembala di lembah yang subur, maka engkau telah menggembala berdasarkan ketetapan Allah, dan apabila engkau menggembala di tanah yang gersang, bukankah itu berdasarkan ketetapan Allah juga?”. Begitu bijaksana khalifah Islam yang satu ini.

Memang segala sesuatu sudah Allah putuskan, tetapi apakah kita sebagai umat manusia yang dikaruniai Allah akal untuk berfikir berserah diri dalam bahaya begitu saja? Tentu tidak bukan, tentu orang akan memilih mana dari ketetapan Allah itu yang lebih baik baginya.

Abdurrahman bin Auf didatangkan esok harinya. Abdurrahman membenarkan ijtihad yang diungkapkan oleh Umar.

“Aku mengetahui tentang perkara ini”, kata Abdurrahman memulai pembicaraannya.

Aku pernah mendengar baginda Rasulullah bersabda, “Apabila kalian mendengar ada wabah di suatu negeri, maka janganlah mengunjunginya, namun apabila kalian terjebak didalamnya maka janganlah keluar agar kalian bisa kabur darinya (wabah)”. 

Alhamdulillah dengan hadist ini, keraguan berubah menjadi keyakinan. Bagaimana mungkin para sahabat akan berdebat kembali setelah jelas perkaranya?

Maka Umar bersama rombongan pulang ke Madinah, Abu Ubaidah bersama pasukannya kembali ke Damaskus bersama rakyatnya menghadapi Tha’un.

Surat dari Amirul Mu’minin

Beralih pada tahun 18 Hijriah, melihat ganasnya wabah Tha’un hingga menyebabkan 25.000 orang meninggal karena wabah ini, termasuk diantaranya para sahabat Nabi. Umar bin Khattab dengan kebijakannya mengirimkan surat untuk rakyat Syam, berisi himbauan untuk menjauhi pemukiman dan beralih menuju dataran tinggi.

Datanglah surat dari Umar, namun Abu Ubaidah meninggal sebelum dapat  melaksanakan perintah tersebut, dia telah tertular wabah. Selanjutnya digantikan oleh Ma’adz bin Jabal namun dia juga ikut tertular kemudian meninggal dunia. Maka Amru bin ‘As memutuskan untuk segera mengisolasi penduduk ke gunung, dan tak lama kemudian Allah mengangkat wabah tersebut.

Lockdown keputusan yang tepat

Inilah lockdown yang diterapkan oleh Umar agar wabah Tha’un tidak menyebar dan dapat segera dicari obatnya.

Begitu tepat keputusan Umar untuk tidak mengunjungi daerah yang terkena wabah, karena apabila ia memutuskan untuk tetap masuk ke daerah tersebut itu akan menambah beban umat muslim, kehilangan pemimpin di saat genting seperti ini maka akan membuat rakyat kacau. Keputusannya untuk membuat daerah Syam lockdown terbukti efektif mencegah penyebaran wabah, apalagi ketika dia memerintahkan agar penduduk Syam segera diisolasi ke gunung yang jauh dari pemukiman warga.

Sikap Umar bin Khatab sebagai pemimpin negara dalam memecahkan sebuah masalah dan mencari solusinya sangat patut dicontoh oleh para pemimpin dunia saat ini. Ketegasan serta taatnya rakyat kepada pemimpinnya, saling berjibaku satu sama lain, tidak saling menyalahkan, terus berdo’a dan berusaha adalah kunci suksesnya wabah Tha’un tidak terus menyebar.

Tha’un, wabah apakah itu?

Menurut Imam An-Nawawi, kata “Tha’un” lebih khusus, sempit, atau spesifik dibandingkan “waba”. Tha’un adalah luka bernanah yang muncul pada siku, ketiak, tangan, jari atau sekujur badan. Luka yang muncul disertai dengan memar, rasa pedih dan nyeri. Luka ini muncul bersama dengan rasa panas. Sekitar luka kulit menghitam, memerah, menghijau dan memerah agak ungu. Gejala lainnya adalah peningkatan detak jantung dan muntah-muntah (An-Nawawi, 2001 M/1422H: VII/466)

Sedikit informasi, wabah ini sangat ganas, pernah melanda berbagai negara sebelumnya, seperti Romawi, Yunani, Mesir di masa yang berbeda-beda. Begitu cepatnya wabah ini menyebar dan menyebabkan jutaan orang meninggal dunia di saat itu.

Belajar apa dari sini?

Inilah yang seharusnya kita lakukan sebagai warga Indonesia yang baik dalam mendukung pemerintah dengan meminimalisir berkumpul, nongkrong, serta berbagai hal lain yang dapat mempercepat penyebaran wabah Corona ini.

Kepada yang masih ngeyel, egois jika kita hanya memperdulikan nyawa kita sendiri, bahkan keluarga dan orang-orang terdekat yang kita sayangi bisa saja menjadi korban kita tanpa kita sadari. Hindari dulu keramaian, tunda dulu acara pernikahan, keagamaan, kumpul-kumpul, serta hal-hal lain yang dapat mengundang keramaian. Corona itu bagaikan api  yang menyala dan manusia adalah kayu bakarnya. Maka dari itu menyebarlah kalian, sampai api itu tidak menemukan apa yang ia bakar, akhirnya akan padam sendiri.

Kepada yang Mampu, bantulah mereka yang membutuhkan, ketahuilah sebagian dari hartamu ada hak orang lain. Apa kalian tega melihat saudara kalian sebangsa dan setanah air menderita dan kalian bergelimangan harta? Hartamu kelak akan dihisab di hari kiamat nanti, apa yang akan kalian katakan pada Tuhanmu?

Kepada Pemerintah, ambillah tindakan yang tepat dan tegas agar Corona bisa segera diselesaikan. Rakyat membutuhkan uluran tanganmu, wibawa seorang pemimpin dilihat dari bagaimana dia menyelesaikan permasalahan rakyat, mendengar keluh kesah mereka, tak kenal waktu, tak kenal lelah. Dokter telah berjuang dengan keras, rela nyawa jadi taruhannya, bahkan harta mereka juga dikorbankan, APBN & APBD lalu untuk apa? Ekonomi bisa dipulihkan kapan saja tapi nyawa yang telah hilang tidak bisa kembali.

Kepada Rakyat Indonesia, turutilah kata pemerintah jika itu memang baik, jika diberi libur maka menetaplah di rumah jangan malah bertamasya. Hargailah para dokter, jangan malah ketika dokter berjuang mati-matian menangani Corona, kita malah membuat Corona tersebar luas. Apa kita tega ketika yang lain membangun kita malah menghancurkan?

Kepada para Ulama’, Berilah umat nasehat yang baik, mencegah jauh lebih baik daripada mengobati, menjaga kesehatan umat dan mencegah dari bahaya (Corona) saat ini jauh lebih penting, karena menjaga diri lebih disyari’atkan daripada menjaga agama pada saat seperti ini, bagaimana kita akan menjaga agama kita jikalau menjaga diri sendiri saja kita tidak sanggup bukan?

Yang terakhir kepada Dokter, sungguh jasa dan pengorbananmu amat besar, harta bahkan nyawa rela engkau korbankan. engkau telah siap menghapi segala resiko yang ada. Ingatlah Allah menyaksikan apa yang kalian perbuat dan akan memberikanmu balasan akan pengorbananmu. Semoga dokter-dokter yang telah meninggal disebabkan Covid-19 dihitung syahid oleh Allah Yang Maha Kuasa.

Lockdown dan Peniadaan Shalat Jamaah di Masjid

Lalu bagaimana dengan ditutupnya masjid di saat seperti ini? Apakah ini merupakan keputusan yang tepat? Bukankah saat kita terkena musibah, adalah saat yang paling tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah? Ingat! Setiap penyakit ada obatnya, setiap permasalahan ada penangannya.

Hal yang bodoh bukan apabila kita sakit kepala tapi yang kita minum obat sakit mata? Naif, jikalau ada hewan buas nan ganas kita malah mendekatinya menjadikan diri kita mangsanya. Pembahasan ini insyaallah akan Al Faqir jabarkan pada tulisan selanjutnya, insyaallah.

Penulis : Muhamad Rafli Hartanto
Mahasiswa Al-Azhar Cairo
Jurusan Sejarah dan Peradaban

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun