2. Keterbatasan Kapasitas: Beberapa pemangku kepentingan mungkin memiliki keterbatasan kapasitas untuk berpartisipasi aktif dalam kolaborasi, sehingga dapat mengurangi efektivitasnya.
3. Ketimpangan Kekuasaan:Â Kolaborasi bisa menghadapi hambatan karena perbedaan kepentingan dan ketimpangan kekuasaan antara berbagai pihak yang terlibat.
4. Perubahan Politik: Perubahan politik atau pergantian kepemimpinan dapat mengganggu kesinambungan kolaborasi.
Kesimpulan
Collaborative governance atau pemerintahan kolaboratif adalah pendekatan yang penting dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan menerapkan prinsip-prinsip seperti keadilan, kepercayaan, keberlanjutan, dan fleksibilitas, pemerintah dapat mencapai hasil yang lebih baik, menghadapi tantangan yang kompleks, dan membangun keseimbangan antara kepentingan publik dan privat. Namun, untuk mencapai kolaborasi yang sukses, tantangan-tantangan seperti keterbatasan sumber daya, ketimpangan kekuasaan, dan perubahan politik harus diatasi melalui upaya yang berkelanjutan dan komitmen dari semua pihak yang terlibat.
Sumber:
1. Ansell, C., & Gash, A. (2008). Collaborative governance in theory and practice. Journal of public administration research and theory, 18(4), 543-571.
2. Emerson, K., Nabatchi, T., & Balogh, S. (2012). An integrative framework for collaborative governance. Journal of public administration research and theory, 22(1), 1-29.
3. Klijn, E. H., & Koppenjan, J. F. (2012). Governance network theory: past, present and future. Policy & Politics, 40(4), 587-606.
4. O'Flynn, J. (2009). From New Public Management to Public Value: Paradigmatic Change and Managerial Implications. Australian Journal of Public Administration, 68(1), 31-40.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H