mendengarkan irama keroncong
saat malam terasa bolong
di sudut yogya
hujan menggeliat
menolak lupa
pada khianat
setelah konvoi knalpot
bikin pekak telinga
arak-arakan siapakah
yang terus menebar dusta?
Â
aku mereguk sisa kopi hitam
dan entah mengapa aku ingat kamu
ingat tahun-tahun yang riuh oleh debu
saat bedil dan batu
campuh di jalan-jalan
kita menyaksikan tubuh-tubuh bertumbangan
Â
sebaris irama keroncong
dan aku masih ingat
saat aku ingin menuliskan graffiti I love you
tanganku yang gemetar justru menyemprot
: orde asu!!!
dan kau menangis
menyaksikan malam yang dipenuhi teriakan
hingga gang-gang tempat kita berciuman
disesaki gas air mata dan amis darah
Â
lantas bertahun-tahun kita terpisah
membawa lusuh lembar sejarah
mungkin kamu pernah merasa rindu
sementara aku masih menyimpan alamatmu
meski lampu-lampu terus menengkari malam
dan bayang-bayang hitam tumbuh
di tembok-tembok
menjadi poster dan reklame
yang membujuk jelata
agar memberi suara pada pendusta
Â
segelas kopi tandas
aku ingin sekali bergegas
mampir ke rumahmu
namun tak seorang pun tahu
jalan ke alamatmu
tiba-tiba kurasakan
seisi kota beku
ada lirik yang terhenti
di tengah lagu
Â
Yogyakarta, 25 juni 2014
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H