[caption caption="Peserta Musyda di bawah terik matahari (Foto: Muhamad Fauzi)"][/caption](Catatan dari sebuah Musyda)
Kesan Sumowono yang identik dengan hawa dingin hari itu sepertinya sirna. Sejak pagi langit memang berada dalam kondisi cerah, matahari juga kian beranjak menyengat. Tapi bukan hanya itu, asap knalpot dari kendaraan yang memadati jalan kian membuat suasana menjadi terik.
Pagi itu, Ahad 27 Maret 2016 kendaraan yang mengangkut rombongan peserta dan penggembira Musyda Muhammadiyah Kabupaten Semarang berlalu lalang tiba di lokasi pembukaan. Jalanan di sekitar juga lokasi nampak tersendat.
Hari belum beranjak siang, acara pembukaan pun belum dimulai, tetapi tenda yang disediakan untuk ibu-ibu sudah penuh. Sementara di tenda yang disediakan untuk bapak-bapak masih lumayan lenggang. Secara Bergerombol, ibu-ibu terus berdatangan, berdiri di belakang kursi yang sudah diduduki pengunjung yang datang lebih awal.
“Itu, ibu-ibu banyak yang tidak kebagian kursi. Tolong pindahin kursinya, di tempat bapak-bapak masih banyak yang kosong!” Seorang ibu berseru kepada panitia.
Beberapa orang lalu memindahkan kursi dari tenda yang disediakan untuk bapak-bapak. Tetapi rombongan ibu-ibu terus berdatangan. Tenda yang ada juga sudah tidak mampu menaungi kursi yang dipindahkan tersebut.
Kemudian diumumkan agar bapak-bapak merapat ke kursi depan agar kursi belakang yang semula diperuntukkan untuk bapak-bapak bisa diisi oleh ibu-ibu yang sudah tidak tertampung. Beberapa panitia mengarahkan bapak-bapak untuk pindah memenuhi kursi depan.
Tak seberapa lama tempat itu sudah penuh juga. Mereka yang datang belakangan memilih berdiri, bernaung di belakang tenda, sebagian lagi menjauh dari lapangan yang sudah terasa menyengat oleh terik matahari.
Sampai ketika rombongan pawai taaruf tiba di lokasi, sudah tidak ada tempat lagi untuk mereka. Hampir semua dari mereka membubarkan diri dan berlalu lalang di luar lokasi. Hanya sebagian kecil duduk pada rerumputan di sebelah tenda yang masih ada naungannya, beberapa berdiri di sebelahnya. Sebagian besar di antaranya adalah anak-anak kecil, wajah-wajah anak panti, wajah-wajah yang tampak tabah. Mereka tetap berada di tempat mengikuti pembukaan, meski tidak mendapatkan tempat duduk.
“Banyak yang tidak kebagian snack, lebih dari separuh.” Terdengar sebuah celetukan. Dalam kondisi seperti ini sudah tidak dapat dibedakan antara peserta Musyda, tamu undangan dan penggembira. Siapa yang datang lebih dulu, dia yang menempati, tak peduli tempat itu sebenarnya diperuntukkan untuk siapa.
Semula diperkirakan pengunjung Musyda tidak sebanyak itu. Musyda kali ini memang direncanakan dilaksanakan secara sederhana, sesuai dengan kondisi Muhammadiyah di kabupaten ini yang gregetnya belum seperti daerah lain. Informasi yang didapat dari panitia, dianggarkan sekitar 30 Juta untuk pembukaan sekaligus pelaksanaan Musydanya, padahal ini merupakan Musyda bersama Muhammadiyah beserta tiga ortom, Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah dan Nasyiatul Aisyiyah. Dibandingkan even sebelumnya yang juga diselenggarakan di Sumowono oleh sebuah ormas lain, even yang hanya seperti pengajian saja dianggarkan sampai 70 juta, namun dalam pelaksanaannya membengkak hingga 105 juta.
Sebelumnya juga sudah direncanakan diadakan parade drum band antar sekolah Muhammadiyah se Kabupaten Semarang, namun rencana tersebut kemudian dibatalkan mengingat keterbatasan anggaran.
Muhammadiyah itu sumber dayanya terbatas, maka harus digunakan seefektif mungkin. Kalau ormas lain biasa mengadakan seremonial dengan anggaran mencapai ratusan juta, bagi Muhammadiyah, uang sebanyak itu lebih baik digunakan untuk membangun sekolah. Memang seperti inilah yang dipesankan Ketua PWM Jateng yang baru, menjelang persiapan Musyda beberapa waktu sebelumnya.
“Hari ini ada tujuh Musyda di Jawa Tengah, tetapi saya memilih untuk menghadiri Musyda di Kabupaten Semarang. Saya berharap visi Islam berkemajuan muncul dari Kabupaten Semarang.” Demikian ketua PWM Jateng Drs. H. Tafsir, M.Ag mengawali sambutannya.
“Kabupaten Semarang adalah satu-satunya PDM di Jawa Tengah yang belum memiliki amal usaha di bidang kesehatan.” Sebuah sindiran agar Muhammadiyah Kabupaten Semarang memiliki amal usaha yang patut dibanggakan.
Musyda ini cukup istimewa, disamping ketua PWM Jateng, hadir pula Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dr. H. Abdul Mu`ti, M.Ed. “Kalau mendirikan rumah sakit, minimal harus tipe B.” Beliau kian menyemangati gagasan tersebut.
Apa yang terjadi acara pembukaan Musyda ini bukan hanya bisa dipandang sebagai kegagalan panitia penyelenggara yang tidak mengantisipasi membludaknya pengunjung. Tetapi merupakan gambaran keberhasilan segenap warga Muhammadiyah Kabupaten Semarang dalam membangkitkan kembali semangat untuk membesarkan persyarikatan. Dengan sukarela mereka berbondong-bondong datang dari segenap penjuru kabupaten ini, termasuk datang dari cabang-cabang yang selama ini belum eksis.
Siang itu dilanjutkan pelaksanaan Musyda di SMA/SMK Muhammadiyah Sumowono, 100 meter dari lapangan tempat dilangsungkannya pembukaan.
Karena dipakai untuk Muhammadiyah dan tiga ortom sekaligus, sementara ruangan yang tersedia terbatas, Pemuda Muhammadiyah dan NA hanya menempati ruang kelas yang tidak terlalu luas untuk melaksanakan sidang, dengan estimasi jumlah peserta tidak terlalu banyak. Aula dan ruang perpustakaan yang lebih luas dipakai oleh Muhammadiyah dan Aisyiyah. Sebuah potret ketimpangan regenerasi yang menimpa Muhammadiyah.
Sebuah ruang kelas yang berkapasitas 50 orang, dipakai untuk 80 orang. Terasa agak berjejal, beberapa meja dikeluarkan agar lebih banyak menampung kursi. Tetapi beberapa peserta terus menyusul berdatangan. Meski agak pengap, untungnya tidak ada peserta yang merokok. Akhirnya beberapa senior harus keluar dari ruangan, memberikan kursinya kepada peserta yang baru datang agar bisa duduk.
“Seger.” Celetuk seseorang yang baru saja keluar dari ruangan.
“Muhammadiyah KBnya berhasil.” Pembicaraan itu meluncur di teras ruangan.
“Tokoh-tokoh Muhammadiyah yang hebat-hebat itu, sekarang sudah tak berbekas sama sekali. Anak-anaknya, keluarganya sekarang tidak ada lagi yang berkiprah di Muhammadiyah.”
“Tapi sekarang sudah mulai muncul kembali, meski baru usia-usia SMA.” Yang lain menimpali.
Kedekatan Muhammadiyah dengan penguasa, kenyamanannya, telah membunuh Muhammadiyah dan menidurkannya. Ada permasalahan regenerasi di Muhammadiyah yang membuat mata rantai kaderisasinya terputus. Besarnya kuantitas siswa sekolah-sekolah Muhammadiyah serta mahasiswa di PT Muhammadiyah tak sebanding dengan mereka yang kemudian mau menjadi kader persyarikatan.
Kondisi sulit yang dialami Muhammadiyah membangkitkan dari tidurnya. Ada pasang, ada surut, ada kondisi dimana semangat itu turun, dan sebaliknya, ketika ia bangkit kembali. Antusiasme seperti ini mungkin salah satu bentuknya.
Antusiasme inilah yang harus ditangkap oleh Dr. HM. Saerozi M.Ag yang terpilih kembali untuk memimpin PDM Kabupaten Semarang lima tahun ke depan, agar peluang ini tidak berlalu begitu saja, kemudian sirna kembali.
Agar anak-anak kecil, yang rela duduk di rerumputan, mengikuti rangkaian acara pembukaan dengan seksama, meski dalam keadaan lelah dan lapar, kelak menjadi kader-kader yang tangguh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H