Mohon tunggu...
Dr Muhamad Erwin SH M Hum
Dr Muhamad Erwin SH M Hum Mohon Tunggu... Dosen - Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Anggota Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia. Karya: Buku Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum dan Hukum Indonesia (Dalam Dimensi Ide dan Aplikasi), Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta (2015), Buku Hukum Ruang Hidup Adat: Taman Nasional Adat Sebagai Gagasan Kawasan Konservasi Baru, Penerbit Genta Publishing, Yogyakarta (2021), Film Dokumenter Orang Rimba - The Life of Suku Anak Dalam (2021) YouTube: @orangrimbafilm

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hari Lingkungan Hidup Sedunia ke-46 (5 Juni 2018) dan Kebutuhan Loncatan Paradigma terhadap Lingkungan

4 Juni 2018   22:00 Diperbarui: 4 Juni 2018   22:15 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selanjutnya pada abad pertengahan (15M-19M) yang berkembang sampai abad modern (20M-21M) berkembang paradigma antroposentrisme-mekanistik-reduksionis terhadap alam dan lingkungan. Paradigma ini banyak dipengaruhi oleh filsafat Rene Descartes (1596-1650) dengan cara pandang yang lebih bersifat egosentris dan lebih kepada pemujaan akan kemampuan akal (cogito ergo sum: aku berpikir, maka aku ada) (Rene Descartes, 2015:8). 

Pemujaan kemapuan akal manusia ini kemudian diperkuat oleh filsafat Francis Bacon yang menyatakan bahwa "knowledge is power". Pandangan manusia terhadap alam di abad pertengahan juga dipengaruhi oleh filsafat Isaac Newton yang lebih bersifat mekanistik dalam memandang alam. Alam semesta menurutnya telah ditata dan diatur sedemikian rupa bagaikan sebuah mesin besar yang memilki fungsinya masing-masing dan dituntun oleh hukum sebab akibat (Sonny Keraf, 2014: 59). 

Pada paradigma yang berlangsung saat ini (eksisting), paradigma antroposentrisme-mekanistik-reduksionis semakin mendapatkan tempatnya. Alam semesta dianggap tidak memilki nilai atau sebagai kesatuan terpisah dari manusia, karena dianggap tidak memilki akal. Nilai alam dan lingkungan hanyalah sebatas nilai kemanfaatannya bagi manusia. 

Seperti sebuah mesin raksasa yang berfungsi untuk menunjang segala kebutuhan hidup manusia. Dampak pemujaan terhadap akal ini telah pula mendorong percepatan ilmu dan teknologi yang pada akhirnya berujung pada penguasaan manusia terhadap alam dan lingkungan untuk mengubah dan menjadikannya sebagai objek pemuas kebutuhan. Dengan demikian alam dan lingkungan tunduk pada kepentingan manusia dan diperlakukan seperti budak.

Dengan paradigma antroposentrisme-mekanistik-reduksionis telah menempatkan manusia pada posisi subjek yakni sebagai pusat dari segala sesuatu, sebaliknya alam dan lingkungan hanyalah dipandang sebagai objek yang memiliki nilai ekonomis bagi kepentingan manusia. 

Akibatnya, dengan paradigma sedemikian telah  melahirkan perilaku eksploitatif eksesif, yakni perilaku yang menempatkan alam dan lingkungan sebagai komoditas dan alat pemuas kepentingan manusia belaka. Dampak dari perilaku itu kemudian berpotensi menghadirkan pencemaran ataupun perusakan lingkungan. Pada akhirnya, akan menimbulkan bencana alam dan krisis lingkungan pada kehidupan manusia itu sendiri.

Paradigma Sistemis Ekologis

Keheranan terhadap terjadinya bencana alam dan krisis lingkungan tidaklah cukup hanya dengan menanyakannya pada rumput yang bergoyang. Dibutuhkan peninjauan kembali terhadap cara pandang yang selama ini eksis. Karena itu, dibutuhkan loncatan ke paradigma yang tidak hanya mengandalkan kemampuan akal saja, melainkan juga melalui kemampuan intuitif  yang memilki perasaan mengenal dan merasakan alam semesta dalam hubungan timbal balik, sebagaimana dikemukakan Albert Einstein yang menyatakan bahwa "alam semesta merupakan harmoni" (Albert Einstein, 2010:118). Sehubungan dengan kebutuhan atas harmoni tersebut, maka perlu untuk direkonstruksi melalui paradigma baru yakni paradigma sistemis ekologis.

Berawal dari melalui cara pandang sistemis, yakni sebagai cara berpikir tentang realitas secara keseluruhan sebagai suatu keterkaitan dan interdepensi hakiki di antara seluruh fenomena alam dan kehidupan di dalamnya, baik fisik, biologis, psikologis, sosial dan kultural (Fritjof Capra, 2004: 17).

Dengan cara pandang sistemis tersebut, maka seharusnya di antara keberadaan manusia dengan alam dan lingkungan adalah dipandang sekaligus, karena harus dipahami bahwa manusia adalah entitas dari alam dan lingkungan. Sebuah cara pandang yang lahir dari pola hubungan antara manusia dengan alam dan lingkungan yang saling mengisi dalam relasi yang saling menunjang dan menghidupi. 

Sebuah cara pandang yang bersumber dari pemahaman dasar bahwa manusia bukan hanya sebagai makhluk sosial tetapi juga sebagai makhluk ekologis, manusia tidak dapat berkembang menjadi dirinya yang utuh tanpa ekosistem dan tanpa relasi dengan alam dan lingkungan seluruhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun