Mohon tunggu...
Dr Muhamad Erwin SH M Hum
Dr Muhamad Erwin SH M Hum Mohon Tunggu... Dosen - Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Anggota Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia. Karya: Buku Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum dan Hukum Indonesia (Dalam Dimensi Ide dan Aplikasi), Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta (2015), Buku Hukum Ruang Hidup Adat: Taman Nasional Adat Sebagai Gagasan Kawasan Konservasi Baru, Penerbit Genta Publishing, Yogyakarta (2021), Film Dokumenter Orang Rimba - The Life of Suku Anak Dalam (2021) YouTube: @orangrimbafilm

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hari Lingkungan Hidup Sedunia ke-46 (5 Juni 2018) dan Kebutuhan Loncatan Paradigma terhadap Lingkungan

4 Juni 2018   22:00 Diperbarui: 4 Juni 2018   22:15 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Manusia itu adalah makhluk yang lemah. Bayi semut dapat bertahan hidup dengan tidak minum selama dua hari, sementara bayi manusia tidak. Cerminan terhadap lemahnya manusia tersebut, selama ini begitu digaungkan pada pelajaran sekolah dengan seringkali menghubungkannya pada keberadaan manusia sebagai makhluk sosial. Di mana untuk berhubungannya jiwa dan raga manusia, maka manusia itu harus dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.

Menurut Maslow, kebutuhan dasar manusia itu terklasifikasi atas kebutuhan untuk makan, sandang, dan papan (food, clothing, shelter), pengembangan diri (self actualization), jaminan terhadap keamanan diri dan harta bendanya (safety of self and proferty), harga diri (self esteem), dan cinta kasih (love) (Saut Parulian Panjaitan, 1998: 47). Dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya tersebut, manusia harus senantiasa berhubungan dengan manusia lain.

Padahal, jika direnungkan secara lebih mendalam, pada dasarnya manusia itu adalah makhluk ekologis. Dengan kata lain, manusia tidak dapat hidup dan berkembang menjadi manusia tanpa alam, tanpa lingkungan ekologis. 

Pada level biologis, manusia tidak dapat hidup tanpa air, udara, dan makanan yang disediakan alam. Tidak ada ekonomi, tanpa mengandalkan jasa alam dan tidak dapat hidup sebagai makhluk berbudaya sebagaimana adanya tanpa alam. 

Namun, dalam hubungan tersebut mengapa dalam kehidupan manusia itu dihadapkan dengan berbagai bencana alam? Kemudian, manusia melakukan kajian ilmiah yang kemudian melahirkan  hipotesis bahwa bencana alam itu terjadi sebagai gejala alam ataupun musiman. 

Lantas, mengapa bencana alam itu terjadi dari tahun ke tahun. Muncul kegelisahan tentang nasib alam semesta, nasib bumi, serta nasib makhluk termasuk manusia. 

Kegelisahan itu merupakan salah satu pangkal filsafat, yakni penasaran tentang hal ikhwal yang belum dapat dipahami, baik tentang lingkungan itu sendiri maupun tentang sebab musabab dari krisis dan bencana lingkungan itu. Selanjutnya, kegelisahan itu membutuhkan perenungan.

Tesis utama yang menjadi pondasi dasar pada perenungan tersebut adalah bahwa krisis dan bencana lingkungan itu disebabkan oleh  kesalahan perilaku manusia. Sebagaimana diungkap pada Surah Ar-Rum ayat 41, bahwa "Telah timbul kerusakan-kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan perbuatan tangan manusia sendiri....". Jika direnungkan secara mendalam, maka bertemulah dengan jawaban bahwa kesalahan perilaku manusia itu disebabkan oleh karena kesalahan dalam cara pandang atau berpikir terhadap alam dan lingkungan.

Perkembangan Paradigma Lingkungan

Dalam sejarah awalnya, pandangan manusia terhadap alam dan lingkungan lebih  bersifat kepada paradigma magish-religius. Dimana hubungan manusia dengan alam banyak disampaikan lewat mitos atau dongeng-dongeng yang menggambarkan keterkaitan erat antara manusia dengan alam tempat mereka tinggal. Kemudian pada abad ke 6 Masehi sampai 14 Masehi yang berkembang adalah paradigma organis. 

Pandangan manusia terhadap alam dan lingkungan masih dipengaruhi oleh religiusitas (iman), namun juga didasarkan akal budi untuk memahami makna dari alam semesta. Pada paradigma ini, hubungan manusia dengan alam dipandang secara organis (hidup) sebagai satu kesatuan.

Selanjutnya pada abad pertengahan (15M-19M) yang berkembang sampai abad modern (20M-21M) berkembang paradigma antroposentrisme-mekanistik-reduksionis terhadap alam dan lingkungan. Paradigma ini banyak dipengaruhi oleh filsafat Rene Descartes (1596-1650) dengan cara pandang yang lebih bersifat egosentris dan lebih kepada pemujaan akan kemampuan akal (cogito ergo sum: aku berpikir, maka aku ada) (Rene Descartes, 2015:8). 

Pemujaan kemapuan akal manusia ini kemudian diperkuat oleh filsafat Francis Bacon yang menyatakan bahwa "knowledge is power". Pandangan manusia terhadap alam di abad pertengahan juga dipengaruhi oleh filsafat Isaac Newton yang lebih bersifat mekanistik dalam memandang alam. Alam semesta menurutnya telah ditata dan diatur sedemikian rupa bagaikan sebuah mesin besar yang memilki fungsinya masing-masing dan dituntun oleh hukum sebab akibat (Sonny Keraf, 2014: 59). 

Pada paradigma yang berlangsung saat ini (eksisting), paradigma antroposentrisme-mekanistik-reduksionis semakin mendapatkan tempatnya. Alam semesta dianggap tidak memilki nilai atau sebagai kesatuan terpisah dari manusia, karena dianggap tidak memilki akal. Nilai alam dan lingkungan hanyalah sebatas nilai kemanfaatannya bagi manusia. 

Seperti sebuah mesin raksasa yang berfungsi untuk menunjang segala kebutuhan hidup manusia. Dampak pemujaan terhadap akal ini telah pula mendorong percepatan ilmu dan teknologi yang pada akhirnya berujung pada penguasaan manusia terhadap alam dan lingkungan untuk mengubah dan menjadikannya sebagai objek pemuas kebutuhan. Dengan demikian alam dan lingkungan tunduk pada kepentingan manusia dan diperlakukan seperti budak.

Dengan paradigma antroposentrisme-mekanistik-reduksionis telah menempatkan manusia pada posisi subjek yakni sebagai pusat dari segala sesuatu, sebaliknya alam dan lingkungan hanyalah dipandang sebagai objek yang memiliki nilai ekonomis bagi kepentingan manusia. 

Akibatnya, dengan paradigma sedemikian telah  melahirkan perilaku eksploitatif eksesif, yakni perilaku yang menempatkan alam dan lingkungan sebagai komoditas dan alat pemuas kepentingan manusia belaka. Dampak dari perilaku itu kemudian berpotensi menghadirkan pencemaran ataupun perusakan lingkungan. Pada akhirnya, akan menimbulkan bencana alam dan krisis lingkungan pada kehidupan manusia itu sendiri.

Paradigma Sistemis Ekologis

Keheranan terhadap terjadinya bencana alam dan krisis lingkungan tidaklah cukup hanya dengan menanyakannya pada rumput yang bergoyang. Dibutuhkan peninjauan kembali terhadap cara pandang yang selama ini eksis. Karena itu, dibutuhkan loncatan ke paradigma yang tidak hanya mengandalkan kemampuan akal saja, melainkan juga melalui kemampuan intuitif  yang memilki perasaan mengenal dan merasakan alam semesta dalam hubungan timbal balik, sebagaimana dikemukakan Albert Einstein yang menyatakan bahwa "alam semesta merupakan harmoni" (Albert Einstein, 2010:118). Sehubungan dengan kebutuhan atas harmoni tersebut, maka perlu untuk direkonstruksi melalui paradigma baru yakni paradigma sistemis ekologis.

Berawal dari melalui cara pandang sistemis, yakni sebagai cara berpikir tentang realitas secara keseluruhan sebagai suatu keterkaitan dan interdepensi hakiki di antara seluruh fenomena alam dan kehidupan di dalamnya, baik fisik, biologis, psikologis, sosial dan kultural (Fritjof Capra, 2004: 17).

Dengan cara pandang sistemis tersebut, maka seharusnya di antara keberadaan manusia dengan alam dan lingkungan adalah dipandang sekaligus, karena harus dipahami bahwa manusia adalah entitas dari alam dan lingkungan. Sebuah cara pandang yang lahir dari pola hubungan antara manusia dengan alam dan lingkungan yang saling mengisi dalam relasi yang saling menunjang dan menghidupi. 

Sebuah cara pandang yang bersumber dari pemahaman dasar bahwa manusia bukan hanya sebagai makhluk sosial tetapi juga sebagai makhluk ekologis, manusia tidak dapat berkembang menjadi dirinya yang utuh tanpa ekosistem dan tanpa relasi dengan alam dan lingkungan seluruhnya.

Bahkan secara lebih luas, paradigma sistemis juga berada pada cara berpikir tentang realitas secara keseluruhan sebagai suatu keterkaitan dan interdependensi hakiki di antara seluruh fenomena alam dan kehidupan di dalamnya, baik fisik, biologis, psikologis, sosial dan kultural. 

Dengan paradigma ini, maka alam dan lingkungan dipandang sebagai suatu sistem, di mana organisme yang hidup dipandang sebagai suatu sistem kehidupan, mulai dari bakteri yang paling kecil sampai mencakup tumbuhan, binatang, dan manusia itu sendiri. 

Sistem kehidupan alamiah pada alam dan lingkungan ini mempunyai strukturnya masing-masing yang berkembang dalam interaksi dan hubungan saling tergantung dan saling pengaruhi satu sama lain.

Manusia merupakan bagian dari alam dan lingkungan. Karena itu, alam dan lingkungan harus dipahami sebagai satu kesatuan asasi dengan kehidupan manusia. Memelihara alam dan lingkungan berarti memelihara kehidupan manusia itu sendiri. 

Sebaliknya, merusak alam berarti merusak kehidupan dan sekaligus merusak hidupnya sendiri. Pola relasi tersebut berbeda sekali dengan pola relasi yang dipengaruhi oleh pandangan mekanistis tentang hutan yang diwarnai oleh pola dominasi, penguasaan, penaklukan, eksploitasi, penuh persaingan.

Indonesia, seperti banyak negara berkembang, terperangkap antara memantapkan identitas sendiri dan mengubah wujud lahirnya. Proses ini sering terungkap dalam paradigma hukum nasional di satu pihak dan paradigma pembangunan di pihak lain. Proses ganda ini menimbulkan masalah utama berupa perlunya ditemukan suatu keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan, sambil tetap mempertahankan pola-pola ekologis dan sosio budaya lokal. 

Lebih cepat lagi, ini sebenarnya merupakan masalah bagaimana menjamin kelangsungan kebudayaan stabilitas sosio-psikologis dalam proses perubahan politik dan ekonomi yang lebih luas.

Selanjutnya melalui cara pandang ekologis, yakni sebagai paradigma yang menekankan pada level biologis, bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa air, udara dan makanan yang disediakan oleh alam. Jadi, ada rangkaian jaring kehidupan yang terajut erat dalam ekosistem yang memungkinkan kehidupan (Sonny Keraf, 2014: 91).

Budaya manusia adalah hasil dari seluruh proses sistem yang terkait satu sama lain di alam dan lingkungan dengan seluruh kehidupannya. Karena itulah , baik manusia maupun hewan dan tumbuhan yang ada di alam dan lingkungan mempunyai hak yang sama untuk berkembang bersama dalam proses saling pengaruh di antaranya maupun saling pengaruh dengan ekosistem sekitarnya. 

Artinya secara eksistensial, manusia dalam paradigma lingkungan harus dipahami sebagai makhluk ekologis, makhluk yang menyatu dengan alam dan lingkungan dan tidak dapat bertahan hidup jika lepas dari keberadaan alam dan lingkungan. Dengan alam dan lingkungan yang rusak, kehidupan manusia akan musnah dengan sendirinya. Manusia dan lingkungan adalah satu.

Salam Lestari.

Daftar Bacaan:

Capra, Fritjof. 2004. Titik Balik Peradaban. Yogyakarta: Bentang.

Descartes, Rene. 2015. Diskursus dan Metode. Yogyakarta: IRCiSoD.

Einstein, Albert. 2010. Teori Relativitas Einstein. Yogyakarta: Narasi. 

Keraf, Sonny. 2014. Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan Bersama Fritjof Capra. Yogyakarta: PT Kanisius.

Panjaitan, Saut Parulian. 1998. Dasar-dasar Ilmu Hukum(Asas, Pengertian, dan Sistematika). Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun