Mohon tunggu...
Dr Muhamad Erwin SH M Hum
Dr Muhamad Erwin SH M Hum Mohon Tunggu... Dosen - Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Anggota Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia. Karya: Buku Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum dan Hukum Indonesia (Dalam Dimensi Ide dan Aplikasi), Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta (2015), Buku Hukum Ruang Hidup Adat: Taman Nasional Adat Sebagai Gagasan Kawasan Konservasi Baru, Penerbit Genta Publishing, Yogyakarta (2021), Film Dokumenter Orang Rimba - The Life of Suku Anak Dalam (2021) YouTube: @orangrimbafilm

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Corak Filsafat Hukum Adat Pada Pergerakan Kebangsaan Indonesia

2 Juni 2018   00:06 Diperbarui: 2 Juni 2018   00:37 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada setiap tanggal 20 Mei yang merupakan hari lahir organisasi Boedi Oetomo telah ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1948 di Yogyakarta sebagai hari kebangkitan nasional, yakni sebagai hari sadarnya serta bangkitnya rasa kebangsaan Indonesia. 

Eksistensi kebangsaan tentulah tidak dapat dipisahkan dari masyarakatnya sendiri. Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa pergerakan atas kebangsaan Indonesia itu pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari simpul nilai-nilai (filsafat) yang hidup dalam masyarakat Indonesia itu sendiri, termasuk dari corak hukum adatnya.

Hukum Adat dan Kebangsaan 

Sumber pengetahuan (epistemologi) atas hukum adat adalah terletak pada ekspresi terhadap rasa keadilan dan kepatutan masyarakat. Hukum adat sebagai suatu sistem memiliki karakter khusus yang hanya dapat ditemukan di bumi Nusantara. Terdapat kecendrungan di dalam hukum adat untuk merumuskan keteraturan perilaku terhadap peranan dan fungsi. Kecendrungan tersebut bersifatkan religiusitas, kebersamaan, konkrit, dan kontan.

Religiusitas sebagai corak hukum adat diartikan sebagai suatu bentuk keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifatkan sakral. Disini perasaan religius diwujudkan dalam upaya mencegah terjadinya disharmoni, dalam artian diperlukan adanya keseimbangan dalam kehidupan. 

Adapun pengaruh corak religiusitas ini terhadap pergerakan kebangsaan Indonesia telah diperankan oleh organisasi Sarekat Islam yang pada saat itu dimotori oleh H. Oemar Said Tjokroaminoto yakni dengan memberikan semangat kebangsaan bagi masyarakat luas bahwa telah terjadi disharmoni, dimana bentuk ketidakseimbangan kehidupan pada saat itu bahwa kaum pribumi dijuluki sebagai "seperempat manusia".

Setelah pergerakan kebangsaan untuk menghadirkan manusia Indonesia seutuhnya telah mencapai harmoninya, maka corak religiusitas tersebut dirumuskan oleh para founding fathers ke dalam perjanjian luhur bangsa Indonesia pada alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 dengan klausul "Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa..". 

Selanjutnya sangat perlu pula untuk memerhatikan tambahan frasa "...dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur...". Frasa tersebut menunjukkan adanya kebijaksanaan atau kearifan lokal yang berasal dari perenungan secara mendalam terhadap kehidupan budaya dan alam semesta. Sementara hukum adat itu sendiri bersumber dari alam dan budaya.

Sementara pada corak kebersamaan dalam hukum adat terkandung asumsi bahwa setiap individu sebagai anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat keseluruhan. Pengaruh corak kebersamaan ini bagi pergerakan kebangsaan telah diprakarsai oleh beberapa pelajar sekolah kedokteran STOVIA melalui organisasi Boedi Oetomo yang didirikan pada 20 Mei 1908 dengan cita-cita memperjuangkan persamaan hak dan memajukan ekonomi pribumi. 

Kalaupun sejak awal Boedi Oetomo telah menghadapi banyak tantangan dimana kaum terpelajar di Hindia Belanda saat itu masih terpecah dalam banyak pertentangan dalam pikiran di antara feodalisme versus demokrasi, Islam versus kejawen, nasionalisme versus sektarianisme Jawa, kelas atas versus kelas bawah, namun pada akhirnya corak komunal telah merasuk ke dalam kongres pertama Boedi Oetomo 1908, dimana diyakini bahwa setiap kepentingan sektarian sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan kebangsaan karena tidak ada kelompok yang terlepas dari masyarakatnya.

Kemudian pada tahun 1912 berdiri partai politik pertama bagi masyarakat Hindia Belanda, yaitu Indische Partij oleh dr. Ernest FE Douwes Dekker, dr. Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Partai itu mempunyai semboyan "Indie voor Indische" (Hindia untuk orang Hindia). Semboyan itu kemudian tumbuh menjadi nasionalisme Hindia dan akhirnya menjadi nasionalisme Indonesia. 

Berdasarkan kesadaran tersebut pada puncak pergerakan kebangsaan, corak kebersamaan ini kemudian dituangkan ke dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dengan klausul "...yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat".

Pada kecendrungan tradisi hukum adat yang bersifat konkrit diartikan bahwa corak yang hendak dibangun itu adalah jelas dan nyata. Dalam kaitannya dengan pergerakan kebangsaan Indonesia, corak berpikir konkrit ini ditampilkan oleh organisasi Sarekat Islam sebagai penanda bagi munculnya politik kontemporer di Hindia Belanda. 

Politik dengan cara berpikir konkrit ini pada masa awal pergerakan kebangsaan saat itu telah mampu membawakan cara-cara nyata untuk mengekspresikan rasa kesadaran berbangsa lewat penerbitan surat kabar, unjuk rasa, pemogokan serikat buruh, dan dalam upaya menghadirkan partai politik. Hasil akhir dari tradisi konkrit ini adalah sebuah negara bernama Indonesia sebagaimana tertuang pada alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 dengan klausul "...supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya".

Selanjutnya pada kecendrungan tradisi hukum adat yang bersifat kontan terkandung arti sebagai suatu bentuk kesertamertaan, terutama dalam hal pemenuhan prestasi. Bahwa dalam setiap pemenuhan prestasi hendaknya selalu diiringi dengan kontra prestasi yang memang diadakan secara serta merta (seketika). 

Pemenuhan terhadap kecendrungan yang bercorak kontan ini dapat ditelusuri dari beberapa kesadaran pada saat masa perjuangan pergerakan tersebut diantaranya bahwa apabila hendak mengusahakan kebangsaan, maka kontra prestasinya adalah dengan meninggalkan kemapanan dalam kebangsawanan. Kontra prestasi seperti ini dapat terkesan pada sikap H. Oemar Said Tjokroaminoto yang berupaya untuk meletakkan pondasi awal bangunan republik yakni dengan cara meretas jalan kesetaraan.

Dalam upaya membawa pergerakan Sarekat Islam ke seluruh Hindia, Tjokroaminoto pada saat itu telah merancang delapan program sebagai upaya 'kontan' untuk memperjuangkan hak rakyat yang salah satunya adalah penghapusan kerja paksa. 

Dari corak berpikir yang kontan ini kemudian pada puncak pergerakan kebangsaan selanjutnya dituangkan ke dalam perjanjian luhur bangsa Indonesia pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945 dengan  klausul "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.."

Kesadaran dalam Negara Perjanjian

John Locke menuliskan bahwa negara itu terbentuk dari adanya perjanjian masyarakat. Perjanjian itu terbentuk diawali oleh kodrat manusia yang saling berinteraksi yang kemudian pada masa matangnya menemukan kesamaan persepsi dalam mengadakan perjanjian masyarakat (pactum uniones) untuk membentuk negara dan melindungi hak-hak yang sifatnya kodrati. 

Perjanjian tersebut kemudian dituangkan ke dalam konstitusi (undang-undang dasar). Selanjutnya penyelenggaraan negara tersebut dilangsungkan berdasarkan perjanjian yang disepakati dalam konstitusi sehingga disebut sebagai negara konstitusional.

Indonesia tak mengikuti tradisi kontrak sosial antara pemimpin dan rakyat, tetapi konsensus atas dasar kerakyatan dalam permusyawaratan (demokrasi deliberatif). Dari yang menjadi prinsip dalam hukum adat Indonesia yang kemudian menggerakan paham kebangsaan dan selanjutnya dituangkan dalam perjajian luhur bangsa Indonesia pada Pembukaan UUD 1945, maka jelaslah bahwa Indonesia ini adalah negara perjanjian. 

Perjanjian itu berdiri di atas kemajemukan yang telah ada jauh sebelum negara Indonesia dinyatakan ada. Dengan demikian Pembukaan UUD 1945 itu berkedudukan sebagai kontrak sosial bagi adanya negara Indonesia yang melindungi segenap suku-suku bangsa yang ada di dalam wilayah negara Indonesia sekaligus ruang hidup bagi kultur tradisionalnya. 

Dengan kebinekaan atas kodrat Indonesia tersebut, maka bangsa Indonesia masih harus lebih menumbuhkan ke-"tunggalika"-annya agar kondisi bangsa yang plural ini tidak menimbulkan intoleransi. 

Adapun dalam sistem politik, ekonomi, ketatanegaraan, Indonesia saat ini telah begitu dirasuki oleh kekuatan kapital raksasa global dan neoliberalisme, dimana spiritualisme tergantikan oleh materialisme, kemanusiaan disingkirkan oleh persaingan, nasionalisme tergusur oleh globalisme, kebersamaan digusur oleh individualisme, dan idealisme ditendang oleh pragmatisme yang kemudian menimbulkan konsumerisme. Karena itu, kita harus mampu menerjemahkan Pembukaan UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kemudian secara bertahap mengimplementasikannya dalam sistem ekonomi, politik, dan kesejahteraan.

Indonesia ini adalah suatu bentuk negara perjanjian bagi kebersamaan dalam rumah  Indonesia. Kebersamaan dalam mengupayakan kebenaran, kebaikan, dan keadilan yang diwujudkan dengan semangat gotong-royong. Sementara gotong royong itu sendiri merupakan prinsip sentral bagi Pancasila.

Pentingnya gotong royong sebagai poros bagi Pancasila telah diungkap Ir. Soekarno, bahwa: Sila pertama merupakan jalan gotong royong untuk sama-sama mempraktikkan kemuliaan Ilahi, yakni melakukan yang benar, yang baik, dan yang luhur. Sila kedua adalah jalan gotong royong antar sesama manusia untuk menegakkan kemanusiaan, keadaban, dan keadilan dalam rumah Indonesia. 

Artinya, martabat manusia dihormati, cara-cara hidup beradab dikedepankan. Sila ketiga adalah jalan gotong royong untuk menjaga persatuan dalam rumah Indonesia. Sila keempat adalah jalan gotong royong untuk bersama-sama secara hikmat-bijaksana dan musyawarah mufakat dalam mengelola negara untuk melayani kepentingan rakyat sebagai pemilik rumah Indonesia. Sila kelima adalah jalan gotong royong antara sesama warga masyarakat: kaya dan miskin, kuat dan lemah untuk saling berbagi dan saling merealisasikan keadilan sosial bagi seluruh alam rakyat yang menghuni rumah Indonesia.

Artinya, disitu terkandung adanya semangat. Semangat dari moral Ketuhanan, semangat untuk mengupayakan keadaban dan keadilan, semangat dalam menjaga integrasi nasional, semangat dalam menyelenggarakan kerakyatan bagi kehidupan bersama, dan semangat dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Jika dalam merawat kebangsaan Indonesia dilangsungkan dengan semangat sedemikian, maka yang hadir adalah dalam bentuk karya dan prestasi. Negara ini membutuhkan karya dan prestasi. Marilah kita menjaga harga mati NKRI dengan nasionalisme yang cerdas. Tanpa sinergi semua kekuatan bangsa, kita tidak akan melangkah dari kebangkitan nasional kepada keunggulan nasional.

Salam Kebangsaan.

Muhamad Erwin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun