Perjanjian itu berdiri di atas kemajemukan yang telah ada jauh sebelum negara Indonesia dinyatakan ada. Dengan demikian Pembukaan UUD 1945 itu berkedudukan sebagai kontrak sosial bagi adanya negara Indonesia yang melindungi segenap suku-suku bangsa yang ada di dalam wilayah negara Indonesia sekaligus ruang hidup bagi kultur tradisionalnya.Â
Dengan kebinekaan atas kodrat Indonesia tersebut, maka bangsa Indonesia masih harus lebih menumbuhkan ke-"tunggalika"-annya agar kondisi bangsa yang plural ini tidak menimbulkan intoleransi.Â
Adapun dalam sistem politik, ekonomi, ketatanegaraan, Indonesia saat ini telah begitu dirasuki oleh kekuatan kapital raksasa global dan neoliberalisme, dimana spiritualisme tergantikan oleh materialisme, kemanusiaan disingkirkan oleh persaingan, nasionalisme tergusur oleh globalisme, kebersamaan digusur oleh individualisme, dan idealisme ditendang oleh pragmatisme yang kemudian menimbulkan konsumerisme. Karena itu, kita harus mampu menerjemahkan Pembukaan UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kemudian secara bertahap mengimplementasikannya dalam sistem ekonomi, politik, dan kesejahteraan.
Indonesia ini adalah suatu bentuk negara perjanjian bagi kebersamaan dalam rumah  Indonesia. Kebersamaan dalam mengupayakan kebenaran, kebaikan, dan keadilan yang diwujudkan dengan semangat gotong-royong. Sementara gotong royong itu sendiri merupakan prinsip sentral bagi Pancasila.
Pentingnya gotong royong sebagai poros bagi Pancasila telah diungkap Ir. Soekarno, bahwa: Sila pertama merupakan jalan gotong royong untuk sama-sama mempraktikkan kemuliaan Ilahi, yakni melakukan yang benar, yang baik, dan yang luhur. Sila kedua adalah jalan gotong royong antar sesama manusia untuk menegakkan kemanusiaan, keadaban, dan keadilan dalam rumah Indonesia.Â
Artinya, martabat manusia dihormati, cara-cara hidup beradab dikedepankan. Sila ketiga adalah jalan gotong royong untuk menjaga persatuan dalam rumah Indonesia. Sila keempat adalah jalan gotong royong untuk bersama-sama secara hikmat-bijaksana dan musyawarah mufakat dalam mengelola negara untuk melayani kepentingan rakyat sebagai pemilik rumah Indonesia. Sila kelima adalah jalan gotong royong antara sesama warga masyarakat: kaya dan miskin, kuat dan lemah untuk saling berbagi dan saling merealisasikan keadilan sosial bagi seluruh alam rakyat yang menghuni rumah Indonesia.
Artinya, disitu terkandung adanya semangat. Semangat dari moral Ketuhanan, semangat untuk mengupayakan keadaban dan keadilan, semangat dalam menjaga integrasi nasional, semangat dalam menyelenggarakan kerakyatan bagi kehidupan bersama, dan semangat dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Â
Jika dalam merawat kebangsaan Indonesia dilangsungkan dengan semangat sedemikian, maka yang hadir adalah dalam bentuk karya dan prestasi. Negara ini membutuhkan karya dan prestasi. Marilah kita menjaga harga mati NKRI dengan nasionalisme yang cerdas. Tanpa sinergi semua kekuatan bangsa, kita tidak akan melangkah dari kebangkitan nasional kepada keunggulan nasional.
Salam Kebangsaan.
Muhamad Erwin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H