Mohon tunggu...
Muhamad badarudin
Muhamad badarudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hobi yg penting olahraga.cuakk

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Latar Belakang Nasionalisme dan Islam

26 Oktober 2023   21:14 Diperbarui: 26 Oktober 2023   21:18 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

pendidikan dalam konteks Indonesia adalah dua hal yang salingmempengaruhi. Secara teori atau konsep hal ini terlihat dari arti pendidikan itu sendiri, di mana pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana guna mengembangkan potensi spiritual, intelektual, dan emosional peserta didik yang merupakan potensi fitrah yang diberikan oleh Tuhan yang bertujuan agar peserta didik memiliki kekuatan spiritual 

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan 

negaranya.1 Hal ini juga sejalan dengan fungsi dan tujuan pendidikan agama 

sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah, bahwa fungsi dan tujuan 

pendidikan agama dan keagamaan adalah membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Qardawi pendidikan agama yang dapat melahirkan manusia-manusia beriman dan bertakwa serta mampu menjaga dan memelihara kerukunan dan kedamaian dalam kehidupan antar manusia adalah pendidikan agama yang diberikan secara utuh dalam memahami pengetahuan agama serta melalui proses belajar yang tidak indoktriner.2Karenanya jika merujuk pada pendapat Qardawi, pendidikan agama yang ,dapat mendukung proses penanaman nasionalisme adalah pendidikan agama yang diberikan secara integrated-holistic serta melalui proses pembelajaran.

Dari pengertian dan paparan di atas dapat dilihat bahwa sasaran akhir 

dari pendidikan dan pendidikan agama adalah melahirkan peserta didik yang 

memiliki integritas diri dalam bentuk kekuatan iman yang mengejawantah 

dalam bentuk kemampuan menjawab tantangan hidup dan mampu berbuat 

untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera di muka bumi. Pendidikan yang 

mampu mencetak manusia untuk mengambil bagian secara aktif, kreatif, dan kritis dalam membangun diri dan lingkungannya baik dalam skala mikro 

maupun makro. Oleh karena itu diperlukan penataan kembali pendidikan 

nasional yang menyeimbangkan antara sisi intelektual (sisi akademis), sisi emosional (sisi karakter) dan sisi spiritual (niai-nilai agama) karena tak dapat dipungkiri ketiga hal ini diperlukan untuk menumbuh kembangkan sisi individual dan sosial peserta didik yang dibingkai dengan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana amanah UU. Oleh karenanya dalam konteks Indonesia tidak ada pertentangan antara tujuan 

pendidikan secara umum dan tujuan pendidikan agama yang diberikan di 

lembaga-lembaga pendidikan formal yang ada di dalam wilayah hukum NegaraKesatuan Republik Indonesia.

Berkembangnya pemerintah kolonial lain di Asia Tenggara memaksa Belanda untuk pertama kali berkaca diri dengan membandingkan antara pemerintahannya dengan hasil-hasil yang telah dicapai oleh pemerintah kolonial lain seperti Inggris dan Prancis. Politik Etis yang merupakan bentuk tanggung jawab moral pemerintih kolonial Belanda terhadap pribumi (rakyat Indonesia) yang mengalami penderitaan luar biasa akibat politik tanam paksa kolonial Belanda. Politik etis ini dipelopori oleh Pieter Brooshooft dan C. Th Van de Venter yang membuka mata pemerintah colonial Belanda untuk lebih memperhatikan nasib rakyat pribumi. 

Menurut Van Deventer yang dimuat dalam tulisannya di majalah De Gids tahun 1899, 

pemerintah kolonial Belanda mempunyai utang kehormatan (Een Eereschuld) kepada warga pribumi yang harus dibayar dengan melakukan tiga hal-yang dikenal dengan "Trilogi Van Deventer", yaitu irigasi, emigrasi, dan edukasi. Lihat Akira Nagazumi, Bangkinya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908-1918, (Jakarta:Pustaka Utama Grafiti,1989), 26-27 School tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA) yang merupakan sekolah 

pendidikan dokter untuk pribumi di Batavia dan lain-lain. Pada akhirnya lembaga-lembaga pendidikan ini memunculkan kesadaran kebangsaan pada diri peserta didiknya saat itu dalam bentuk menyadari akan kondisi 

penderitaan bangsanya sebagai akibat dari penjajahan Belanda. Dari kesadaran kebangsaan inilah kaum terdidik kemudian mendirikan organisasi-organisasi pergerakan yang tujuan utamanya adalah Indonesia merdeka dalam rangka menaikkan harkat dan martabat bangsa. Berdirilah kemudian organisasi Budi Utomo, Taman Siswa, Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Celebes dan lain-lain.

Dalam masyarakat Islam salah satu dampak dari politik etis ini adalah

lahirlah kemudian gerakan sosial keagamaan seperti Sarekat Dagang Islam 

(SDI), Persyarikatan Ulama di Majalengka, Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Nahdlatul Ulama (NU), serta berdiri juga partai-partai politik seperti Sarekat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam (SDI), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) dan Partai Islam Indonesia (PII). Dari organisasi-organisasi gerakan sosial keagamaan dan partai politik Islam inilah selanjutnya terbangun karakter kebangsaan yang diawali dengan membangun persatuan dan kesatuan (unity) yang merupakan unsur utama dalam membangun nasionalisme, kebebasan (liberty), kesamaan (equality), demokrasi, kepribadian nasional serta prestasi kolektif.) Tak ada diskursus dan silang pendapat terkait hal ini karena ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Hadis memang menyerukan kepada persatuan dan anti perpecahan, kesamaan dan kebebasan karena mereka meyakini bahwa sebagai sebuah kepercayaan Islam memang menentang sikap memusuhi bangsa lain yang merupakan salah satu ciri atau karakteristik utama dari nasionalisme. Dalam konteks Indonesia persatuan, kesamaan dan kebebasan inilah yang kemudian mendasari semangat untuk membela kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan. Puncak dari semangat inilah yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda pada 1928. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, Sumpah Pemuda merupakan puncak dan representasi.

Sumpah Pemuda lahir dari kesadaran para pemuda akan pentingnya memperkuat persatuan di antara perkumpulan organisasi kepemudaan dan membangkitkan kesadaran bahwa mereka berbangsa dan bertumpah darah satu Indonesia. Hamid Darmadi, Kebangkitan Nasional, Pancasila dan UUD 1945 Kunci Pemersatu Bangsa (Yogyakarta: Suluh Media, 2017), 42-43.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun