Selain penguatan karakter, PAI menyiapkan peserta didik yang memiliki empat kompetensi generik 4 C (critical thinking and problem solving, creativity, communication and collaboration) dan memiliki budaya literasi yang tinggi (Rosyada 2017). Dengan demikian maka kurikulum dan pembelajaran PAI dituntut mampu mengadaptasi perkembangan dunia modern sehingga berdaya saing tinggi, namun tetap berkarakter religius-holistk integratif sehingga mampu membentengi moral generasi bangsa dari pengaruh globalisasi yang buruk. Dalam kurikulum rekonstruksi sosial ini, PAI berusaha mendorong peserta didik memiliki pengetahuan yang cukup mengenai masalah-masalah sosial yang mendesak (crusial) dan kerjasama atau bergotongroyong untuk memecahkannya (Sukmadinata 2010).
Perubahan kurikulum membawa dampak pada pembelajaraan PAI di kelas. Proses pembelajaran PAI saat ini dituntut berorientasi pada siswa (student centered). Dalam pembelajaran dengan pendekatan berpusat pada siswa, kegiatan belajar mengajar dalam rangka memperoleh informasi dan sebagainya lebih banyak dilakukan oleh siswa. Pembelajaran PAI yang biasanya hanya bertumpu pada guru dan buku paket sebagai sumber belajar, maka kini informasi yang terdapat dalam literature dilengkapi dengan informasi dari sumber lain seperti surat kabar, majalah, radio, internet, televise, pameran, museum, galeri, kegiatan fieldtrip, kegiatan sosial yang diintegrasikan dengan kegiatan pembelajaran. Proses pembelajaran pun diarahkan pada critical thinking dan problem solving. Dengan cara demikian siswa terlatih bersikap kreatif, mandiri dan produktif (Nata 2005). Karakter inilah yang sangat dibutuhkan dalam mengahadapi perubahan sosial  pada masyarakat di era revolusi industry 4.0. Kondisi semacam ini pada gilirannya akan menciptakan sebuah kultur masyarakat belajar (learning society).Â
PAI melalui pembelajaran di kelas mengajarkan keteladanan bagi peserta didik. Pembelajaran dengan cara lama yang dianggap menghambat percepatan skill peserta didik harus diubah atau bahkan diganti. Guru dalam hal ini harus siap meng-update dan meng-upgrade skill dan kompetensinya. Di era keterbukaan informasi seperti saat ini, siswa dapat dengan mudah mendapatkan pengetahuan melalui internet yang terkoneksi dengan smartphone yang mereka miliki. Maka tugas dan peran guru sebagai informator dalam transfer of knowledge mulai tergantikan oleh artificial intelligence atau kecerdasan buatan. Bahkan bisa dikatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh siswa melalui media internet jauh lebih luas dibandingkan pengetahuan yang guru ajarkan di kelas.
Peran strategis PAI dalam penguatan karakter melalui pembelajaran dilaksanakan oleh guru sebagai ujung tombak pendidikan. Guru merupakan pihak yang paling banyak bersentuhan langsung dengan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah/madrasah (Suharsaputra 2013: 166). Jika sebelumnya pendekatan yang digunakan adalah teacher centered dimana pembelajaran berpusat pada guru, kini dengan pendekatan student centered peran guru adalah sebagai fasilisator, inisiator, motivator, mediator dan evaluator. Meski kemajuan teknologi dan kecerdasan buatan mampu mengambil sebagian peran guru dalam pembelajaran sebagai informator dan transfer of knowledge, namun peran guru sebagai teladan yang mentransformasikan nilai-nilai agama, karakter, akhlak dan budaya tetap tak dapat digantikan. Peserta didik membutuhkan sosok yang mampu membimbing, mengarahkan dan menjadi teladan dalam akivitas belajar.
Peran guru PAI sebagai fasilisator adalah memfasilitasi siswa memanfaatan teknologi untuk pembelajaran (Sukmadinata 2010) secara bijak dan tepat sasaran. Sebagai motivator adalah mengarahkan peserta didik bahwa pada era sekarang, membekali diri dengan pengetahuan teknologi merupakan hal yang penting, Â akan tetapi membekali diri dengan pengetahuan agama dan karakter jauh lebih penting. Sebagai inisiator, guru menjadi pihak yang menginspirasi siswa bahwa adanya revolusi industri 4.0, mempelajari sains dan teknologi menjadi semakin mudah, namun hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menjadi manusia berkarakter dan religius agar bijak menggunakan teknologi baik masa kini hingga masa depan. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam mampu menyiapkan generasi yang akan memiliki nilai-nilai karakter, agamis dan mampu menyejahterakan kehidupan berbasis teknologi.
REFERENSI
Al-Abrasyi, Ahmad Fuad. 1990. Al-Tarbiyah Al-Islamiyah Fi Al-Qur'an Al-Karim. 1st ed. Mesir: Dasar al-Fikr.
Antunes, Joaquim, Antnio Pinto, Pedro Reis, and Carla Henriques. 2018. "Industry 4.0: A Challenge of Competition." Millenium - Journal of Education, Technologies, and Health, no. 6: 89--97. https://doi.org/10.29352/mill0206.08.00159.
Anwar, Chairul, Antomi Saregar, Uswatun Hasanah, and Widayanti Widayanti. 2018. "The Effectiveness of Islamic Religious Education in the Universities: The Effects on the Students' Characters in the Era of Industry 4.0." Tadris: Jurnal Keguruan Dan Ilmu Tarbiyah 3 (1): 77. https://doi.org/10.24042/tadris.v3i1.2162.
Atik Maisaro, Bambang Budi Wiyono, Imron Arifin. 2018. "Manajemen Program Penguatan Pendidikan Karakter Di Sekolah Dasar." Jurnal Adminitrasi Dan Manajemen Pendidikan 1 (3): 302--12.
Gunawan, Hari. 2012. Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Bandung: Alfabeta.