Karakter menjadi skill utama yang harus dimiliki dalam menghadapi tantangan revolusi industry 4.0 di abad 21. Maka sangat tepat jika kemudian pemerintah melalui Perpres Nomor 87 tahun 2017 mengimplementasikan program penguatan pendidikan karakter (PPK) sebagai langkah strategis mempersiapkan SDM yang tangguh, unggul dan berdaya saing. PPK merupakan  upaya penguatan karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga. Pada implementasinya, PPK menjadi tanggung jawab satuan pendidikan  dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat.
PPK dapat diimplementasikan melalui Pendidikan Agama Islam. Alasan utama adalah nilai-nilai yang terkandung dalam PPK bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional. Nilai-nilai PPK berlaku universal karena dapat digunakan oleh siapa saja tanpa ada diskriminasi (Paryana, 2014: 321). Â Pew Research mencatat bahwa pada 2010 populasi masyarakat penganut agama Islam di Indonesia sebanyak 209,1 juta jiwa atau sebesar 87,2%. Jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Dengan potensi human capital yang besar sebagai mayoritas di Indonesia, maka PAI memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter peserta didik.
Rasulullah SAW bersabda "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia" (Nursanti 2012). Konsep inilah yang menjadi visi-misi utama Pendidikan Agama Islam di Indonesia. Â Sasaran utama Pendidikan Agama Islam adalah untuk melatih dan membentuk hati nurani yang bersih. Jika hati nurani baik maka semua perilakunya akan menjadi baik. Sebaliknya jika kondisi hati nurani buruk maka perilaku yang ditampilkan anggota tubuh lainnya juga buruk (hadis). Pandangan ini mengharuskan implementasi kurikulum di madrasah disertai dengan upaya sungguh-sungguh dan latihan (mujahadah-riyadlah) untuk membersihkan diri dari akhlak tercela (takhliyah) dan sekaligus senantiasa menghiasi diri dengan akhlak terpuji (tahliy ah) melalui pembiasaan, pembudayaan dan pemberdayaan (Madrasah 2019).
Tinjauan mengenai kurikulum nasional menempatkan PAI sebagai mata pelajaran yang wajib diajarkan sejak jenjang usia dini hingga perguruan tinggi (Zaki 2015: 41). Hal ini menjadikan PAI mampu secara strategis mengimplementasikan nilai-nilai karakter secara berkelanjutan. Keberadaan PAI berperan sebagai fasilisator yang memfasilitasi manusia untuk belajar dan berlatih mengaktualisasikan segenap potensi yang dimilikinya, baik yang bersifat fisik (jasmaniah) maupun nonfisik (rohaniah), yang profilnya digambarkan Allah dalam al-Quran sebagai sosok ulil albab, sebagai manusia muslim paripurna, yaitu manusia yang beriman, berilmu, dan selalu produktif mengerjakan amal saleh sesuai dengan tuntunan ajaran Islam (Gunawan 2012).
Pada lembaga pendidikan madrasah di bawah Kementerian Agama, PAI diajarkan dalam lima rumpun mata pelajaran yaitu Akidah akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam, Al-Qur'an Hadits, Fiqh dan Bahasa Arab. Sedangkan pada lembaga pendidikan sekolah di bawah Kementerian Pendidikan Nasional hanya satu rumpun pelajaran Pendidikan Agama Islam. Meski demikian kegiatan penguatan dan pembinaan karakter Islam dapat dilakukan melalui kegiatan pembiasaan dan ekstrakurikuler.
Kehadiran revolusi industry 4.0 merupakan peluang dan tantangan bagi Pendidikan Agama Islam di Indonesia yang tengah berbenah. Â Fenomena disrupsi membuka kesempatan lahirnya digitalisasi sistem pendidikan melalui inovasi aplikasi teknologi seperti Massive Open Online Course (MOOC) dan Artificial Intelligence. MOOC adalah inovasi pembelajaran daring yang dirancang terbuka, saling berbagi, terhubung atau berjejaring satu sama lain (Rizal 2017). Prinsip ini menanda dimulainya demokratisasi pengetahuan yang menciptakan peluang bagi setiap orang untuk memanfaatkan teknologi secara produktif. Sementara Artificial Intelligence adalah mesin kecerdasan buatan yang dirancang untuk melakukan pekerjaan spesifik untuk membantu tugas-tugas keseharian manusia. Di bidang pendidikan artificial intelligence membantu pembelajaran secara individual, yang mampu melakukan pencarian informasi dan menyajikannya dengan cepat, akurat, dan interaktif (Wijayanto 2018).
Problematika yang dihadapi di masyarakat Indonesia hari ini menghendaki visi dan orientasi pendidikan yang tidak sekedar menekankan pada kecerdasan intelektual atau aspek kognitif semata, tetapi juga pengisian jiwa, pembinaan akhlak dan ketaatan dalam menjalankan ibadah. Pendidikan Agama Islam  berperan dalam pembentukan karakter religious, mandiri dan gotong royong peserta didik melalui pembelajaran berbasis akhlak dan pembiasaan melaksanakan ritual ibadah dan pendalaman nilai-nilai spiritual seperti pembiasaan shalat dhuha, puasa hari Senin dan Kamis, hafalan doa, pembelajaran hadits, tafsir Al-Qur'an, hafalan juz'amma dan pembelajaran baca tulis al-Qur'an (BTQ). Â
Pendidikan Agama Islam berupaya mengintegrasikan berbagai pengetahuan yang terkotak-kotak ke dalam ikatan tauhid yaitu sebuah keyakinan bahwa ilmu-ilmu yang dihasilkan melalui penalaran manusia merupakan bukti kasih sayang Tuhan kepada manusia. Anugerah tersebut harus diabadikan untuk beribadah kepada Tuhan melalui karya-karya manusia (Nata 2005: 83). Apa yang Tuhan karuniai sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi harus dimanfaatkan demi kemajuan bangsa dan Negara Indonesia. Disinilah peran PAI menjadi sangat penting dalam pembentukan karakter nasionalis dan integritas peserta didik. Dalam menciptakan dan memanfaatkan teknologi, peserta didik ditanamkan rasa tanggung jawab, jujur dan adil. Adil dalam arti mampu menggunakan media teknologi secara tepat guna dan maslahat. Sedangkan terkait nasonalisme, peserta didik ditanamkan rasa cinta tanah air dan pengamalan nilai-nilai Pancasila sebagai ideology Negara misalnya melalui pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam, Tarikh, dan akidah akhlak.
Dalam situasi disrupsi sebagaimana dijelaskan sebelumnya, PAI memiliki peran dan fungsi kultural yaitu suatu upaya melestarikan, mengembangkan, dan mewariskan cita-cita masyarakat. Dalam fungsi ideal, PAI menjadi kontrol nilai dan mengarahkan perkembangan masyarakat (Nata 2005). Dalam hal ini, Pendidikan Agama Islam melakukan kontrol dan pengarahan melalui evaluasi dan rekomendasi. Fungsi pengarahan yang dimaksud adalah bahwa pendidikan bertujuan membantu manusia melaksanakan fungsi kekhalifahan melalui pemberian pengetahuan, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan dirinya dan masyarakat khususnya di era industry 4.0 yang sangat membutuhkan skill vokasional dan digitalisasi. (Al-Abrasyi 1990: 149)
Upaya penguatan karakter peserta didik harus dibarengi dengan kurikulum yang lebih berorientasi pada rekonstruksi sosial yaitu kurikulum yang memang dirancang dalam rangka perubahan sosial (Nasution 1991). Kurikulum semacam ini bersifat dinamis mengikuti perubahan dan tuntutan sosial. Kurikulum Pendidikan Agama Islam melakukan sebuah langkah rekonstruksi sosial dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Agama Nomor 183 tahun 2019 tentang Kurikulum PAI dan bahasa Arab Pada Madrasah. Kurikulum rekonstruksi sosial ini dimaksudkan agar pembelajaran PAI lebih memusatkan perhatian pada problema-problema yang dihadapi dalam masyarakat. Melalui interaksi siswa dengan guru, siswa dengan siswa, siswa dengan orang di lingkungannya dan siswa dengan sumber belajar lainnya berusaha memecahkan problema-problema yang dialaminya di masyarakat menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik (Sukmadinata 2010: 91).Â