Dalam sejarah keilmuan Islam, kecintaan Imam Malik kepada Imam Syafi’i, dan Imam Syafi’i kepada Ahmad bin Hambal, sungguh telah menjadi busur yang melesatkan mereka semua menjadi maestro-maestro ilmu fiqh. Demikian juga cintanya Jalaluddin As-Suyuti kepada Jalaluddin Al-Mahally, dan Muhammad Abduh kepada Rasyid Ridha.
Suasana cinta dalam aktivitas pendidikan merupakan suatu kemestian yang harus dilaksanakan. Nabi bersabda, “Al-Dinu al-Nashihah” (agama adalah cinta). Para sahabat bertanya, kepada siapa ya Rasul, “Lillahi, wa lil Rasuli, walinnasi ajma’in”, (kepada Allah, kepada rasul, dan kepada segenap ummat manusia).
Erich Fromm dalam bukunya yang “tersohor itu”, The Art Of Loving, menulis,
“Bahwa manusia moderen sesungguhnya adalah orang-orang yang menderita, penderitaan tersebut diakibatkan karena kehausan mereka untuk mencintai orang lain. Mungkin sudah waktunya kita beritahu mereka untuk belajar mencintai”.
Saya teringat dengan puisi Kahlil Gibran:
Mungkinkah akan datang suatu hari
Ketika orang bijak mampu menyatukan mimpi-mimpi pemuda
dengan kesenangan untuk belajar?
Apakah akan datang suatu hari ketika guru manusia adalah alam,
kemanusiaan adalah bukunya dan kehidupan adalah sekolahnya?
Adakah hari ini akan datang? Kita tidak tahu,
tetapi kita bisa merasakan dorongan yang menggerakan diri