Mohon tunggu...
Muhamad Nurdin
Muhamad Nurdin Mohon Tunggu... Penulis - Mari Sama-sama Menjadi yang Terbaik

Mari Sama-sama Menjadi yang Terbaik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mendidik Anak Dengan Cinta, Bekal Pendidikan untuk Bahagia

16 Februari 2024   03:50 Diperbarui: 16 Februari 2024   06:19 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mendidik anak dengan cinta. sumber gambar, (ciip.com)

Mendidik anak dengan cinta berarti mendidik mereka dengan landasan kasih sayang. Siapa yang akan menjadi tauladan kita dalam hal pendidikan? Yang paling tepat dijadikan pigur adalah Rasulallah Saw. Anak-anak hasil gemblengan di madrasah Rasulallah Saw telah berhasil meluluskan murid yang tidak perlu kita ragukan lagi.

Para lulusannya  ada Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Fatimah Az-Zahra, dan masih banyak lagi. Mereka adalah generasi terbaik yang dapat meneruskan tongkat estafeta perjuangan Rasulallah dalam mengisi  zamannya.

Kita menemukan bahwa salah satu kesuksesan Nabi Muhammad Saw dalam mendidik para sahabat dan anak-anaknya adalah, karena beliau mendidik mereka dengan mencintainya.

Dari Anas bin Malik r.a, 

“Tidak pernah kulihat seseorang yang lebih sayang kepada anak-anak daripada Rasulallah Saw  (HR Muslim).

Baca juga: Dahsyatnya Cinta

Fenomena maraknya kenakalan pelajar, baik yang berhubungan dengan tawuran, nimu-minuman keras, obat-obat terlarang dan seks pra nikah, pada saat ini ditengarai oleh pakar pendidikan akibat kurangnya perhatian orang tuanya yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Pada posisi ini, maka guru harus tampil menjadi personifikasi tife ayah yang bijaksana, penuh sentuhan kasih sayang (cinta), dengan memberikan nasihat-nasihat, sehingga murid merasa diperhatikan disekolahnya.

Sikap kasih sayang yang ditunjukan oleh guru akan memberikan ikatan batin yang kuat antara murid dan gurunya, maka terjalinlah komunikasi dua arah. Sehingga anak akan merasa bersalah apabila ia melakukan suatu perbuatan atau melanggar ketentuan yang diajarkan oleh gurunya. Keterkaitan emosional antara guru dan murid inilah yang harus diupayakan.

Dalam banyak riwayat menyebutkan, bahwa Nabi Muhammad Saw memiliki rasa kasih sayang yang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat terhadap  cucunya, Hasan dan Husein. Sampai suatu ketika beliau sedang sujud dalam shalat, didapatinya Hasan sedang naik ke punggung Nabi. Beliau pun memperlama shalatnya, sampai keduanya turun.  Ini memperlihatkan betapa seorang Nabi mempunyai kasih sayang begitu tinggi.

Pernah suatu saat Nabi berkumpul dengan para sahabatnya di suatu tempat, lalu ada sahabat yang putranya ikut, lalu dia melarangnya sambil bersuara keras kepada anaknya disuruh pulang. Melihat perlakuan sahabatnya tersebut, Nabi kemudian menegurnya dan dengan penuh kasih sayang Nabi memanggil anak tersebut lalu diusap-usap kepalanya.

Jadi tepat sekali kalau konsep pendidikan dalam Islam, menempatkan kasih sayang menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kegiatan belajar mengajar. Sekaligus menekankan perlunya guru memperhatikan secara serius pendekatan ini demi keberhasilan dalam menanamkan nilai-nilai yang islami.

Dalam sejarah keilmuan Islam, kecintaan Imam Malik kepada Imam Syafi’i, dan Imam Syafi’i kepada Ahmad bin Hambal, sungguh telah menjadi busur yang melesatkan mereka semua menjadi maestro-maestro ilmu fiqh. Demikian juga cintanya Jalaluddin As-Suyuti kepada Jalaluddin Al-Mahally,  dan Muhammad Abduh kepada Rasyid Ridha.

Suasana cinta dalam aktivitas pendidikan merupakan suatu kemestian yang harus dilaksanakan. Nabi bersabda, “Al-Dinu al-Nashihah” (agama adalah cinta). Para sahabat bertanya, kepada siapa ya Rasul, “Lillahi, wa lil Rasuli, walinnasi ajma’in”, (kepada Allah, kepada rasul, dan kepada segenap ummat manusia).

Erich Fromm dalam bukunya yang “tersohor itu”, The Art Of Loving, menulis, 

“Bahwa  manusia moderen sesungguhnya adalah orang-orang yang menderita, penderitaan tersebut diakibatkan karena kehausan mereka untuk mencintai orang lain. Mungkin sudah waktunya kita beritahu mereka untuk belajar mencintai”.

Input sumber gambar (en.tempo.co)
Input sumber gambar (en.tempo.co)

Saya teringat dengan puisi Kahlil Gibran:

Mungkinkah akan datang suatu hari

Ketika orang bijak mampu menyatukan mimpi-mimpi pemuda 

dengan kesenangan untuk belajar?

Apakah akan datang suatu hari ketika guru manusia adalah alam, 

kemanusiaan adalah bukunya dan kehidupan adalah sekolahnya?

Adakah hari ini akan datang? Kita tidak tahu, 

tetapi kita bisa merasakan dorongan yang menggerakan diri

 untuk mencapai kemajuan batin, 

dan kemajuan itu adalah sebuah pemahaman

 terhadap keindahan semua makhluk

 melalui perbuatan baik yang kita lakukan 

dan kepada keindahan itu kita taburkan cinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun