Mohon tunggu...
Muhamad Iqbal
Muhamad Iqbal Mohon Tunggu... -

Pemikir Radikal, Rasional, Fundamental, Filosofis, Oposisi Pemerintah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Teologi, Manusia dan Eksistensi Tuhan

12 November 2018   23:40 Diperbarui: 13 November 2018   07:54 1337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara mengenai Tuhan, tentu sudah menjadi sebuah asumsi umum bahwa Tuhan memang ada, terutama bagi penganut Theisme. Bagi kalangan Atheisme tentunya akan mati - matian menolak paradigma eksistensi Tuhan. Karena yang saya bahas kali ini adalah manusia yang disana terjebak oleh simbol Tuhan, maka yang pasti adalah batasannya hanya sampai pada lingkup para penganut Theisme saja. Soal paradigma Atheisme, hanya akan dibahas singkat. Soal Monotheisme atau Polytheisme, akan dibahas juga di bawah ini.

Terjebak Simbol "Tuhan"

Manusia menyebut entitas Tuhan dengan simbol - simbol yang berbeda - beda satu sama lain. Orang islam menyebutnya "Allah", orang Yunani menyebutnya "Theos", orang mesir menyebutnya "Dewa Amon - Ra", orang hindu menyebutnya "Sanghyang Widi Wasa", dan banyak lagi penyebutan manusia mengenai entitas Tuhan. Secara substansial yang mereka sebut adalah 1 realitas, yaitu realitas Tuhan, hanya simbol - simbol yang digunakan untuk mendefinisikan / menjelaskan realitas tersebut berbeda - beda.

Seluruh penyebutan / simbol - simbol yang muncul diantara manusia adalah disebabkan karena dasar / pondasi keyakinannya. Kebanyakan lebih terpusat pada literalis wahyu, atau mitologi. 

Dan tiap - tiap kepercayaan yang dianut tersebut, selalu menunjukkan kesifatan superioritas dari Tuhan yang disembah oleh mereka. Monopolisasi dari superioritas Tuhan seakan semakin mengarah pada sebuah permasalahan yang baru. Tuhan seakan menjadi lebih jamak lagi, karena tiap - tiap pengikut Tuhan akan "memonopoli" (simbol) Tuhannya sendiri, dan akan menistakan eksistensi (simbol) Tuhan - tuhan yang selainnya.

Soal jumlah / bilangan Tuhan yang disana menjadi perdebatan, antara monotheisme dan polytheisme, juga akan menjadi salah satu pokok bahasan. Secara logika, penguasaan absolut terhadap suatu hal, bisa melahirkan yang namanya keteraturan yang luar biasa dalam tiap - tiap perhitungan cermat penciptaan realitas kosmos, dari realitas atomik sampai yang luar biasa besarnya, tidak mungkin dilakukan oleh lebih dari 1 individu.

Karena tiap -- tiap individu punya kepentingan dan kehendak yang berlainan satu sama lain, yang akan membuat dunia kosmos akan hancur jauh lebih cepat, dan keteraturan yang dinikmati oleh seluruh manusia tak akan bisa eksisten lagi sebagai suatu sistem / hukum alamiah yang bekerja sampai hari ini.

Yang namanya kemutlakan, selalu identik dengan penguasaan 1 individu, kita semua sepakat apabila penguasaan sesuatu oleh lebih dari 1 individu, bukanlah sebuah penguasaan absolut, dan penguasanya tak pantas sedikitpun disebut absolut sama sekali, karena kekuasaannya saja terbagi dengan individu lainnya.

Disini muncul bahwa "Tuhan" mulai dimonopoli eksistensinya oleh pengikut - pengikutnya sendiri. Ini menandakan bahwa pengikut Tuhan sekalipun mulai terjebak dalam sebuah kesesatan fundamental, yaitu bagaimana memaknai eksistensi Tuhan. Salah paham atas makna dari keberadaan Tuhan sendiri, akan membat seluruh penyembahan yang dilakukannya menjadi sebuah ke-sia-sia-an belaka.

Karena Tuhan pun ingin di-presepsi hambanya dengan benar, jika sampai salah satu paradigma yang disana salah muncul, maka logikanya manusia tersebut akan menjadi seorang hamba yang mengecewakan Tuhannya sendiri. Bisa kita lihat faktanya, misalkan orang Islam.

Lihat bagaimana mereka mendoktrin umat mereka dengan paradigma bahwa satu - satunya Tuhan adalah "Allah", dilain itu ("Simbol - simbol Tuhan" lainnya) bukanlah Tuhan. Walaupun misalkan mereka didebat oleh sesama penganut Monotheisme, mereka tetap tidak percaya dan tetap taqlid hanya pada simbol "Allah" yang diperkenalkan oleh agamanya.   

Mereka lupa pada substansi sebenarnya dari eksistensi Tuhan. Berbagai simbol yang ada, mereka seperti menganggapnya sebagai eksistensi yang berbeda. Inilah bukti nyata bahwa mereka telah terbelenggu oleh Simbol dari "Tuhan", dan melupakan hakikat substansial dari Tuhan itu sendiri. Mereka pikir Tuhan hanyalah deretan simbol - simbol. Itu sama saja merendahkan kebesaran Tuhan.

Kembali dalam Filsafat Bahasa (asal - usul bahasa), seluruh bahasa muncul akibat sebuah aktivitas penyimbolan manusia ketika mengetahui sebuah realitas yang baru.

Seluruh realitas di dalam dimensi ruang dan waktu sejatinya punya kerumitan dan kompleksitas yang sangat tinggi, lalu manusia berusaha menyimbolkan realitas tersebut untuk menyederhanakannya. Realitas yang terbatas (dimensi ruang den waktu) saja, seperti meja, manusia perlu jutaan lembar kertas untuk menerangkan realitas tersebut tanpa meninggalkan satupun informasi di dalamnya, dari segi fisik maupun metafisik. Namun manusia hanya menyederhanakannya dengan simbol "meja".

Sebuah simbol dipastikan tak mampu mewakili sebuah realitas yang rumit dan kompleks. Itu baru pada realitas di dalam keterbatasan dimensi ruang dan waktu, bagaimana kalau realitas "Theos" / "Tuhan"?? jauh lebih kompleks dan rumit lagi.. sebuah entitas yang absolut, mutlak, causa prima, pencipta, maha segalanya.. tak mungkin bisa diwakili hanya dengan sebuah simbol yang sempit.. Pada dasarnya yang harus dipahami oleh manusia adalah hakikat sebenarnya dari Allah / Tuhan itu.. sayangnya malah manusia hanya kenal dan hafal saja dengan simbol.. tapi jauh sekali dari sebuah pemahaman yang fundamental dan komprehensif mengenai suatu entitas yang absolut tersebut. Hanya berdebat soal simbol "Allah" / "Dewa" / "Tuhan"/ "Yahweh" / "Theos", tanpa mengetahui bagaimana sebenarnya, hakikat substansional dari entitas tersebut, dan bagaimana sebenarnya kedudukan kita dengan-Nya? Setara? Lebih rendah? Dan pada akhirnya akan menimbulkan sebuah penyikapan dari manusia sendiri terhadap entitas absolut tersebut.

Buat apa juga terjebak dan berdebat hanya karena simbol belaka, itu menandakan bahwa manusia itu hanya menjangkau sisi terluar Tuhan, lalu dengan percaya dirinya membuat definisi Tuhan, HANYA DENGAN SIMBOL!! Kekuasaan, ke-absolut-an dan kebesaran Tuhan jauh lebih luas dari simbol - simbol yang mereka ciptakan. Ini namanya penistaan Tuhan!!

Akui dan Maknai Eksistensi "Tuhan"

Sebagai contoh yang lebih kasuistik, penulis pernah menemui sebuah pemikiran pimpinan militan pemberontak Nigeria yang bisa dikatakan sebagai pemikiran yang unik, sekaligus mungkin dalam sudut pandang pembaca / orang Indonesia pada umumnya merupakan pemikiran yang aneh. Seperti ini :

"I believe with God, God is the creator, but,  I think, all of religion is a lies, bullshit."

Diatas itu adalah penggalan pernyataannya.

Dia mengatakan bahwa dia mempercayai eksistensi dari Tuhan, tapi menurutnya, agama adalah suatu yang omong kosong belaka, agama adalah hasil khayalan dari manusia.

Sekilas, kita mungkin pemikiran itu akan mengingatkan pada paradigma orang - orang Quraisy jaman nabi Muhammad, mereka mengakui bahwa Allah adalah pencipta alam semesta, tapi mereka tak  mengakui Islam yang dibawa oleh Muhammad. 

Sekali lagi, mereka hanya mengakui bahwa pencipta alam semesta adalah Tuhan, namun objek penyembahan mereka bukanlah Tuhan tersebut. Ini adalah tindakan yang secara tak langsung "meremehkan" Tuhan. Seolah, dengan kebesaran dan kuasa Tuhan dalam meng-ada-kan apa yang sebelumnya tak ada, begitu remeh. Dan eksistensi yang Tuhan ada-kan adalah suatu realitas yang sebenarnya luar biasa.

Perilaku meng-ilah-kan Tuhan bukanlah suatu permintaan pribadi Tuhan pada manusia, walaupun misalkan, ekstrimnya, tak ada manusia pun yang disana menyembah Tuhan, kebesaran dan kuasa dari Tuhan pun tetap luar biasa, tak berkurang sedikitpun. Doktrin mitologi Yunani, malah dketahui mempunyai konsep yang berkontradiksi dengan hakikat dari Tuhan, mereka meyakini, jika manusia meninggalkan aktivitas Penyembahan, maka Tuhan akan menjadi semakin lemah tak berdaya. 

Seolah Tuhan punya sifat yang kemakhlukan, dan sifat itu tak mungkin menjadi ciri dari Tuhan, karena Tuhan sangat berbeda dengan makhluknya, dan itu wajib. Tanpa itu, entitas itu tak bisa menjadi Tuhan sampai kapanpun. Seluruh entitas kemakhlukan adalah memiliki batasan ruang dan waktu. 

Misalkan manusia. Manusia merupakan entitas yang terbatas oleh raga kita, maka kita disebut sebagai realitas fisik. Meja misalkan, meja terbatas oleh seberapa besar meja tersebut, walaupun meja itu sebesar bumi sekalipun, meja itu pun masih punya batasan ruang dan waktu. 

Bahkan realitas bumi atau matahari pun masih punya batasan ruang dan waktu. Dan terakhir, realitas kosmos, alam semesta pun punya batasan / ruang dan waktu. Tanya saja para astronom, mereka tau bahwa alam semesta punya batasan maksimal, yang walaupun tiap momen selalu berkembang lebih luas lagi, tak menghilangkan hakikatnya bahwa bagaimanapun kosmos beserta isinya adalah realitas yang terbatas dimensi ruang dan waktu.

Selain berbagai realitas fisik, kita sama - sama mengakui bahwa memang ada realitas lain di luar realitas fisik, yaitu realitas metafisik seperti jin dan kawan - kawannya. Namun, bagaimanapun, realitas itu pun masih punya bentuk, walaupun misalkan tak beraturan (dengan kata lain, masih tergolong sebgai realitas yang terbatasi oleh dimensi ruang dan waktu).

Dan diluar seluruh realitas yang terbatas akan dimensi ruang dan waktu itu, ada realitas lainnya, yang absolut, mutlak, tak punya ukuran, massa, atau apapun yang disana menjadi ciri khas dari makhluk dalam dimensi ruang dan waktu. Karena bersifat absolut - metafisik, entitas itu bisa disebut dengan "Tuhan". 

Karena kita dan kosmos semua adalah realitas kemakhlukan yang terbatasi dimensi ruang dan waktu, maka kita akan mendefinisikan bahwa entitas (Tuhan) itulah yang telah menciptakan kita semua dari yang awalnya tak ada menjadi suatu yang ada. Tuhan telah "berbaik hati" menjadikan kita hidup hari ini.

Di masa kita masih dalam kandungan ibu, awalnya kita hanyalah sebuah raga tanpa arti. Dan Tuhan-lah yang mengirimkan jiwa pada raga kosong kita, untuk mengisi dan membuat raga kosong ini menjadi bermakna, bukan lagi raga yang mati, tapi raga yang bergerak dan hidup. Tuhan menciptakan raga kita melalui hukum kausalitas (hukum biologis / proses reproduksi manusia), dan meng-ada-kan jiwa kita dengan proses penciptaan yang masih belum terjangkau akal manusia, lalu mengirimkannya pada raga kosong manusia.

 Bolehlah jika manusia mengatakan bahwa mereka tak mau menyembah Tuhan. No problem. Kekuasaan Tuhan tak akan berkurang sedikitpun karena keengganannya menyembah Tuhan. Itu merupakan kehendak bebas manusia untuk menentukan pilihannya untuk menyembah siapa. Atau bahkan memutuskan untuk tidak percaya dengan Tuhan (Atheisme).

Penyembahan "Tuhan" & Aksiologi Kehidupan

Makna kehidupan tentunya perlu untuk diraih oleh setiap manusia. Dan juga itu merupakan satu hal yang menjadi ciri khas dari manusia. Manusia memulai kehidupannya dengan pencarian aksiologi / nilai kehidupan. Bagaikan seorang manusia yang dikirimkan ke suatu hutan belantara yang asing. Ketidaktahuan dan kebingungan muncul satu per satu. Seperti skema dibawah ini :

a-5be99c2943322f385236f356.png
a-5be99c2943322f385236f356.png
Mungkin, para Atheis mengatakan bahwa kehidupan adalah sebagai proses alamiah belaka, tapi sebenarnya Tuhan adalah sebuah entitas absolut sekaligus pencipta kita, yang disana pasti membekali kita dengan sebuah misi. Analoginya, misalkan ketika kita "menciptakan" sebuah kursi dari kayu. Dalam benak kita, kita menginginkan bahwa kursi ini menjadi sebuah tempat untuk manusia duduk dan beristirahat. 

Pernyataan bahwa "kursi adalah tempat duduk dan beristirahat" merupakan misi / "jalan hidup" sebuah kursi. Mungkin karena yang dicontohkan adalah realitas yang sama dengan manusia, yaitu terbatas oleh dimensi ruang dan waktu, mungkin "misi"nya tak akan jauh dari kebutuhan manusia itu sendiri akan yang diciptakannya. Namun, pada prinsipnya, sama - sama memberikan "misi / aksiologi" atas apa yang diciptakannya.

Begitu pula Tuhan yang disana telah menciptakan manusia, pasti memiliki "misi" yang disana diberikan pada manusia untuk hidup di dunia. Mustahil ketika Tuhan menciptakan manusia tanpa sebuah misi. Karena logikanya, Tuhan tak mungkin main -- main dan bersenda gurau ketika menciptakan milyaran manusia. Dengan kecerdasan, keadilan, ke-absolut-an Tuhan, pasti ada sebuah aksiologi kehidupan yang disana ditujukan untuk manusia, agar manusia -- manusia itu tak terjebak dalam euforia kehidupan yang sia - sia. Pasti ada jalan hidup yang disana harus kita lalui untuk hidup yang disana bermakna dan mendapatkan makna kehidupan yang sejati.

Jalan hidup Tuhan itulah yang disebut "Agama". Kita mengenali banyak sekali "Agama" yang ada di dunia, yang masing - masing mengklaim bahwa "agama" mereka akan membawakan manusia akan aksiologi yang hakiki. Ini tinggal bagaimana manusia menyikapi jamak-nya "Agama". Kita sama - sama mengakui bahwa Tuhan telah menganugerahkan "akal" yang luar biasa hebatnya. Dan potensi dari akal memang tak pantas dianggap remeh. Sebagai manusia yang berakal, tentunya kita tau bahwa jalan hidup yang diberikan Tuhan pasti logis / masuk akal. Karena Tuhan, dengan keluarbiasaan-nya mustahil untuk memberikan jalan hidup yang irrasional dan konyol, maka itu tugas utama kita untuk mencari, memilah, membandingkan satu per satu "Agama" yang ada. Itulah fungsi hakiki dalam komparasi Agama.

Dan mungkin memang banyak Theis yang terlalu "fanatik" terhadap keyakinannya, dan enggan terbuka dan saling kritis, maka sebenarnya dia menutup diri dari hakikat aksiologi kehidupan. Sampai kapanpun dia tak akan menemukan makna sejati hidupnya.

 Semua yang disana berpangkal pada sebuah paradigma bahwa Theos / Tuhan memang eksisten, maka manusia tersebut akan mendapatkan sebuah kebermaknaan hidup, karena dia telah memecahkan misteri dunia dan menemukan tujuan hidup. Dan ketika dia menemukan sebuah tujuan kehidupan, maka tak bisa disangkal bahwa dia tak akan "mati konyol" selepas hidup dalam keadaan hampa dan kosong, bagaikan sungai yang mengalir, begitu pula kehidupan yang mengalir, mengikuti arus, tanpa mengetahui "Siapakah diriku?", "Mengapa aku disini?", "Mengapa aku hidup?". Sampai mati pun dia hanya akan menjumpai kekosongan jiwa, dan tak memahami betapa bermaknanya hidup yang diberikan oleh Tuhan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun