Tahun 2022 akan dikenang sebagai Piala Dunia paling memorable dengan segala kontroversi, keunikan, dan semua cerita di dalamnya. Bahkan sebelum panggung sepakbola termegah di dunia ini dimulai.
Mulai dari adanya isu 'permainan' uang ketika pemilihan Qatar 12 tahun lalu sebagai tuan rumah Piala Dunia kali ini, ditambah tidak siapnya fasilitas akomodasi penginapan untuk para kontestan Piala Dunia dan para pelancong. Hingga yang paling miris, meninggalnya ribuan pekerja migran ketika membangun semua infrastruktur untuk gelaran akbar ini.
Membuktikan bahwa penunjukan Qatar sebagai host turnamen empat tahunan ini terlalu dipaksakan.
Bahkan sebelum event ini dimulai muncul isu soal sogokan yang diberikan oleh pihak tuan rumah ke Tim Ekuador agar Qatar menang di laga pembuka mereka. Walau akhirnya sepertinya ini hanya isu miring mengingat Ekuador berhasil menekuk tim berjuluk Al-Annabi tersebut.
Belum lagi dengan digelarnya Piala Dunia 2022 ini ditengah kompetisi tiap negara masih berjalan, semakin menambah 'keunikan' kompetisi kasta tertinggi ini. Mengingat normalnya setiap negara kontestan setidaknya butuh 4-6 minggu persiapan sebelum turnamen digelar. Sedangkan kali ini, para pemain bahkan hanya memiliki kurang dari seminggu untuk mempersiapkan diri mereka di tengah padatnya kompetisi reguler.
But let's talk something more interesting (buset canggih banget saya). Kita kembali ke laptop si unyil.
Terlepas dari semua isu-isu basah dan kering di atas, persaingan di atas lapangan hijau di Piala Dunia kali ini sangatlah diluar nalar dan narasi yang seharusnya terjadi di ajang Piala Dunia. Loh kenapa gitu?
Mari kita mulai dengan keanehan pertama.Â
Dimulai dengan kekalahan tim sekelas Argentina yang berbekal rekor tak terkalahkan secara beruntun di 36 laga terakhir mereka oleh Arab Saudi, menjadi kejutan awal yang tidak pernah diprediksikan oleh para pendukung La Albiceleste.
Normalnya di atas kertas, Messi dkk seharusnya unggul di segala aspek ketika kontra Arab Saudi. Kecuali soal postur tubuh, pemain-pemain Arab ini tinggi-tinggi bener memang. Tarian Messi pun bisa diredam dengan keunggulan postur dan kegigihan anak asuh Herve Renard.
Argentina bisa dibilang sebagai korban pertama efek penyelenggaraan turnamen di tengah musim kompetisi seperti ini. Dengan waktu persiapan yang sangat mepet, dan dengan tersebarnya para penghuni skuad tim ber-peringkat 3 FIFA tersebut di kompetisi-kompetisi elit, tak ayal membuat mereka memiliki tantangan yang lebih sulit.
Dibandingkan dengan Arab Saudi yang mengandalkan para pemain dari kompetisi lokal mereka, sengaja mengalokasikan waktu selama dua bulan untuk mengadakan training camp khusus untuk persiapan Piala Dunia.
Tapi kemenangan Arab Saudi ini yang epik ini menjadi antiklimaks ketika negara yang pertama kali lolos ke Piala Dunia di tahun 1994 tersebut harus tumbang dari negara yang benderanya seperti bendera Indonesia terbalik, Polandia dengan skor 2-0.
Padahal selama pertandingan berjalan, Green Falcon berhasil menguasasi pertandingan sebanyak 64% penguasaan bola, berbanding 36% bola yang dikuasai Lewandowski cs. Belum lagi dengan 16 kali percobaan sepakan silaturahmi oleh bola yang dilesakkan oleh tim Arab Saudi ke arah gawang Wojciech Szczesny (ah susah bener namanya). Membuat siapapun tidak bisa menebak hasil akhir pertandingan.
Keanehan kedua.
Jerman yang masih menjadi unggulan di Piala Dunia Qatar ini malah bertekuk lutut di hadapan para Samurai Biru dengan skor 2-1. Bisa-bisanya negara yang memiliki Liga terbaik ke-dua di dunia ini kalah dari negeri Matahari Terbit.
Walau mungkin kita gak kaget-kaget amat jika kita mengingat ketika Jerman juga pernah dipermalukan oleh sang tetangga Jepang, Korea Selatan di Piala Dunia 2018 silam. Dan kita patut mengapresiasi perjuangan anak asuh Hajime Moriyasu tersebut yang tak kenal menyerah.
Tapi balik lagi, idealnya kita melihat Jerman dan Argentina ini menang mudah ketika melawan negara-negara medioker di level Piala Dunia. Idealnya ya, jika menilik ke data-data di atas kertas dan ranking FIFA saat ini.
Jepang berhasil meng-come back pasukan Der Panzer yang memanfaatkan peluang kecil ketika para bek Jerman meleng dan keasikan menggedor barisan pertahanan Jepang.
Lanjut ke keanehan dan kejutan selanjutnya.
Melihat ketidakmungkinan yang telah terjadi dari kasus Argentina dan Jerman, hal yang sama terjadi kepada Belgia yang saat ini berlabel tim kedua terbaik versi Ranking FIFA, yang dipermalukan Maroko Minggu malam kemarin dengan dua gol tanpa balas.
Padahal Kevin De Bruyne dkk memainkan 67% persen bola selama 95 menit pertandingan. Tapi dua gol berdarah dari Roman Saiss di menit 73 dan gol pemusnah asa sepakan Zakaria Aboukhiai di 2 menit tambahan waktu membuat posisi Belgia di klasemen grup F turun ke posisi tiga.
Kerusuhan pun terjadi di jalanan Brussels, Belgia pasca kekalahan tak dinyana tak diduga ini. Para supporter membakar mobil hasil luapan emosi mereka. Hingga polsek Brussels pun harus menembakan gas air mata yang dilempar balik oleh para supporter dan dibalas sautan polisi, cakeeeeeeep...!
Belgia pun mau tidak mau harus mengemas 3 poin ketika melawan Kroasia di partai pamungkas grup F nanti. Yang tentunya tidak akan mudah, sambil berharap Maroko terpeleset ketika menghadapi Kanada.
Maroko ini sebenarnya ngeri-ngeri sedap juga, ber-poin sama dengan Kroasia, mereka hanya kalah selisih gol saja dari Luka Modric cs. Sebuah anomali yang jarang terjadi di event sekaliber Piala Dunia yang membuat semua runtutan kejadian ini tampak salah. Hakim Ziyech dan Ahcraf Hakimi bisa dibilang sukses menggendong Singa Atlas sejauh ini.
Perancis di sisi lain malah bermain sangat stabil dengan mengantongi poin penuh di dua laga grup mereka. Padahal mereka digadang-gadang tidak memiliki banyak kans di putaran Piala Dunia edisi kali ini karena kehilangan beberapa pemain andalannya. Misal N'golo Kante dan Paul Pogba yang seharusnya menjadi metronom di lini tengah Les Blues malah dibekap cedera sebelum event dimulai.
Dan naas-nya, Sang Ballon d'Or Karim Benzema malah latah ikut-ikutan cedera tepat sebelum pembukaan Piala Dunia. Belum lagi ditambah deretan pemain-pemain kunci lainnya dengan masalah serupa yang tidak diboyong ke Qatar.
Dengan fenomena yang baru terjadi ini, saya berpendapat bahwa wajar jika gelaran Piala Dunia 2022 Qatar ini tidak lazim dan salah. Salah dalam arti semua semua ekspektasi yang sudah digaungkan selama ini bisa dipatahkan dengan mudah oleh realita di lapangan.
Tidak mungkin adalah dua kata yang kini berubah menjadi satu kata, mungkin.
Semua tim masih punya kesempatan untuk bisa melangkah lebih jauh, kecuali untuk Qatar dan Kanada yang bisa dipastikan pulang lebih cepat setelah menelan dua kekalahan beruntun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H