Mohon tunggu...
Muhamad Redho Al Faritzi
Muhamad Redho Al Faritzi Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Rangkai Kata, Lahirkan Makna

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep dan Budaya Tangan di Atas: Manifestasi Akhlak Nabi dalam Mengatasi Kemiskinan

26 Desember 2023   21:31 Diperbarui: 27 April 2024   06:55 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
attaqwafor.blogspot.com

Angka kemiskinan di Indonesia saat ini semakin meningkat. Pada September 2022, ditemukan 9,57% atau 26,36 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Tingkat kemiskinan sedikit meningkat dibandingkan Maret 2022 (9,54%) meski masih ada di bawah tingkat kemiskinan September 2021 (9,71%). Garis kemiskinan meningkat sebesar 5,95 persen menjadi Rp535.547 pada September 2022 dari Rp505.468 pada Maret 2022.[1]

Data di atas hanyalah data yang miskin harta. Penulis pun mengambil data kemiskinan yang ada di Indonesia hanya sebagai contoh saja. Betapa banyak dan terus meningkatnya kemiskinan. Dari tahun ke tahun, kemiskinan terus meningkat meski itu hanya beberapa persen saja. Namun, penulis mengajak agar kata miskin dipandang menggunakan kacamata Islam. Islam memandang bahwa miskin itu ada dua; miskin harta dan miskin hati. Kedua hal tersebut memiliki keadaan yang berbeda meski seringkali menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Pertama, ada orang yang miskin harta, namun tidak miskin hati. Dirinya selalu bersemangat untuk menjadi pekerja keras dalam mencari harta dengan tetap menggantungkan diri kepada Allah swt. Meski dirinya tidak memiliki banyak harta, dia selalu ada harta untuk berinfaq, membayar pendidikan anaknya, ataupun belanja kebutuhan rumah tangganya. Di mata orang lain mungkin saja dirinya terlihat miskin secara harta, namun sebenarnya ia adalah orang kaya karena selalu berbagi dan memberi. Karena dia percaya bahwa rezeki sudah di atur oleh Allah swt.

....

"Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga. Siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah-lah yang menuntaskan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah membuat ketentuan bagi setiap sesuatu."[2]

...

"Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit,..."[3]

            Kedua, demikian halnya ada juga orang yang kaya hartanya, tetapi miskin hatinya. Meski banyak harta, dirinya merasa berat untuk memberi dan berbagi. Itu dikarenakan adanya ketakutan hartanya habis atau berkurang ketika dibagikan.

Ketiga, ada juga orang-orang sudah miskin harta, miskin juga hatinya. Selalu meminta-minta dan pelit memberi. Tangannya selalu di bawah. Jika diberi dia bahagia, namun jika tidak diberi dia murka. Padahal Nabi saw sudah mengingatkan:

"Bukanlah kaya itu yang banyak harta, tetapi kaya itu adalah yang kaya hatinya".[4]

            Terkait hadits ini, Imam An-Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa gina an-nafs (kaya hati) itu maknanya ada dua; Pertama, qillah hirshiha (tidak rakus harta). Karena orang yang rakus harta akan selalu merasa kurang, akhirnya akan selalu miskin dan tidak pernah merasa kaya.[5] Kedua, al-istighna 'anin-nas wa 'amma fi aidihim; tidak butuh pemberian orang lain dan tidak tergiur dengan harta yang dimiliki orang lain.[6]

            Maka orang yang kaya harta namun dirinya selalu merasa kurang dan kikir dalam memberi, pada hakikatnya dirinya itu miskin. Mereka hanya kaya dalam gaya, namun miskin dalam sedekah. Apalagi orang yang sudah miskin harta, sulit memberi, dan senang meminta-minta, dirinya akan terus hidup dalam kesengsaraan  dan dihantui oleh kemiskinan. Mereka tidak mau kalah dengan gaya orang kaya. Padahal itu semua hanya akan semakin memperburuk penilaian mereka di mata orang-orang shalih dan orang-orang shalih pun enggan membantu mereka.

            Nabi saw pun selalu mencontohkan agar menjadi orang yang sederhana dan senang berderma. Bukan orang yang banyak gaya agar terlihat kaya dan meminta-meminta agar dikasihani banyak orang. Kesederhanaan Nabi digambarkan oleh salah satu sahabat Nabi, yaitu Anas bin malik.


 

Dari Anas ra ia berkata: "Nabi saw tidak pernah makan di atas hidangan mewah sampai meninggalnya. Dan tidak pernah beliau makan roti dari tepung halus sampai meninggalnya."[7]

Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan bahwa Hadits ini menunjukkan kesederhanaan Nabi dalam perihal makan. Beliau tidak pernah makan mewah atau makan di tempat-tempat  mewah. Ibnu Bathal juga menjelaskan bahwa Hadits ini jelas menunjukkan pilihan Nabi  untuk meninggalkan kemewahan dunia, meskipun Nabi  mampu membelinya.[8]

Sederhananya Nabi pun tidak membuatnya untuk pelit dalam memberi. Dalam satu peperangan, Nabi saw pernah memperoleh hamba sahaya cukup banyak. Ketika Fathimah ra meminta satu untuk dijadikan pembantu, Nabi saw menjawab:

"Demi Allah, aku tidak akan memberi kepada kalian berdua sementara aku membiarkan Ahlus-Shuffah (yang tinggal di shuffah; pelataran masjid) dalam keadaan perut kosong dan aku tidak punya sesuatu yang bisa aku nafkahkan kepada mereka. Maaf, aku akan jual para tawanan perang itu dan aku akan infaqkan hasilnya kepada Ahlus-Shuffah."[9]

Oleh karena itu, untuk mengatasi kemiskinan, Nabi saw sudah mengajarkan umatnya agar menjadi orang yang tangannya selalu di atas. Konsep "tangan di atas" ini Nabi jelaskan dalam sabdanya:

Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Tangan di atas adalah yang memberi/mengeluarkan infaq, sedang tangan di bawah adalah yang meminta.[10]

            Dalam hadits lain, Nabi menjelaskan bahwa orang yang mendapatkan harta dengan cara tidak meminta dan tidak ada nafsu harta, maka ia akan diberi barakah. Sedangkan orang yang meminta dan mengambilnya dengan memperlihatkan keinginan diri (bernafsu harta) maka tidak akan diberi barakah.

"Hai Hakim, sesungguhnya harta ini hijau dan manis. Siapa yang mengambilnya dengan kedermawanan hati (tidak ada nafsu harta), ia akan diberi barakah padanya. Dan siapa yang mengambilnya dengan memperlihatkan keinginan diri (untuk diberi atan bernafsu harta), ia tidak akan diberi barakah. Seperti orang yang makan dan tidak kunjung kenyang. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah."[11]

            Setelah Rasulullah menasihatkan itu kepada hakim, Hakim berkata : "Wahai Rasulullah, demi Yang mengutusmu dengan haq, saya tidak akan meminta lagi kepada seorang pun sesudahmu sampai aku meninggal dunia." Abu Bakar pernar memanggil Hakim untuk diberi bagian fai (harta rampasan musuh tanpa perang), tapi ia enggan menerima. Kemudian 'Umar juga memanggil Hakim untuk diberi bagian fai, tapi ia enggan menerimanya.[12] 'Umar pun berkata: "Aku meminta kalian jadi saksi, wahai kaum muslimin, bahwa aku sudah memberikan hak fai kepada Hakim tapi ia enggan mengambilnya." Hakim tidak pernah lagi meminta kepada seorang pun sesudah Rasulullah saw sampai meninggal dunia.[13]

            Tetapi bukan berarti ketika diberi orang lain harus menolak. Orang yang menerima tanpa ada rasa ingin diberi dan tidak meminta itu tidak termasuk orang yang tangannya di bawah seperti yang Nabi maksud. Hal ini pernah dialami oleh Umar bin Khatab,

 

Rasulullah saw pernah memberiku satu pemberian (hak amil zakat). Aku berkata: "Berikanlah kepada orang yang lebih miskin dariku." Jawab Nabi saw: "Terimalah. Jika datang kepadamu dari harta seperti ini, meskipun sedikit dan kamu tidak memperlihatkan diri ingin diberi atau meminta, terimalah. Apa yang tidak diberikan, maka janganlah kamu menginginkannya."[14]

Konsep dan Budaya "Tangan di atas" ini tiada lain adalah Filantropi Islam. Keduanya memiliki konsep dan tujuan yang sama. Tetapi kata Filantropi merupakan istilah baru dalam Islam.[15] Secara umum, filantropi adalah kegiatan sukarela yang dilakukan secara pribadi karena dimotivasi oleh upaya untuk memajukan kemaslahatan dan kebaikan bersama, atau dapat dikatakan sebagai kegiatan sukarela untuk kepentingan umum. Kemudian filantropi juga dapat diartikan sebagai pemberian, baik berwujud maupun tidak berwujud, yang tujuannya untuk menunjang kegiatan sosial tanpa mengharapkan imbalan apapun dari pemberinya.[16]

Makna dari istilah filantropi ini tentu sudah ada dalam islam sejak lama. Zakat, Infaq, Wakaf dan Sedekah, itu semua merupakan Filantropi dalam Islam. Islam itu sendiri mengenal dua dimensi utama hubugan, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia. Maka Filantropi Islam ini adalah hubungan antara manusia dengan manusia.[17]

Ketika semua orang telah memandang miskin itu dari kacamata islam dan menjadikan konsep "tangan di atas" sebagai budaya di masyarakat, maka miskin harta bukanlah masalah yang terlalu signifikan. 

Data yang dipaparkan di atas hanyalah miskin harta yang bentuknya duniawi. Miskin akan teratasi dengan diri yang selalu merasa cukup dan bersyukur atas apa yang diberikan oleh-Nya. Bahkan hal itu mampu menjadikan miskin yang berkualitas dan mulia.

Budaya "tangan di atas" ini mampu menjadikan diri mulia dan memuliakan manusia yang lainnya. Saling menolong dan membantu dalam harta, sehingga bisa saling melengkapi. Orang kaya menjadi orang yang mulia karena harta yang dibagikannya, orang miskin menjadi mulia juga karena dirinya yang tidak pernah meminta-minta. Karena harta yang sesungguhnya adalah harta yang diinfaqkan, bukan apa yang dimakan dan dipakai oleh diri sendiri.

"Seorang hamba berkata: "Ini adalah hartaku, hartaku." Padahal harta yang ia miliki itu hanya tiga saja: Apa yang dimakan lalu habis, apa yang dipakai lalu rusak, atau apa yang didermakan lalu menjadi bekal yang cukup. Selebihnya dari itu akan habis dan ditinggalkan untuk orang lain."[18]

Budaya "tangan di atas" ini juga merupakan salah satu cara menghilangkan sifat kikir dalam diri. Budaya ini sangat ditekankan bagi orang kaya, karena terkadang semakin bertambah harta semakin bertambah pula sifat kikir di dalam dirinya. Mereka tidak akan pernah bahagia karena dalam hidupnya mereka senantiasa berada dalam ketakutan dan kedengkian. Ketakutan akan hartanya yang tak kunjung tiba juga gelisah hartanya akan habis dan berkurang. Padahal Rasulullah saw sudah mengingatkan bahwa dengan sedekah, harta tidak akan berkurang.

:

"Ada tiga hal yang aku bersumpah untuk ketiganya dan aku sampaikan satu hadits lain, maka ingatlah." Beliau bersabda: "Tidak akan berkurang harta seorang hamba karena sedekah, tidaklah seorang hamba dizhalimi satu kezhaliman lalu ia bersabar atasnya melainkan Allah akan menambah kemuliaannya, dan tidaklah seorang hamba membuka pintu meminta (kepada orang lain) melainkan Allah akan membukakan untuknya pintu kefakiran."[19]

Makna hadits ini adalah bahwa orang kaya jangan merasa berat untuk sedekah, karena dengan sedekah harta tidak akan berkurang. Begitu pula dengan orang miskin, dengan sedekah tidak akan membuat dirinya menjadi tambah miskin. Orang miskin yang mulia adalah dengan tetap mampu berinfaq meski dirinya tidak memiliki banyak harta. Miskin harta bukan berarti membuat diri menjadi senang meminta-minta, karena justru dengan meminta-minta itu akan menjadikannya tambah miskin.

Kedengkian di dalam diri orang yang kikir akan membuat dirinya enggan berbagi perasaan bahagia dan melihat orang lain bahagia. Mereka hanya ingin diri merekalah yang sukses dan bahagia. Mereka tidak akan terima jika ada yang lebih sukses dan bahagia dari dirinya. Dalam hal ini Allah swt berfirman :

Nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung."[20]

            Ayat ini jelas memberitahukan bahwa jika ingin terbebas dari sifat kikir maka bersedekahlah. Secara tidak langsung juga ayat ini menyampaikan bahwa orang-orang yang beruntung atau bahagia adalah mereka yang senantiasa bersedekah dan terjauh dari sifat kikir. Untuk orang kaya, tidak baik harta yang melebihi kebutuhan pokok disimpan dan ditumpuk tanpa disumbangkan untuk mereka yang membutuhkan. Membeli emas, tanah, rumah atau harta lainnya, semua itu hanya menambah kekayaan dunia, hanya menambah tingkat kesengsaraan. Berikanlah kepada fakir miskin atau fi sabilil-'Llah yang mungkin lebih membutuhkan. Masih banyak orang miskin yang berjuang mencari uang untuk makan atau bekerja keras hanya untuk menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Banyak juga orang miskin yang tidak memiliki mobil atau rumah. Setidaknya disalurkan dalam bentuk bantuan pinjaman atau biasa disebut Al-Ma'un.[21]

Penutup

            Oleh karena itu, budaya "tangan di atas" adalah budaya yang harus dilestarikan dan diajarkan kepada generasi-generasi muslim selanjutnya. Membiasakan budaya ini bukanlah suatu hal yang mudah kecuali ada keimanan di dalam diri. Iman kepada Allah berarti percaya terhadap takdir-takdir-Nya, percaya terhadap rezeki yang Allah sudah atur seluruhnya. Ragu, takut, dan khawatir terhadap rezeki berarti dirinya tidak Iman kepada Allah swt. Karena ketakutan-ketakutan itu keluar tiada lain dari sifat kikir yang tidak pernah berusaha untuk dihilangkan dalam diri. 

        Maksud kemiskinan dalam tulisan ini pun bukanlah kemiskinan secara hakiki atau miskin harta duniawi, melainkan kemiskinan hati. Kemiskinan hati inilah yang menyebabkan miskin harta menjadi suatu hal yang signifikan dan ditakutkan. Padahal ketika hati sudah kaya, maka miskin harta tidaklah menjadi soal. Miskin harta, namun kaya hati itu baik. Kaya harta dan kaya hati itu jauh lebih baik. Karena penyakit kikir tidak muncul dalam diri orang kaya saja, namun orang miskin juga bisa terkena penyakitnya. Maka bebaskanlah diri dari sifat kikir dengan membiasakan dan menjalankan budaya "tangan di atas" yang telah Nabi ajarkan dari sejak lama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun