Mohon tunggu...
Muhamad Redho Al Faritzi
Muhamad Redho Al Faritzi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa - Pengajar Madrasah - Anggota Media Dakwah Digital

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep dan Budaya Tangan di Atas: Manifestasi Akhlak Nabi dalam Mengatasi Kemiskinan

26 Desember 2023   21:31 Diperbarui: 27 April 2024   06:55 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
attaqwafor.blogspot.com

            Terkait hadits ini, Imam An-Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa gina an-nafs (kaya hati) itu maknanya ada dua; Pertama, qillah hirshiha (tidak rakus harta). Karena orang yang rakus harta akan selalu merasa kurang, akhirnya akan selalu miskin dan tidak pernah merasa kaya.[5] Kedua, al-istighna 'anin-nas wa 'amma fi aidihim; tidak butuh pemberian orang lain dan tidak tergiur dengan harta yang dimiliki orang lain.[6]

            Maka orang yang kaya harta namun dirinya selalu merasa kurang dan kikir dalam memberi, pada hakikatnya dirinya itu miskin. Mereka hanya kaya dalam gaya, namun miskin dalam sedekah. Apalagi orang yang sudah miskin harta, sulit memberi, dan senang meminta-minta, dirinya akan terus hidup dalam kesengsaraan  dan dihantui oleh kemiskinan. Mereka tidak mau kalah dengan gaya orang kaya. Padahal itu semua hanya akan semakin memperburuk penilaian mereka di mata orang-orang shalih dan orang-orang shalih pun enggan membantu mereka.

            Nabi saw pun selalu mencontohkan agar menjadi orang yang sederhana dan senang berderma. Bukan orang yang banyak gaya agar terlihat kaya dan meminta-meminta agar dikasihani banyak orang. Kesederhanaan Nabi digambarkan oleh salah satu sahabat Nabi, yaitu Anas bin malik.


 

Dari Anas ra ia berkata: "Nabi saw tidak pernah makan di atas hidangan mewah sampai meninggalnya. Dan tidak pernah beliau makan roti dari tepung halus sampai meninggalnya."[7]

Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan bahwa Hadits ini menunjukkan kesederhanaan Nabi dalam perihal makan. Beliau tidak pernah makan mewah atau makan di tempat-tempat  mewah. Ibnu Bathal juga menjelaskan bahwa Hadits ini jelas menunjukkan pilihan Nabi  untuk meninggalkan kemewahan dunia, meskipun Nabi  mampu membelinya.[8]

Sederhananya Nabi pun tidak membuatnya untuk pelit dalam memberi. Dalam satu peperangan, Nabi saw pernah memperoleh hamba sahaya cukup banyak. Ketika Fathimah ra meminta satu untuk dijadikan pembantu, Nabi saw menjawab:

"Demi Allah, aku tidak akan memberi kepada kalian berdua sementara aku membiarkan Ahlus-Shuffah (yang tinggal di shuffah; pelataran masjid) dalam keadaan perut kosong dan aku tidak punya sesuatu yang bisa aku nafkahkan kepada mereka. Maaf, aku akan jual para tawanan perang itu dan aku akan infaqkan hasilnya kepada Ahlus-Shuffah."[9]

Oleh karena itu, untuk mengatasi kemiskinan, Nabi saw sudah mengajarkan umatnya agar menjadi orang yang tangannya selalu di atas. Konsep "tangan di atas" ini Nabi jelaskan dalam sabdanya:

Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Tangan di atas adalah yang memberi/mengeluarkan infaq, sedang tangan di bawah adalah yang meminta.[10]

            Dalam hadits lain, Nabi menjelaskan bahwa orang yang mendapatkan harta dengan cara tidak meminta dan tidak ada nafsu harta, maka ia akan diberi barakah. Sedangkan orang yang meminta dan mengambilnya dengan memperlihatkan keinginan diri (bernafsu harta) maka tidak akan diberi barakah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun