Mohon tunggu...
Pakde Amin
Pakde Amin Mohon Tunggu... Penulis - Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Belajar menikmati dan memaknai kehidupan melalui kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Humor Sufi: Menggugat Sang Pencipta?

11 Februari 2022   21:48 Diperbarui: 11 Februari 2022   21:49 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah cerita mengawali tulisan ini.  Ada seorang raja yang menyuruh abdinya untuk melakukan perjalanan ke suatu tempat yang lebih indah dibandingkan dengan tempat tinggalnya sekarang.  Perintah raja kepada seorang abdi ini ditawahrkan kepada semua abdi yang mau untuk melakukannya. 

Perintah ini pun tidak sekedar sebuah tugas yang sekedar perjalanan dan tanpa jaminan dari raja bahwa abdi akan sampai ditempat tujuan.  Maka dilengkapi dengan bekal yang cukup dan buku panduan perjalanan agar abdi tidak tersesat diperjalanan dan mudah untuk mencapai tujuan.

Bekal yang cukup diperjalanan inipun adalah pasti dalam jaminan dan kepastian yang diberikan. Namun karena ketidaktahuan abdi akibat dangkalnya pemahaman yang dimiliki maka banyak permintaan yang diberikan oleh abdi karena sifat kekhawatiran yang dimilikinya.  Permintaan yang disampaikan adalah bentuk fasilitas agar dirinya nyaman dalam perjalanan dengan terhindar dari hal-hal yang menjadi bebannya.

Sebagai raja yang bijaksana dirinya tetap memantau dan memberikan alat/waktu untuk berkomunikasi dengan abdi melalui berbagai sarana.  Namun komunikasi yang seharusnya adalah bentuk laporan dan pertanyaan tentang arah perjalanan yang benar malah didominasi dengan keluh kesah atas beban yang dipikulnya dalam perjalanan.  Maka tidak salah jika raja tidak selalu mengabulkan seluruh permintaan abdi karena bekal perjalanan sudah dirasa cukup untuk bermusafir mencapai tempat yang dituju.  

Dan raja pun juga memprediksi bahwa sang abdi malas untuk membuka buku panduan perjalanan karena kebodohan akibat mudahnya dirinya menggantungkan informasi kepada orang yang ditemui di perjalanan. Maka tidak heran nantinya banyak abdi yang melakukan perjalanan tersebut gagal mencapai tujuan.  Kegagalan ini akibat banyaknya abdi yang tersesat ataupun lupa bahwa  dirinya berjalan adalah memiliki visi tertentu dengan jaminan bekal yang pasti.

Cerita tersebut adalah sebuah pembelajaran kepada diri kita dalam hidup di dunia ini.   Kehidupan ini bukanlah hanya sekedar hidup yang hidup bebas tanpa memiliki tujuan.  Dan dalam kehidupan inipun diri kita sebetulnya sudah dibekali dengan bekal untuk kehidupan didunia yang cukup jika fokus pada tujuan.  

Bekal yang diberikan oleh Sang Pencipta bukan seperti harta karun yang diberikan dan disiapkan seperti uang saku perjalanan.  Melainkan dalam bentuk hal yang harus diperjuangkan dalam kehidupan di dunia.  Maka tidak heran ketika perjuangan mencari bekal diri kita akan mengalami kekeringan karena jauh dari sumber bekal dan mengalami posisi basah karena dekat dengan sumbernya.

Keluh kesah dan kekhawatiran diri sering mendominasi melakukan aktivitas kehidupan ini.  Dan hal ini dianggap sebagai sebuah hal yang biasa dan lumrah untuk dilakukan.  Namun aktivitas tersebut yang dilakukan seringkali merupakan cerminan dari sebuah perasaan atas  ketidakterimaan atau keengganan diri dalam menerima realita kehidupan di dunia ini.

Sebagai sebuah ilustrasi ketika diri kita di hampiri dengan situasi ibarat "kemarau" dengan kondisi ekonomi yang kekurangan dan diikuti dengan kebutuhan yang banyak.  Maka pasti diri kita akan berdoa agar segera ditemukan jalan keluar atau dihilangkan "kemarau" tersebut sehingga mampu mencukupi kebutuhan yang ada.

Ketidak sukaan diri menjalani "kemarau" yang menjadikan beban kehidupan yang serba sulit ini menjadikan diri seperti manusia yang tersiksa dalam hidupnya.  Padahal ketika diri dalam kondisi "basah" apakah diri pernah berdoa agar kondisi tersebut dipercepat.  Padahal antara "kemarau" dan "basah" adalah sebuah keseimbangan yang harus dijalani oleh manusia agar mampu mengenal diri dan Sang Pencipta.

Fenomena tersebut sebagai contoh adalah bagaimana diri kita selalu berkomunikasi hanya untuk meminta sesuatu kepada Sang Pencipta atas peristiwa yang kurang membahagiakan dalam kehidupan. Namun di kala diri kita penuh dengan kesenangan diri tidak memintanya dan lupa untuk berkomunikasi.  

Komunikasi yang didominasi dengan bentuk permintaan kepada Sang Pencipta yang biasa disebut dengan doa dilakukan agar diri terbebas atau keluar dari peristiwa yang membebani dalam perjalanan di kehidupan ini.  Memang tidak salah ketika diri kita berdoa dan mungkin tidak dilarang dalam Ajaran, karena berdoa adalah ujud  abdi dalam berkomunikasi menyampaikan berita perjalanan dan bukan sebuah bentuk keluh kesah dan ratapan diri kepada Sang Pencipta.  

Namun ketika melakukan semua ratapan seharusnya bukan sebuah bentuk "penggugatan kepada Sang Pencipta" karena dihadapkan dengan sesuatu yang "tidak enak" dan harus dijalani.   Tapi karena pemahaman yang dimiliki diri kita di dominasi dengan pengetahuan yang sebatas itu maka bentuk komunikasi yang seharusnya terjadi antara diri kita dengan Sang Pencipta berubah makna dan hakekatnya.

Doa wujud keseimbangan

Rasionalitas dan logika manusia mungkin berpikir menyampaikan doa adalah wujud sebuah komunikasi diri  dengan Sang Pencipta.  Doa bertujuan agar diri kita dipermudah dan diberi jalan yang terbaik dalam menjalani sebuah kehidupan di dunia ini.  Namun kadang kala ungkapan doa yang disampaikan adalah bentuk penggugatan diri terhadap Sang Pencipta.

Mengapa doa dikatakan sebagai bentuk penggugatan diri kepada Sang Pencipta?  Karena kandungan dari doa merupakan upaya diri agar terlepas dari peristiwa tidak enak yang sedang dialami supaya dipercepat untuk keluar dari hal tersebut.  Sehingga kata kata tersebut bukan sebuah bentuk komunikasi melainkan bentuk ketidakterimaan atas sesuatu yang memang harus dijalani.

Perbuatan ini akibat diri tidak pernah mau memahami makna penciptaan sebagai makhluk yang sempurna.  Dikatakan sebagai makhluk yang sempurna karena diri kita memiliki indra, Raga (Ruhani dan jasmani), bekal dan Buku Panduan Perjalanan yang komplit untuk perjalanan di dunia ini.  

Hal hal ini diberikan dalam bentuk keseimbangan kehidupan yang harus dijaga dan dilaksanakan dalam perjalanan kehidupan di dunia ini.  Akibatnya di dalam perjalanan di dunia ini selalu menemukan pasangan-pasangan untuk menjaga keseimbangan alam semesta.  

"Peristiwa yang tidak enak" merupakan pasangan dari "peristiwa yang enak" dan dua hal tersebut adalah bentuk keseimbangan kehidupan agar diri mampu berjalan dengan lurus di kehidupan di dunia.  Maka ketika menghadapi ketidakenakan tersebut bukan meminta untuk dipercepat atau dipersingkat namun sebagai manusia diri harus menghadapi dan menjalani dengan penuh keikhlasan untuk mencapai titik keseimbangan.

Menjauhi Sifat Menggugat Sang Pencipta

Pemahaman umum yang terjadi adalah kebiasaan diri yang selalu menyampaikan penyingkatan waktu atau diringankan atas "ketidakenakan" akibat peritiwa yang kering tersebut dan dianggap sebagai bekal dalam kehidupan di dunia ini.  Pemahaman ini hal yang biasa akibat diri selalu berorientasi pada fisik/materi semata.

Padahal seharusnya pemahaman yang menjadi basis dari pengetahuan seharusnya selalu menyertakan dua hal yaitu hal yang bersifat fisik /material dan non fisik/spriritual/religuitas.  Hasil dari pemahaman yang komplit ini akan menimbulkan pengetahuan yang selalu mengedepankan keseimbangan kehidupan.

Ketidakenakan secara fisik  akan memberikan keenakan secara non fisik dengan munculnya diri manusia yang dapat mengelola rasa kesabaran, kesadaran dan keiklhlasan.  Output yang didapatkan adalah hadirnya rasa kebahagiaan akibat rasa syukur atas kondisi yang diterima dari ketidakenakan tersebut.

Pembelajaran ketidakenakan bukan dengan menggugat agar diri dibebaskan dari kondisi tersebut namun dengan mencari pengetahuan atau hikmah yang terdapat dari peristiwa tersebut.    Kesadaran ini muncul ketika diri tetap berpegang pada peta perjalanan yang didalamnya penuh hikmah bagi yang mampu menangkap makna atas kejadian dan merupakan petunjuk untuk bermusafir.

Diri akan dapat mencapai kondisi seperti ini ketika diri bertindak tidak seperti manusia yang berkaca mata kuda melainkan mampu membuka mata yang lebar untuk membaca ilmu-ilmu yang disediakan oleh Sang Pencipta dan membuka telinga yang tajam untuk mendengarkan ajakan-ajakan yang membawa kepada kebenaran.

Sifat menggugat adalah bukan sifat asli seorang manusia yang sempurna.  Karena sifat manusia yang berasal dari tanah secara kodrati adalah mampu dan tangguh dalam menghadapi musim-musim yang ada di dunia ini serta mampu beradaptasi di tengahnya. 

Ketika diri mampu dan memiliki kesadaran tersebut maka  ujian sebesar apapun (kekekeringan atau kebasahan) bukan menjadikan diri lupa dengan hakekat sebagai manusia.  Sifat adaptif tanah yang mampu menampung air dan mampu bertahan di tengah kekeringan adalah kodrati yang harus selalu menjadi pegangan dalam bermusyafir.

Hanya sekedar humor sufi, jika ada kekeliruan dalam pemahaman adalah khasanah dari ciptaan Sang Pencipta.

Hari ini kulihat matahari... Malu melihat diri yang hina ini... Panas terik tak membuat diri berlari.. Berputus asa menggugat Sang Khalik.
Hari ini ku terima tetes air dari langit... Menangis melihat diri yang hina ini... Derasnya guyuran tak membuat goyah prinsip... Berlari mengadu kepada Sang Pemberi

Salam, KAS

Magelang, 11/2/2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun