Sebuah cerita mengawali tulisan ini. Â Ada seorang raja yang menyuruh abdinya untuk melakukan perjalanan ke suatu tempat yang lebih indah dibandingkan dengan tempat tinggalnya sekarang. Â Perintah raja kepada seorang abdi ini ditawahrkan kepada semua abdi yang mau untuk melakukannya.Â
Perintah ini pun tidak sekedar sebuah tugas yang sekedar perjalanan dan tanpa jaminan dari raja bahwa abdi akan sampai ditempat tujuan. Â Maka dilengkapi dengan bekal yang cukup dan buku panduan perjalanan agar abdi tidak tersesat diperjalanan dan mudah untuk mencapai tujuan.
Bekal yang cukup diperjalanan inipun adalah pasti dalam jaminan dan kepastian yang diberikan. Namun karena ketidaktahuan abdi akibat dangkalnya pemahaman yang dimiliki maka banyak permintaan yang diberikan oleh abdi karena sifat kekhawatiran yang dimilikinya. Â Permintaan yang disampaikan adalah bentuk fasilitas agar dirinya nyaman dalam perjalanan dengan terhindar dari hal-hal yang menjadi bebannya.
Sebagai raja yang bijaksana dirinya tetap memantau dan memberikan alat/waktu untuk berkomunikasi dengan abdi melalui berbagai sarana. Â Namun komunikasi yang seharusnya adalah bentuk laporan dan pertanyaan tentang arah perjalanan yang benar malah didominasi dengan keluh kesah atas beban yang dipikulnya dalam perjalanan. Â Maka tidak salah jika raja tidak selalu mengabulkan seluruh permintaan abdi karena bekal perjalanan sudah dirasa cukup untuk bermusafir mencapai tempat yang dituju. Â
Dan raja pun juga memprediksi bahwa sang abdi malas untuk membuka buku panduan perjalanan karena kebodohan akibat mudahnya dirinya menggantungkan informasi kepada orang yang ditemui di perjalanan. Maka tidak heran nantinya banyak abdi yang melakukan perjalanan tersebut gagal mencapai tujuan.  Kegagalan ini akibat banyaknya abdi yang tersesat ataupun lupa bahwa  dirinya berjalan adalah memiliki visi tertentu dengan jaminan bekal yang pasti.
Cerita tersebut adalah sebuah pembelajaran kepada diri kita dalam hidup di dunia ini. Â Kehidupan ini bukanlah hanya sekedar hidup yang hidup bebas tanpa memiliki tujuan. Â Dan dalam kehidupan inipun diri kita sebetulnya sudah dibekali dengan bekal untuk kehidupan didunia yang cukup jika fokus pada tujuan. Â
Bekal yang diberikan oleh Sang Pencipta bukan seperti harta karun yang diberikan dan disiapkan seperti uang saku perjalanan. Â Melainkan dalam bentuk hal yang harus diperjuangkan dalam kehidupan di dunia. Â Maka tidak heran ketika perjuangan mencari bekal diri kita akan mengalami kekeringan karena jauh dari sumber bekal dan mengalami posisi basah karena dekat dengan sumbernya.
Keluh kesah dan kekhawatiran diri sering mendominasi melakukan aktivitas kehidupan ini.  Dan hal ini dianggap sebagai sebuah hal yang biasa dan lumrah untuk dilakukan.  Namun aktivitas tersebut yang dilakukan seringkali merupakan cerminan dari sebuah perasaan atas  ketidakterimaan atau keengganan diri dalam menerima realita kehidupan di dunia ini.
Sebagai sebuah ilustrasi ketika diri kita di hampiri dengan situasi ibarat "kemarau" dengan kondisi ekonomi yang kekurangan dan diikuti dengan kebutuhan yang banyak. Â Maka pasti diri kita akan berdoa agar segera ditemukan jalan keluar atau dihilangkan "kemarau" tersebut sehingga mampu mencukupi kebutuhan yang ada.
Ketidak sukaan diri menjalani "kemarau" yang menjadikan beban kehidupan yang serba sulit ini menjadikan diri seperti manusia yang tersiksa dalam hidupnya. Â Padahal ketika diri dalam kondisi "basah" apakah diri pernah berdoa agar kondisi tersebut dipercepat. Â Padahal antara "kemarau" dan "basah" adalah sebuah keseimbangan yang harus dijalani oleh manusia agar mampu mengenal diri dan Sang Pencipta.
Fenomena tersebut sebagai contoh adalah bagaimana diri kita selalu berkomunikasi hanya untuk meminta sesuatu kepada Sang Pencipta atas peristiwa yang kurang membahagiakan dalam kehidupan. Namun di kala diri kita penuh dengan kesenangan diri tidak memintanya dan lupa untuk berkomunikasi. Â