Jadi berpuasa bukan hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban, mencari pahala, menyambung silaturahmi tapi juga untuk memahamkan kepada kita bahwa makna puasa itu untuk mengingat dan merenungkan kasih sayang Beliau kepada hamba-Nya. Makanya dalam bulan puasa kita dilarang sombong, ujub, angkuh dll kebodohan yang selalu menjadi sandangan kita.
Nafsu yang menggelegak kadang menjadi panutan dan kita jadikan guru dalam berfikir, bertindak, bernegosiasi, padahal hanya menipu. Coba lihatlah sekarang, bulan puasa ini mall-mall ramai, pasar penuh sesak lautan manusia yang berbelanja memenuhi kebutuhan nafsu belanjanya. Lalu dimana fungsi menahan nafsu itu.
Kan mestinya dibulan menahan nafsu ini, kita malah lebih irit. Toh kebutuhan makan kita tak seberapa. Setelah berbuka puasa, shalat tarawih kemudian tidur, makan sahur pun tak seberapa banyak.
Tak banyak aktifitaslah dimeja makan.
Tapi kenyataannya semangat menghabiskan tabungan lebih besar dari hari-hari biasa, modal tak cukup pegadaian pun jadi pilihan utama. Setan-setan kredit alias rentenir pun lebih semangat menawarkan jasa. Cukong-cukong makin kaya dan setelah lebaran kita pun pusing menghitung tumpukan utang dan kewalahan menerima tagihan tukang kredit yang menggunung. Sedangkan cukong, sumringah menghitung laba.
Kawan. Itu adalah bukti bahwa nafsu itu kalau tidak di ajar dan di atur dengan baik maka akan selalu menggiring kita dalam kesedihan. Tumpah ruah manusia dipasar membuktikan bahwa nafsu itu mengamuk jika ditahan. Hati-hati.
Yuk, mari kita saling mengingatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H