Bu Inah menatap Rini dengan penuh keheranan. "Kenapa, Nak?"
Rini menggenggam tangan ibunya. "Karena Ibu adalah wanita yang kuat dan berani," katanya. "Ibu sudah kehilangan suami tercinta, tapi Ibu tetap tegar dan berjuang untuk membesarkan Rini. Ibu selalu ada untuk Rini, baik di saat senang maupun susah. Ibu adalah sosok panutan bagi Rini."
Bu Inah tersenyum. "Terima kasih, Nak. Kata-katamu membuat Ibu merasa lebih baik."
Rini memeluk ibunya kembali. "Ibu enggak usah malu," katanya. "Ibu adalah wanita yang hebat."
Bu Inah memeluk Rini erat-erat. Ia merasa sangat bersyukur memiliki anak seperti Rini. Rini adalah anak yang baik dan penuh kasih sayang. Ia selalu ada untuk ibunya, baik di saat senang maupun susah.
Hari-hari pun berlalu. Bu Inah dan Rini tetap hidup bahagia bersama. Bu Inah tidak pernah lagi malu dengan kondisinya. Ia tahu bahwa ia adalah wanita yang kuat dan berani. Ia memiliki anak yang baik dan penuh kasih sayang. Itu sudah lebih dari cukup baginya.**
Suatu hari, Bu Inah dan Rini sedang berjalan-jalan di taman kota. Tiba-tiba, mereka bertemu dengan seorang pria paruh baya. Pria itu adalah tetangga mereka yang bernama Pak Budi.**
"Eh, Bu Inah," sapa Pak Budi. "Lama enggak ketemu."
Bu Inah tersenyum. "Iya, Pak. Lama juga enggak ketemu."
Pak Budi menatap Rini dengan kagum. "Eh, ini siapa, Bu?"
"Ini anak saya, Rini," jawab Bu Inah.