Rini menatap ibunya dengan penuh tanya. "Kenapa, Bu?"
Bu Inah tersenyum pahit. "Ingat waktu Bapak meninggal? Ibu naik motor membonceng Bapak. Tiba-tiba ada mobil yang menyalip dari arah berlawanan. Bapak jatuh dan terluka parah. Ibu enggak bisa ngapa-ngapain. Ibu cuma bisa nangis dan memohon pertolongan."
Rini memeluk ibunya. "Ibu jangan sedih," katanya. "Bapak pasti enggak mau Ibu sedih."
Bu Inah mengusap air matanya. "Iya, Ibu tahu. Tapi Ibu masih belum bisa melupakan kejadian itu. Ibu takut kalau suatu hari nanti Ibu juga mengalami kecelakaan."
Rini mengangguk. "Ibu tenang aja, Bu. Rini akan selalu menjaga Ibu."
Bu Inah tersenyum. "Terima kasih, Nak."
Rini membantu ibunya membawa barang belanjaan. Setelah itu, mereka berdua duduk di teras rumah untuk beristirahat.**
"Rini," kata Bu Inah. "Apa Ibu malu punya kawan seperti Ibu?"
Rini terkejut. "Kenapa Ibu bilang gitu?"
Bu Inah menundukkan kepala. "Kemarin, Bapak lihat Ibu pulang sekolah naik sepeda. Ibu yakin Bapak pasti malu punya kawan seperti Ibu."
Rini tersenyum. "Enggak, Bu. Ibu enggak malu. Rini bangga punya Ibu."