Malam itu, suasana di rumah terasa lebih hening dari biasanya. Lis duduk di ruang keluarga, jantungnya berdebar kencang, dan tangannya berkeringat dingin. Di seberang meja, Bu Siti—ibunya, dan Pak Mino—ayahnya, duduk dengan tenang, tidak menyadari badai emosi yang sedang berkecamuk dalam dirinya. Mereka berbicara tentang hal-hal yang hari itu terjadi, tetapi Lis hampir tidak mendengar isi pembicaraannya. Pikirannya terus berputar-putar, memikirkan dokumen yang tadi siang ia temukan.
Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, Lis memberanikan diri untuk bicara. Suaranya hampir tidak keluar saat ia mulai berbicara, "Bu... Ayah... aku ingin menanyakan sesuatu."
Ibu dan ayahnya segera menghentikan percakapan mereka, menatap Lis dengan penuh perhatian. Melihat kedua pasang mata yang begitu familiar itu, Lis sempat merasa ada dorongan kuat untuk mundur, takut rasanya jika nantinya pertanyaannya membuat senyum tulus memudar. Tapi, ia tahu ini adalah saatnya.
"Tadi... ada pegawai kelurahan yang datang, minta Kartu Keluarga. Aku mencarinya di lemari, dan..." Lis terdiam sejenak, suaranya tertahan oleh emosi. "Aku menemukan dokumen lain... yang menunjukkan bahwa aku... bukan anak kandung kalian."
Ruangan mendadak terasa sunyi. Bu Siti dan suaminya saling berpandangan, dan wajah mereka langsung berubah. Lis bisa melihat ekspresi terkejut dan cemas yang jelas tergambar di wajah mereka. Melihat itu, hatinya terasa seperti diremas. Meski begitu, ia menguatkan diri untuk melanjutkan, "Kenapa kalian tidak pernah memberitahuku? Kenapa aku harus mengetahui ini dari kertas-kertas itu?"
Perasaan bingung, terluka, dan bahkan sedikit marah bercampur aduk di dalam hatinya. Air mata pun mulai menggenang di mata Lis, tapi ia berusaha menahannya. Ia merasa seolah-olah seluruh dunia yang ia kenal berubah dalam sekejap, dan sekarang ia berdiri di atas tanah yang goyah.
Bu Siti menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum berbicara. "Lis... Maafkan kami," suaranya bergetar, penuh dengan penyesalan. "Kami selalu berencana untuk memberitahumu.... Tapi, kami tidak pernah menemukan waktu yang tepat. Kami takut... takut kalau kamu akan merasa berbeda, atau terluka...."
Lis mendengarkan dengan perasaan campur aduk. Bagian dari dirinya memahami ketakutan Bu Siti dan suaminya. Tapi sisi dirinya yang lain merasa sakit karena rahasia ini disembunyikan begitu lama. "Tapi aku merasa bingung sekarang, Bu, Ayah. Aku tidak tahu harus bagaimana... semua ini terasa begitu asing...."
Pak Mino menatap Lis dengan penuh kasih, lalu berkata dengan suara yang lembut tetapi tegas, "Lis, dari pertama kali kami melihatmu, kami tahu bahwa kami ingin kamu menjadi bagian dari keluarga ini. Kami mencintaimu seperti anak kami sendiri, dan tidak ada yang bisa mengubah itu."
Mendengar kata-kata itu, air mata Lis akhirnya tumpah. Ia merasa terbawa oleh perasaan lega dan sedih yang bersamaan. Lega karena mereka masih mencintainya seperti yang selalu ia rasakan, tetapi juga sedih karena fakta itu tidak dikatakan lebih awal.
Bu Siti berdiri dan berjalan mendekatinya, memeluknya erat. "Kami sangat menyesal, Lis. Kami hanya ingin melindungimu. Tapi kami sadar, kami seharusnya lebih jujur sejak awal."
Dalam pelukan ibunya, Lis akhirnya menangis, melepaskan semua emosi yang ia pendam sejak siang tadi. Di tengah tangisannya, ia merasakan cinta yang tulus dari kedua orang tuanya, cinta yang tidak tergoyahkan untuknya meski ia bukan darah dagingnya. Namun, perasaan itu masih bercampur dengan kebingungan dan pertanyaan yang belum terjawab sepenuhnya.
*
“Maksudnya melindungiku, Bu?” Tanya Lis ketika ia sudah merasa agak lebih tenang.
Bu Siti kemudian berpandang-pandangan dengan suaminya. Keduanya lalu menangguk.
“Jadi, sebenarnya kamu adalah anak dari saudara Ayah di kampung,” kata Pak Mino memulai ceritanya.
Pak Mino duduk di kursi kayu tua yang sudah bertahun-tahun menjadi tempat favoritnya. Wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya, seolah-olah beban yang telah ia simpan di dalam hati selama bertahun-tahun akhirnya menyeruak keluar. Lis duduk di hadapannya, diam, menunggu dengan perasaan campur aduk. Ia bisa melihat bagaimana ayahnya berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menceritakan kisah yang selama ini tersembunyi di balik senyum hangat dan perhatian yang tak pernah surut.
Setelah menarik napas dalam, Pak Mino memulai ceritanya dengan suara yang berat, "Lis... Ada sesuatu yang sudah lama ingin kami sampaikan, tapi kami terlalu takut untuk melakukannya. Kami khawatir kamu akan terluka, dan kami tidak ingin kamu merasa berbeda."
Lis menatap ayahnya dengan cemas, hatinya berdebar kencang. Ia tahu bahwa apa pun yang akan ia dengar, itu pasti akan sangat mengejutkan.
"Orang tua kandungmu, Lis... mereka adalah kerabat kami di kampung. Kampung itu…, tempat asalmu, pernah dilanda tragedi mengerikan." Pak Mino berhenti sejenak, menatap jauh ke masa lalu yang penuh dengan luka.
"Waktu itu, ayah kandungmu... dia adalah seorang pria yang berpengaruh di kampung. Tapi, sayangnya, kekuasaan dan tekanan yang ia hadapi mulai mengubahnya. Dia menjadi seseorang yang berbeda. Kehidupan di kampung lalu menjadi semakin keras, dan ayah kandungmu terlibat dalam hal-hal yang... tidak seharusnya terjadi."
Lis merasakan tubuhnya menjadi kaku. Ada ketakutan yang merayap pelan di hatinya, membuatnya semakin sulit untuk bernapas.
"Pada suatu malam, terjadilah peristiwa yang sangat mengerikan," lanjut ayahnya dengan suara bergetar. "Ayah kandungmu, dalam kemarahan yang membara, menjadi ancaman bagi orang-orang di sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri. Ibu kandungmu, perempuan yang sangat kuat dan pemberani, melihat hal itu sebagai tanda bahaya. Dia tahu bahwa jika dia tetap tinggal, kamu juga bisa menjadi korban."
Lis merasakan jantungnya mencelos mendengar kata-kata itu. Pikirannya melayang ke arah sosok ayah yang belum pernah ia kenal. Air mata mulai menggenang di matanya, tapi ia berusaha menahan diri untuk tidak menangis.
Pak Mino melanjutkan, suaranya serak dan penuh kesedihan yang mendalam.
"Ibumu melarikan diri malam itu, membawa serta dirimu yang masih kecil, berusaha sekuat tenaga untuk menjauh dari kampung itu. Dia tahu bahwa dia harus pergi, harus menyelamatkanmu dari semua kekacauan yang sedang terjadi."
Ayah Lis berhenti sejenak, suaranya semakin serak dan penuh emosi. "Ibumu menempuh perjalanan yang sangat jauh dan berbahaya, menyeberangi hutan, sungai, dan jalanan yang tidak aman, hanya demi melindungimu. Dia berjalan tanpa henti, berhari-hari, hingga akhirnya sampai di rumah kami di sini."
Lis tidak lagi bisa menahan air matanya. Ia membayangkan sosok ibunya, yang belum pernah ia kenal, berjuang begitu keras demi dirinya, mempertaruhkan nyawa untuk memastikan ia selamat.
"Ketika ibumu tiba di sini, dia sudah sangat lemah, hampir tidak punya tenaga tersisa. Dengan napas yang tersengal-sengal, dia memohon kepada kami untuk merawatmu, untuk memberimu kehidupan yang lebih baik, untuk membesarkanmu seperti anak kami sendiri. Dan di sana, di depan rumah kami, ibumu menyerahkanmu ke dalam pelukan kami."
Ayah Lis menghentikan ceritanya lagi, matanya terpejam sejenak, seolah-olah dia sedang mengingat semua penderitaan yang pernah dilihatnya. Sementara itu, Lis menahan napas, air mata mulai mengalir di pipinya tanpa ia sadari. Mendengar cerita ini, ia merasakan kepedihan yang begitu dalam. Ia bisa membayangkan betapa besar pengorbanan yang dilakukan oleh ibu kandungnya, betapa cinta dan ketakutan yang mendorongnya untuk melakukan perjalanan yang begitu berbahaya demi keselamatannya.
"Ibumu... meninggal tidak lama setelah itu," lanjut ayah Lis dengan suara yang semakin parau. "Dia meninggal di rumah kami, di sini, di antara orang-orang yang peduli padanya. Kami menguburkannya dengan penuh hormat, dan sejak saat itu, kami memutuskan untuk merawatmu sebagai anak kami sendiri. Kami tidak pernah ingin menggantikan orang tuamu, tetapi kami ingin memberikanmu cinta dan kehidupan yang layak seperti yang diinginkan ibumu."
Pak Mino menatap putrinya dengan mata yang penuh kesedihan dan penyesalan. "Kami berusaha untuk memberikanmu kehidupan yang tenang dan penuh kasih sayang, tapi kami tahu bahwa ada bagian dari dirimu yang selalu bertanya-tanya. Maafkan kami, Lis, karena kami menyimpan ini terlalu lama. Kami hanya takut kehilanganmu, takut kamu akan merasa asing jika tahu kebenaran ini."
Lis, dengan air mata yang masih mengalir deras, merasa hatinya penuh dengan rasa sakit yang bercampur dengan rasa cinta yang tak terhingga untuk kedua orang tua angkatnya. Ia menyadari betapa besar pengorbanan yang telah dilakukan oleh orang tua kandung dan angkatnya demi dirinya. Sambil bergetar, ia meraih tangan ayahnya, mencoba menemukan kekuatan di tengah kesedihan yang melingkupi mereka.
"Ayah... Ibu...," Lis berbisik dengan suara yang hampir hilang, "Aku... Aku tidak tahu harus berkata apa... Terima kasih sudah merawatku, sudah mencintaiku..."
Ayahnya meraih tangan Lis, menggenggamnya erat, dan menatap putrinya dengan penuh kasih. "Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Lis. Kami tidak pernah ingin menyakitimu. Kami hanya ingin melindungimu. Kami tahu ini berat, tapi kamu adalah anak yang kuat. Kami akan selalu ada untukmu, tidak peduli apa yang terjadi."
*
Pagi itu, setelah malam yang panjang penuh dengan air mata dan keheningan, Lis duduk bersama kedua orang tua angkatnya di ruang makan. Udara pagi yang sejuk seolah tidak mampu menyejukkan perasaannya yang terus bergejolak. Ia sudah mendengar kisah yang menghancurkan hatinya, tentang tragedi yang menimpa keluarganya di masa lalu, tentang ibunya yang telah mengorbankan segalanya untuk menyelamatkannya. Tapi, ada satu hal yang masih menggantung di pikirannya, satu pertanyaan yang belum terjawab dan membuat hatinya tidak tenang.
Lis menatap kedua orang tuanya dengan mata yang penuh tekad. "Ayah, Ibu... Aku perlu tahu lebih banyak tentang ayah kandungku. Apakah dia masih hidup?" tanyanya dengan suara yang lembut, tetapi tegas.
Pak Mino dan Bu Siti angkatnya saling berpandangan, terlihat ragu-ragu. Pak Mino menarik napas dalam, lalu mengangguk perlahan. "Iya, Lis. Ayah kandungmu masih hidup. Setelah kejadian itu, kudengar dia meninggalkan kampung dan hidup menyendiri. Kami tidak tahu pasti di mana dia sekarang. Tapi, kami mendengar kabar bahwa dia masih ada."
Lis merasakan ada gumpalan emosi yang tiba-tiba muncul di dadanya, campuran antara marah, bingung, dan rasa ingin tahu yang tak tertahankan. "Aku ingin menemuinya, Yah. Aku harus tahu kenapa dia tega berbuat seperti itu. Kenapa dia membuat ibu begitu ketakutan hingga harus melarikan diri demi melindungiku."
Wajah Pak Mino dan Bu Siti berubah. Mereka tampak cemas dan penuh kekhawatiran. Bu Siti meraih tangan Lis, menggenggamnya erat seolah-olah ingin melindunginya dari rasa sakit yang mungkin akan muncul. "Lis..., Kami mengerti keinginanmu, tapi... apakah kamu benar-benar ingin menemuinya? Pria itu... dia telah berubah menjadi orang yang berbeda. Kami tidak tahu bagaimana dia sekarang, atau apa yang bisa terjadi padamu jika kamu menemuinya."
Namun, Lis tidak goyah. Ada sesuatu yang mendesak dalam dirinya, dorongan kuat untuk mencari jawaban, untuk memahami masa lalu yang telah membentuk hidupnya. "Ibu, Ayah... Aku harus melakukan ini. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku harus mendengar dari mulutnya sendiri. Mungkin tidak akan mudah, tapi aku tidak bisa terus hidup dengan pertanyaan ini di dalam hati."
Ayah Lis menghela napas panjang. Ia melihat tekad di mata putrinya, tekad yang tidak bisa ia abaikan. Ia tahu bahwa Lis tidak akan bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang tanpa mendapatkan jawaban yang ia cari. Meskipun hatinya dipenuhi dengan kekhawatiran, ia akhirnya mengangguk dengan berat hati.
"Baiklah, Lis," katanya dengan suara rendah, "Jika itu memang yang kamu inginkan, kami tidak akan menghalangimu. Tapi, kami ingin kamu berhati-hati. Pria itu..., ayah kandungmu, dia bukan lagi orang yang kami kenal. Banyak yang telah berubah."
Bu Siti menatap putrinya dengan mata yang berkaca-kaca, penuh dengan cinta dan rasa takut. "Dan ingatlah, Lis... Tidak peduli apa pun yang terjadi, kami selalu ada di sini untukmu. Kamu adalah anak kami, dan kami akan selalu mendukungmu, apa pun yang terjadi."
Lis tersenyum kecil, meskipun hatinya masih berat. Ia tahu bahwa perjalanan yang akan ia tempuh tidak akan mudah, dan mungkin akan mengungkapkan hal-hal yang lebih menyakitkan dari yang ia bayangkan. Tapi, ia juga tahu bahwa ia harus melakukannya, demi dirinya sendiri dan demi ibu kandungnya yang telah berjuang begitu keras untuknya.
*
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI