"Ayah... Ibu...," Lis berbisik dengan suara yang hampir hilang, "Aku... Aku tidak tahu harus berkata apa... Terima kasih sudah merawatku, sudah mencintaiku..."
Ayahnya meraih tangan Lis, menggenggamnya erat, dan menatap putrinya dengan penuh kasih. "Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Lis. Kami tidak pernah ingin menyakitimu. Kami hanya ingin melindungimu. Kami tahu ini berat, tapi kamu adalah anak yang kuat. Kami akan selalu ada untukmu, tidak peduli apa yang terjadi."
*
Pagi itu, setelah malam yang panjang penuh dengan air mata dan keheningan, Lis duduk bersama kedua orang tua angkatnya di ruang makan. Udara pagi yang sejuk seolah tidak mampu menyejukkan perasaannya yang terus bergejolak. Ia sudah mendengar kisah yang menghancurkan hatinya, tentang tragedi yang menimpa keluarganya di masa lalu, tentang ibunya yang telah mengorbankan segalanya untuk menyelamatkannya. Tapi, ada satu hal yang masih menggantung di pikirannya, satu pertanyaan yang belum terjawab dan membuat hatinya tidak tenang.
Lis menatap kedua orang tuanya dengan mata yang penuh tekad. "Ayah, Ibu... Aku perlu tahu lebih banyak tentang ayah kandungku. Apakah dia masih hidup?" tanyanya dengan suara yang lembut, tetapi tegas.
Pak Mino dan Bu Siti angkatnya saling berpandangan, terlihat ragu-ragu. Pak Mino menarik napas dalam, lalu mengangguk perlahan. "Iya, Lis. Ayah kandungmu masih hidup. Setelah kejadian itu, kudengar dia meninggalkan kampung dan hidup menyendiri. Kami tidak tahu pasti di mana dia sekarang. Tapi, kami mendengar kabar bahwa dia masih ada."
Lis merasakan ada gumpalan emosi yang tiba-tiba muncul di dadanya, campuran antara marah, bingung, dan rasa ingin tahu yang tak tertahankan. "Aku ingin menemuinya, Yah. Aku harus tahu kenapa dia tega berbuat seperti itu. Kenapa dia membuat ibu begitu ketakutan hingga harus melarikan diri demi melindungiku."
Wajah Pak Mino dan Bu Siti berubah. Mereka tampak cemas dan penuh kekhawatiran. Bu Siti meraih tangan Lis, menggenggamnya erat seolah-olah ingin melindunginya dari rasa sakit yang mungkin akan muncul. "Lis..., Kami mengerti keinginanmu, tapi... apakah kamu benar-benar ingin menemuinya? Pria itu... dia telah berubah menjadi orang yang berbeda. Kami tidak tahu bagaimana dia sekarang, atau apa yang bisa terjadi padamu jika kamu menemuinya."
Namun, Lis tidak goyah. Ada sesuatu yang mendesak dalam dirinya, dorongan kuat untuk mencari jawaban, untuk memahami masa lalu yang telah membentuk hidupnya. "Ibu, Ayah... Aku harus melakukan ini. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku harus mendengar dari mulutnya sendiri. Mungkin tidak akan mudah, tapi aku tidak bisa terus hidup dengan pertanyaan ini di dalam hati."
Ayah Lis menghela napas panjang. Ia melihat tekad di mata putrinya, tekad yang tidak bisa ia abaikan. Ia tahu bahwa Lis tidak akan bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang tanpa mendapatkan jawaban yang ia cari. Meskipun hatinya dipenuhi dengan kekhawatiran, ia akhirnya mengangguk dengan berat hati.
"Baiklah, Lis," katanya dengan suara rendah, "Jika itu memang yang kamu inginkan, kami tidak akan menghalangimu. Tapi, kami ingin kamu berhati-hati. Pria itu..., ayah kandungmu, dia bukan lagi orang yang kami kenal. Banyak yang telah berubah."