Dalam pelukan ibunya, Lis akhirnya menangis, melepaskan semua emosi yang ia pendam sejak siang tadi. Di tengah tangisannya, ia merasakan cinta yang tulus dari kedua orang tuanya, cinta yang tidak tergoyahkan untuknya meski ia bukan darah dagingnya. Namun, perasaan itu masih bercampur dengan kebingungan dan pertanyaan yang belum terjawab sepenuhnya.
*
“Maksudnya melindungiku, Bu?” Tanya Lis ketika ia sudah merasa agak lebih tenang.
Bu Siti kemudian berpandang-pandangan dengan suaminya. Keduanya lalu menangguk.
“Jadi, sebenarnya kamu adalah anak dari saudara Ayah di kampung,” kata Pak Mino memulai ceritanya.
Pak Mino duduk di kursi kayu tua yang sudah bertahun-tahun menjadi tempat favoritnya. Wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya, seolah-olah beban yang telah ia simpan di dalam hati selama bertahun-tahun akhirnya menyeruak keluar. Lis duduk di hadapannya, diam, menunggu dengan perasaan campur aduk. Ia bisa melihat bagaimana ayahnya berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menceritakan kisah yang selama ini tersembunyi di balik senyum hangat dan perhatian yang tak pernah surut.
Setelah menarik napas dalam, Pak Mino memulai ceritanya dengan suara yang berat, "Lis... Ada sesuatu yang sudah lama ingin kami sampaikan, tapi kami terlalu takut untuk melakukannya. Kami khawatir kamu akan terluka, dan kami tidak ingin kamu merasa berbeda."
Lis menatap ayahnya dengan cemas, hatinya berdebar kencang. Ia tahu bahwa apa pun yang akan ia dengar, itu pasti akan sangat mengejutkan.
"Orang tua kandungmu, Lis... mereka adalah kerabat kami di kampung. Kampung itu…, tempat asalmu, pernah dilanda tragedi mengerikan." Pak Mino berhenti sejenak, menatap jauh ke masa lalu yang penuh dengan luka.
"Waktu itu, ayah kandungmu... dia adalah seorang pria yang berpengaruh di kampung. Tapi, sayangnya, kekuasaan dan tekanan yang ia hadapi mulai mengubahnya. Dia menjadi seseorang yang berbeda. Kehidupan di kampung lalu menjadi semakin keras, dan ayah kandungmu terlibat dalam hal-hal yang... tidak seharusnya terjadi."
Lis merasakan tubuhnya menjadi kaku. Ada ketakutan yang merayap pelan di hatinya, membuatnya semakin sulit untuk bernapas.