"Pada suatu malam, terjadilah peristiwa yang sangat mengerikan," lanjut ayahnya dengan suara bergetar. "Ayah kandungmu, dalam kemarahan yang membara, menjadi ancaman bagi orang-orang di sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri. Ibu kandungmu, perempuan yang sangat kuat dan pemberani, melihat hal itu sebagai tanda bahaya. Dia tahu bahwa jika dia tetap tinggal, kamu juga bisa menjadi korban."
Lis merasakan jantungnya mencelos mendengar kata-kata itu. Pikirannya melayang ke arah sosok ayah yang belum pernah ia kenal. Air mata mulai menggenang di matanya, tapi ia berusaha menahan diri untuk tidak menangis.
Pak Mino melanjutkan, suaranya serak dan penuh kesedihan yang mendalam.
"Ibumu melarikan diri malam itu, membawa serta dirimu yang masih kecil, berusaha sekuat tenaga untuk menjauh dari kampung itu. Dia tahu bahwa dia harus pergi, harus menyelamatkanmu dari semua kekacauan yang sedang terjadi."
Ayah Lis berhenti sejenak, suaranya semakin serak dan penuh emosi. "Ibumu menempuh perjalanan yang sangat jauh dan berbahaya, menyeberangi hutan, sungai, dan jalanan yang tidak aman, hanya demi melindungimu. Dia berjalan tanpa henti, berhari-hari, hingga akhirnya sampai di rumah kami di sini."
Lis tidak lagi bisa menahan air matanya. Ia membayangkan sosok ibunya, yang belum pernah ia kenal, berjuang begitu keras demi dirinya, mempertaruhkan nyawa untuk memastikan ia selamat.
"Ketika ibumu tiba di sini, dia sudah sangat lemah, hampir tidak punya tenaga tersisa. Dengan napas yang tersengal-sengal, dia memohon kepada kami untuk merawatmu, untuk memberimu kehidupan yang lebih baik, untuk membesarkanmu seperti anak kami sendiri. Dan di sana, di depan rumah kami, ibumu menyerahkanmu ke dalam pelukan kami."
Ayah Lis menghentikan ceritanya lagi, matanya terpejam sejenak, seolah-olah dia sedang mengingat semua penderitaan yang pernah dilihatnya. Sementara itu, Lis menahan napas, air mata mulai mengalir di pipinya tanpa ia sadari. Mendengar cerita ini, ia merasakan kepedihan yang begitu dalam. Ia bisa membayangkan betapa besar pengorbanan yang dilakukan oleh ibu kandungnya, betapa cinta dan ketakutan yang mendorongnya untuk melakukan perjalanan yang begitu berbahaya demi keselamatannya.
"Ibumu... meninggal tidak lama setelah itu," lanjut ayah Lis dengan suara yang semakin parau. "Dia meninggal di rumah kami, di sini, di antara orang-orang yang peduli padanya. Kami menguburkannya dengan penuh hormat, dan sejak saat itu, kami memutuskan untuk merawatmu sebagai anak kami sendiri. Kami tidak pernah ingin menggantikan orang tuamu, tetapi kami ingin memberikanmu cinta dan kehidupan yang layak seperti yang diinginkan ibumu."
Pak Mino menatap putrinya dengan mata yang penuh kesedihan dan penyesalan. "Kami berusaha untuk memberikanmu kehidupan yang tenang dan penuh kasih sayang, tapi kami tahu bahwa ada bagian dari dirimu yang selalu bertanya-tanya. Maafkan kami, Lis, karena kami menyimpan ini terlalu lama. Kami hanya takut kehilanganmu, takut kamu akan merasa asing jika tahu kebenaran ini."
Lis, dengan air mata yang masih mengalir deras, merasa hatinya penuh dengan rasa sakit yang bercampur dengan rasa cinta yang tak terhingga untuk kedua orang tua angkatnya. Ia menyadari betapa besar pengorbanan yang telah dilakukan oleh orang tua kandung dan angkatnya demi dirinya. Sambil bergetar, ia meraih tangan ayahnya, mencoba menemukan kekuatan di tengah kesedihan yang melingkupi mereka.